Seorang arif berbicara di masjid agung Damaskus sebagai khatib, di hadapan para jamaah yang hatinya telah layu membeku
Tak satupun dari mereka biasa mengarungi seluk beluk kerumitan dunia. Entah dunia fisik, alam hikmah atau pengajaran etis. Dia kuatir apapun yang hendak dikhotbahkan tak akan merasuk pada pendalaman hati jamaahnya. Layaknya api yang menyala tak bakal membakar batangan ranting zaitun. Baginya, apa yang hendak diucapkan ubahnya kesia-kesiaan seseorang yang memberi perintah pada sekawanan ternak atau mebawakan cermin kepada si tuna netra.
Tetapi walau bagaimanapun dia mesti melakukannya. Hingga pada waktunya satu cakrawala pemahaman memberikannya keberanian buat membabar ayat Qur'an, ''Aku lebih dekat pada kalian tinimbang urat nadi kalian sendiri''. Di penghabisan khotbahnya dia sisipkan satu seloka :
''Teman lebih dekat tinimbang diriku sendiri
Betapa mengherankan jika aku tak mengenali diriku?
Apa yang harus aku lakukan?
Kepada siapa harus kukatakan, bahwa saat temanku ada adalam rengkuhanku
Aku malah mencampakkannya''
****
Sebuah sungai yang besar tidak akan pernah menjadi keruh karena batu. Pun najis tak bakal menghilangkan kesuciannya.
Pada saatnya seorang sahabat melukai, bijak diri buat menahan diri. Permaafan sucikan diri terhadap keburukan.
Hakikatnya Allah mencipta bangsa Adam dari debu, dan segalanya akan berakhir pula sebagai debu.
Andaikan kita bisa menjadi debu usapan yang mensucikan penyembahan, jauh sebelum debu-debu lain menutup kita dalam pekuburan....
(Jelang subuh,... habis semalaman membaca Gulistan)
Kamis, 11 Maret 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar