Selasa, 30 Maret 2010

Gamelan Kehidupan

Ayo main karawitan
Dengan seperangkat gamelan kehidupan

Gender nasib mengawali
lewat bawa lagu kinanti

Hei dengar...
Kendang kelahiran ditalukan
Demung kerja sahut-sahutan
Laras selendro, tak boleh banyak mengaso
Laras pelog, jangan jadi bahan olok-olok
Tembang macapat, mesti terus atur siasat

Hoseee...
Kita sudah disenggaki
jadi jangan lupa diri
nanti sumbang lagu ini

Hoseee...
Kita sudah disenggaki
tinggal tunggu satu pukulan lagi
gong kematian mengakhiri...

Minggu, 21 Maret 2010

Rumah Jawa, Mistis yang Etis

Suatu kali saya berkunjung ke rumah keluarga embah saya di Wonogiri. Di daerah Girimarto yang batu-batu gunungnya nyaris sebesar gajah nderom, berkubang itu. Rumah yang saya tuju adalah rumah gebyok dengan kayu jati di hampir semua dinding dan kerangkanya. Itulah rumah embah buyut saya dulu, yang sekarang ditinggali eyang Guno, adik bungsu embah. Beliau, dalang sepuh yang punya dua kotak wayang kulit jangkep, lengkap dengan seperangkat gamelan. Ensamble jawa yang sudah kawentar adi luhungnya itu.

Tak ayal nyaris seharian kami berbincang soal wayang. Ibarat tumbu bertemu tutup kata orang, ada semacam resonansi yang gathuk antara saya dan beliau kalau sudah bicara soal wayang. Dan pandangan saya tentang wayang agaknya sedikit membuat hati beliau mongkog, bangga. Menurutnya saya punya bakat menjadi dalang, pelakon wayang. Tentu saja saya hanya menanggapi pangalembana, pujian beliau itu dengan senyum saja.

Ah, beliau tak tahu saja pandangan saya tentang wayang yang sebenarnya. Kalau boleh jujur, secinta-cinta saya dengan wayang saya selalu saja keberatan dengan lakon wayang (Jawa) yang sangat 'pendawa sentris'. Belum lagi sifat wayang yang figurnya cenderung direduksi dalam satu tipologi sifat tertentu, bukan satu wahana karakter.

Akhirnya wawansabda, obrolan itu beralih tentang arsitektur rumah jawa. Awalnya saya sampaikan  kekaguman saya pada rumag kuno yang kerasa sangat agung dan anggun. Rumah itu, menghadap ke utara dengan pelataran yang cukup luas. Empat batang pohon sawo kecik meger-meger, kukuh di halaman. Di samping ada pohon sukun dan nangka belanda yang sedang buah. Di tambah sebatang kluwih gunung tua  yang mengayomi bagian belakang rumah.

''Rumah jawa yang lengkap itu Le, setidaknya dibagi sapta perangan, tujuh bagian'', kata beliau. ''Yaitu pendapa, sebuah pringgitan dan tiga buah kamar, Satu senthong tengah yang diapit senthong kiwa dan tengen. Di bagin belakang ada pawon, dapur. Sedang di samping dibuat gandok, paviliun kata orang sekarang''

Kemudian beliau menjelaskan masing-masing, lengkap dengan aspek etis dan filosofisnya.

PENDAPA. Adalah ruang sosial, tempat menerima dan menyambut tamu. Ukurannya yang luas, pralambang keluasan hati dan sikap menerima sang empunya siapapun yang berkunjung. Di ruang ini semua hajat yang menyertakan orang luar diadakan. Dari kenduri yang kecil sampai panggih temanten yang kelewat sakral. Di lain sisi pendapa menunjukan ego dan identitas pemiliknya. Jadi jangan heran kalau semua perabot dan asesoris terbaik akan dipajang di sini.

PRINGGITAN. Kamar sepen istilah lainnya. Merupakan ruang spiritual di mana laku rialat dan olah kebatinan orang jawa dilakukan. Konon ruangan ini dikhususkan kepada Dewi Sri, dewi kesuburan dan kemakmuran. Mereka menyemayamkan 'Sang Tani' di ruang ini. Tak heran ruangan ini selalu terkesan wingit dan angker. Saya jadi ingat pringgitan di rumah embah di Temanggung. Dari kanak-kanak saya dapat privilase keluar masuk ruang itu. Di dinding utara dipajang wayang Kyai Semar dan Hanoman. Satu lagi simbol, yang sebuah adalah pamomong seluruh wangsa ksatria yang satu lagi penjaga ruh Dasamuka di gunung Sumawana agar tak bangkit dan memporandakan tatanan hidup ketenteraman. Sampai sekarang saya tak pernah bisa tegas menjustifikasinya. Ya,  itulah kepercayaan, spiritualitas. Orang bilang agama agemaning ati...

SENTHONG TENGAH. Kamar utama yang dipakai kepala keluarga. Biasanya adalah kamar terbesar, karena disamping sebagai tempat rehat juga adalah tempat menyimpan harta dan pusaka keluarga. Kata 'tengah' itu pada galibnya tak sekedar menunjukan satu titik lokasi, tapi juga gambaran bahwa sang penghuni adalah pusat, inti dari keluarga.

SENTHONG KIWO dan TENGEN. Kamar pengapit yang ditempati putra dan putri. Harfiahnya mengapit senthong tengah, menandakan putra-putri siap mereriung, menyokong ibu-bapanya.

PAWON. Dapur tempat mengolah segala uba-rampe, logistik keluarga. Tempatnya selalu di belakang, satu tabu bagi orang jawa untuk memamerkannya. Seakan mau bilang, 'bahwa makan adalah urusan belakangan yang tau usah dibicarakan'. Sebuah isyarat malu-malu khas jawa yang sejatinya sedang akan menunjukan kemegahan dan keperwiraannya dengan sedikit terselubung.

GANDOK. Paviliun yang dibangung dibagin samping rumah. Di jaman dulu adalah tempat istirahat untuk para tamu atau kerabat yang menginap. Fragmen yang lebih sederhana dibangun untuk rewang, pembantu atau orang yang magersari, menumpang. Letaknya yang terpisah kadang dimaknai sebagai diskriminasi, tapi sebetulnya yang punya rumah sedang menawari satu keluasan dan kebebasan.


Menutup wedarannya beliau menggariskan beberapa simpulan:

''Para kakung, laki-laki, menguasai dua bagian di depan. Pendapa dan pringgitan. Yang putri, wanita selebihnya. Andum rata, andum gawe''

''Itulah kebijaksanaan leluhurmu Le, betapa semua memuat tanda dan sasmita. Rumah bagi orang jawa tak hanya bangunan fisik yang berhenti pada tujuan-tujuan praktis saja. Rumah punya ajaran filosofis sebagai satu wewangunan karya. Dia adalah ruang antara bagi pribadi, jagat alit (mikro kosmis) dengan alam, jagat gumelar (makro kosmis)...''

****

Ya, itulah rumah, wisma..

Malamnya saya menginap. Untuk saya disiapkan kamar tengen di dekat pendapa rumah itu. Jendelanya menghadap ke teras samping yang ditanami cempaka dan kembang wijaya putih yang lagi kembang.

Begitu terasa ayem, tenteram suasana di kamar itu. Saya rebahan dan tak juga bisa picingkan mata. Mata saya fokus pada sepasang wayang Bima dan Kresna di kamar itu. Sedang pikiran masih tak geser dari Dik Tyas, yang bisa-bisanya esem, senyumnya waktu itu membuat teh hangat yang dia sajikan kerasa begitu manis.

Dulu, di malam yang begitu nglangut, hening seperti ini ibu saya sering menembang Kidung Dandang Gula:

Ana kidung rumeksa ing wengi
teguh ayu luputing lara....

(Satu gita menjaga malam
dengannya kebahagiaan dihadirkan dan bahaya disingkirkan....)

Saya buka  jendela, langit cerah dengan bulan nyaris tiga perempat penuh. Dari kejauhan sayup seperti terdengar orang sedang melantunkan satu gending lawas, Ketawang Wirgaringtyas:


...........

Rembulan ngayom, ing gegana trang abyor lintange
Titisonya puspita kasilir, maruta wris kengis
Sumarik gandanya rum....

(........
Bulan menyingsing, di langit gemintang berebut terang
Waktunya kembang-kembang bermekaran, dibuai lembut sapuan angin
hadiahi malam dengan sejuta wewangian.......)

Tanah Kelahiran




1

lenggang jalan di sisi Progo
lengang hati diisi harap
gubuk kecil di pinggir setapak
kukuh disandar si mata bajak

riuh dikicau
riak dikali
riang hati dilantun pagi


aduhai.............
siapa dengar tembang kinanti
didendang lirih,
sepuluh gadis bergenggam anai

hadirkan mimpi semalam
dicurah kepak sayap burung balam

kabut tipis mencumbu Sumbing
senyum di bibir gadis tersungging


2

padi seumur penuh
takzim meniung setiap buluh

hanya hati tegak menjulang
kenang lalu di musim tanam

lelah dikurung
lelah dilarung
sekira hidup sudah ditanggung


"amboi.........
hari panen sudah datang..."

ayo terus berdendang
sambil tunggu siang
lalu kita boleh pulang
pikul padi barang segantang

sorenya mandi di kali
lalu siapkan kenduri
syukur buat tahun ini


.......salam dewi padi............


3


malam terang bulan
ramai di pelataran

asyik dolanan......
main jamuran

ah bocah,
sini kuajar tebak kata:

yang manis hatinya,
wajahnya pasti jua

yang manis wajahnya,
hatinya belum lagi dinyana

ya, boleh kalian jawab
dengan sedikit gelak tawa


4


jika malam sudah luruh
maka hati boleh luluh
jadi satu
dalam bayang kali Serayu


5


jejaka di rantau kota
separo hati ditinggal di desa

rindukan dongeng kenangan
tentang tanah kelahiran

dalam lamunnya
ingat kabut di pucuk Sumbing
dan senyum manis,
gadisnya yang tersungging


6

langit bening.......
menturut malam......
menyatu dalam hening

Perjalanan

1

datang padaku berita seorang kawan
setelah kepulangannya dari perjalanan
mengarungi lautan yang tujuh
dengan kapal penuh wewangian dari Arab
dan beribu botol anggur Tuscany

2

ia kisahkan
tentang kabut-kabut yang selimuti Tanjung Harapan
dilihatnya orang-orang di sana,
berburu dengan lembing dan mata panah
menyeruak bersama angin
lari menuju hamparan
dapati sepi,
tak satupun binatang buruan


di negeri China dia lalu singgah
sauhkan jangkar di Canton
saat satu perayaan dilangsungkan
sungai-sungai dibanjiri lampion
terang layaknya kunang
dan irilah sekalian bintang

syah bandar memberinya buah tangan
gelang biru batu-giok
berukir seekor phoenix


sebelumnya di tanah India
jauh bersama orang-orang Dravida
sebelum wangsa Arya merajut cerita
dia mengaku bertemu tuhan
konon dulu bernama Brahman
yang hidupi tanah Hindustan
dengan seribu berkat, angin dan hujan


melewati perairan Malaka
sampai dui gugusan Nusantara
ke Talaud dia berlabuh
dan arahkan teropong ke Arafuru
tak juga dapati apa-apa
hanya sepi yang damai
camar sesekali melintas
jatuhkan helaian bulu
yang putih keperakan

kembali kemasanya
saat dia tinggalkan China
ke timur melintasi Lautan Teduh
menentang jalan matahari....

setelah lewat satu purnama
sampai dia di Bermuda

3

lautan Karibia, aduhai indahnya
ke utara masuk Meksiko
ke sekalatan Brasilia, Argentina
bertemu orang-orang Britania
Portugis dan leluhur Andalusia

sampai di Guatemala
di sana,
bertemu sekumpulan orang Maya
berdiang di api saat malam hari
esok datang di hadap piramida ( O...Machu Pichuu yang agung ....)

lagi-lagi dapati dia cindera mata
di tangan kirinya, jimat bersegi lima
entah itu mantra-mantra
apa sekedar doa

mantra yang mencipta realita
doa yang angankan fantasia


temanku tiba di Alaska
dipertengahan musim salju
semua tampak putih
tanpa bintik barang setitik
membalut dua kakinya
sampai nyaris setengah paha
saat malam tiba
matanya hanya bisa terjaga

4

tinggalkan kapal di Bering
dia arungi Siberia
ke arah barat ditemani anjing laut
dan sekumpulan beruang kutub

Moscow,St Pietersburg
Warsawa, Viena, Berlin
Amsterdam hingga Normandia

kembali ke timur,
sampai Itali
dia dapati anggur-anggur Tuscany
lalu ke Athena
sambangi rumah Dewa-Dewa
Zeus...Hera...
Ares...Herculles....

5

di sebuah negeri bernama Sarajevo
semananjung Balkan,
tempat tumbuh ribuan pohon zaitun

ada kesedihan di sana
dan azab perang yang tak kunjung sirna
temanku yang berkendara lereta
hanya bisa berdzikir dengan doa
dan merapal mantra-mantra


6

sampai di Tanah Suci

orang-orang Yahudi rayakan Sabath
kaum Kristen berkumpul di Nazareth
Al Aqsa dipenuhi sujud,

kaum muslim berjalan ke arah Mekkah
menapaktilasi jalan sang Nabi

mencari damai...
menselisihi ramai...


7

di Persia
tempat dia membeli permadani
dan seratus peti wewangian Arab
musim dungi sudah berakhir

kembali pulang
angkat jangkar dari Basrah
arungi Lautan Hindia

di tengah pulau
di seberang Teluk Benggala
kami jumpa dan bertukar cerita
pulau yang tak bernama
pulau yang tak bertanah

dia ceritakan tentang perjalanan
dan sejuta pengalaman

dan aku bicara,
tentang nikmatmnya persemedian
dan sejuta keheningan

kami saling mengisi
kami saling memberi

ketika kembali dia pergi
segera kumulai lagi semedi

mencari tuhan....
mencari terang.........

Selasa, 16 Maret 2010

HERO (Menafsir Gagasan Suksesi Kepemimpinan)

Sebagai pemanis awal pembicaraan saya kutipkan satu ungkapan dari Nietzche:

" Dan kini ia bangkit, dengan wajah yang lebih indah dan kesenduan yang semakin memikat. Dan sebenarnyalah.., bahkan ia akan berterima kasih kepada kalian sebab kailian telah menggulingkannya... Kalian para pengguling..."
*****


HERO, inilah mungkin salah satu judul film yang sampai sekarang tak berhenti membuat saya terefleksi. Sebuah film yang sejak dari tontonan awal seakan membuat semacam sihir pada kedalaman gagasannya yang begitu memukau.

Film ini lebih dari sekedar film silat biasa. Film arahan Zhang Zimou yang dibintangi Jet Li ini seakan adalah trakat filsafat yang hendak membabarkan hubungan purbawi antara manusia dengan negeri  di mana dia hidup dan bertumbuh. HERO adalah "ranah" bagi mereka yang memilih mengorbankan jiwa atau sesuatu yang lebih besar dari diri mereka sendiri.

Film yang tidak hanya menyajikan perseteruan abadi antara dua master silat, Tanpa Nama dengan Angkasa. Tidak juga cuma menyuguhkan kerumitan cinta segitiga antara Pedang Patah, Salju dan Rembulan. Tapi  bertutur dengan gagasan yang begitu universal.  Merangkum segala usaha dan upaya manusia untuk menggapai kebahagian dalam narasi besar yang disebut 'tian-xia' , tanah tumpah darah, bumi sekolong langit  yang menjadi ibu pertiwi dari setiap gagasan akan kebahagian bersama (kebaikan politis menurut Aristotelles).

Film ini dibuat dengan alur campuran dengan menampilkan benyak flashback yang mewarnai dialog antara Tanpa Nama dengan Kaisar.

*******   
                              
Tanpa nama yang telah berhasil membunuh tiga pendekar maha hebat yang " telah mencegah Kaisar Qin untuk beristirahat dengan sentosa" mendapat anugerah dari kaisar untuk dapat menghadapnya dan berwawancara dengan kaisar dalam jarak sepuluh langkah. Suatu yang sangat istimewa, kerana demi menjaga keselamatan kaisar tak satupun rakyat Qin diperkenankan untuk menghadapnya dalam jarak seratus langkah. Pada akhirnya Kaisar mengetahui rencana besar dari semua yang dilakukan Tanpa Nama, di mana dia melihatnya setelah mensasmitakan gerak nyala lilin yang ada di hadapan singgasana.

Tersingkap bahwa terjadi konspirasi besar antara Tanpa Nama, Angkasa, Pedang Patah dan Salju. Konspirasi itu, yaitu untuk menjadikan Tanpa Nama sebagai pedang pamungkas buat membunuh kaisar yang lalim. Ketiga pendekar yang lain rela terbunuh di tangan Tanpa Nama agar dengan jasa itu Tanpa Nama diperkenankan untuk hadir di hadapan duli kuasa Kaisar dalam jarak sepuluh langkah. Hanya dengan cara ini Tanpa Nama yang telah berhasil menyempurnakan ilmu pedangnya akan dapat membunuh kaisar tanpa kesulitan.

Dialog panjang antara Tanpa Nama dengan Kaisar di balairung istana Qin untuk saling mewedar gagasannya tantang relasi negara dengan rakyat terhenti dalam pembahasan kaligrafi karya Pedang Patah yang berbunyi "TIAN - XIA". 

Sekian waktu yang lampau Pedang Patah dan Salju pernah mengadakan percobaan kudeta juga. Hanya saja usaha itu gagal karena kegamangan keduanya ( terutama Pedang Patah ) dalam mengartiikan usahanya. padahal keduanya nyaris berhasil menebas leher Kaisar.

Usaha kali ini adalah semacam "tagih nyawa " oleh Tanpa Nama atas diri Kaisar. Sayang, setelah mengetahui pesan tersembunyi dalam tian-xia Tanpa Nama pun pupus. Tak berniat lagi menuntaskan usahanya membunuh kaisar. Dalam dilema itu Tanpa Nama melihat keagungan visi Pedang Patah  yang sebenarnya dia tak menyetujui usaha pembunuhan kaisar itu, karena itu tidak akan menyelesaikan masalah  akan Tian Xia. Di mana secara diam-diam dia telah mengatakan inti ajaran murni Tian Xia.

"Bahwa tanah tumpah darah, bumi sekolong langit masih harus tetap tegak berdiri . membunuh kaisar tidak akan secara serta merta merubah keadaan yang telah porak poranda menjadi lebih baik. Usaha ini sangat tidak sepadan dengan ongkos sosial  yang mungkin terjadi seperti perang saudara dan permusuhan yang pada akhirnya akan menyengsarakan rakyat yang hendak dibela"

Tanpa Nama pun pasrah ketika dewan istana kemudian memutuskannya untuk dihukum mati sebagai hukuman atas usahanya membunuh kaisar. Dengan senyum dia songsong ribuan anak panah yang hendak mengeksekusinya. Satu pencerahan telah dia peroleh, bahwa kekerasan tak bakal menyelesaikan masalah. Segalanya mesti merupakan sebuah kesadaran bersama bagi seluruh rakyat jika hendak mensuksesi pemimpinnya. Mengatasa namakan diri sebagai "sang rakyat" dalam usaha kudeta adalah kenaifan. Satu kepemimpinan politik mesti kukuh  berdiri. Menanggungkan semua persoalan kebangsaan kepada satu sosok kaisar saja adalah satu pemikiran yang tidak paripurna. Kaisar hanyalah satu ilalang hitam yang tumbuh dari tanah yang hitam. Mencabutnya bukan satu jaminan untuk kemudian tidak menumbuhan ilalang-ilalang hitam lainya.

*****

Akhirnya segala gagasan filsafat dalam film ini dipungkasi dengan sebuah sajak yang telah dilagukan semenjak jaman purwakala:

bila terbit matahari aku bekerja
bila tidur matahari aku berleha
kusesap air dari sumur yang kugali
kukunyah gandum dari ladang yang kutanami
apalah artinya kuasa kaisar itu bagiku

Syair itu, mengiring jasad Tanpa Nama dalam panggulan pundak satuan elite tantara Qin. Kembali ke dalam muasalnya, Tian Xia, bumi sekolong langit tempat tersubur bagi tumbuhnya cita-cita suci yang pernah ia kukuhi.....................


dahwi,
remake 16 mar 10

Minggu, 14 Maret 2010

Karena Saya Laki-Laki Jawa

jatining dumadi kang nuwuhken wiji
muga tunggak rila
yen wus wanci denok tole
bebadrang bayu baskara
nadyan dawah siti manca
mugya siti rempa awoh jaya

ibarat semesta sudah tumbuhkan benih
maka tunggak hanya bisa merela
saatnya putra-putri
bepergian turuti angin utara
biarpun jatuh di ranah asing
kiranya tanah cadas berbuah ranum diakhirnya


*******  

Saya laki-laki Jawa. Dan untuk menjadi Jawa itu saya tidak perlu dibabtis atau dibaiat apapun. Saya cukup mempunyai ibu-bapa yang juga Jawa.

Mulai umur tiga bulan di kandungan saya sudah ditahbis dengan selamatan. Gudangan dan urap ikan air tawar jadi penanda selamatan yang pertama. Itulah pengharapan, agar ibu saya yang hendak direpotkan dengan calon jabang bayi diberikan kelincahan. Ya.., seperti ikan-ikan di sendang yang elok menari itu.

Sehabis usia kandungan genap tujuh bulan diadakan upacara yang lebih besar, mitoni katanya. Ibu saya mesti mandi di tengah malam biar tidak canggung saat menjalani kesibukan saat bayinya lahir kelak. Bapak membelah kelapa hijau demi menebas sukerta dan kesialan. Esok paginya membuat rujakan. Tujuh macam buah, tujuh macam rasa. Asam, sepat, manis, asin, itulah citarasa kehidupan yang mesti dijalani. Lalu bocah-bocah membeli rujak itu, bukan dengan uang betulan, hanya dengan kereweng genteng yang dibuat jadi bulatan. Konon satu permafhuman, bahwa rejeki tak mesti dalam wujud materi. Lalu ditebarlah "uang-uang" itu, disertai harapan akan kelimpahan

Saya diberi nama, eloknya bukan nama Jawa yang saya terima. Bukan Bimasena atau Wisatsana, apalagi Megananda. Bapak-ibu saya tani wutun yang darahnya seasin keringat mereka yang deleweran saat sibuk di tengah tegalan. Mereka takut si jabang bayi tak bakal mampu menanggung nama yang kelewat agung. Saya diberi tetenger nama lima huruf saja. Dengannya mereka berharap saya keDah Winulang, selalu belajar. Belajar membaca alam, firman agung Gusti Allah. Dan pelajaran pertama yang saya tentu saja untuk belajar menerima nasib dengan lega dan terencana. Bahkan sekali waktu mesti sumeleh di duli kuasa-Nya.

Mengiring upacara pemberian nama itu tujuh piring bubur merah-putih dan tujuh butir telur bulat. Bubur dalam corak merah-putih, menandai warna-warni kehidupan yang tak pernah seragam. Tujuh butir telur bulat gelondongan, lambang citra fitrah sang jabang bayi yang hendak manunggal dalam tekat dan tujuan ibu-bapaknya. Ilang jenang manjing jeneng, terhapus segala simbol dan dapatilah kesejatian.

Delapan bulan berlalu, tedak siten siap menjadi jantu. Ayam ingkung menyertai kenduri, telanjang bulat di nampan welatan. Begitu polos, begitu lugu. Itulah watak bocah, lepas dari semua khilaf dan niatan iri. Saya dikurungi keranjang, begitu terlindungi. Saya menjejakkan kaki, ah dinginnya sang bumi saya tapaki. Dengan satu doa saya terberkati, berkenanlah sang bumi saya telusuri.

Setiap selapan, tiga puluh lima hari sekali di pasaran hari kelahiran dibuatkan kenduri kecil-kecilan. Momongan, dengan mengundang bocah-bocah yang asyik main di pelataran. Di nampan bambu makan bebarengan. Ada sayur sendalan daun labu siam, juga ikan teri bumbu kelapa. Dua cabe merah sekedar hiasan. Satu buah dibuang ke atas genteng layaknya cita-cita yang mesti tinggi-tinggi digantungkan. Satu lagi disimpam di longan, jauh di bawah dipan agar selalu diberkati dengan kerendah-hatian. Kami berdoa, diselang riang gelak candaan.

Hari-hari saya jalani, bebareng teman-teman yang selalu dekat di hati.  Ke kali mencari wader pari,  pulangya merayah jambu tersana milik Pak Carik  yang gedenya sekepalan tangan  kami. Bila terang bulan main jamuran, rame-rame menembang ilir-ilir dan cempa rowa.

Setiap sore ke langgar, belajar mengaji, diwulang Kyai Besari. Kami belajar tentang alief dan syien, kami mengenal tentang fattah dan sukun. 

Malam minggu ke sanggar, gladen, latihan menari, di ajar Romo Pambudi. Kami belajar tentang kiprah dan ulap-ulap, tentang pacak gulu dan pradaksina. Di sanggar teman-teman baru ditemui. Yang laki-laki lima, dari Warih hingga Purnomosidi. Yang putri tujuh, dari Larasati sampai Liestyar Wardani... ( ah mon cher vous vilez le parfait amour....).

Saya belajar dalam wulang dan tutur, Setiap malam ibu saya ura-ura, bersenandung lagu-lagu yang jenaka. Sedang bapak mengajar macapatan, dendang tentang piwulang sekumpulan kisah keperwiraan. Tapi saya tetaplah bocah, belum Jawa yang sebenarnya. Berapa yang saya dengarkan, berapa yang saya lewatkan, tetaplah tak leibih dari sebagai anak lingkungan. Eutenik, begitu kelak buku-buku saya mengajarkan.

Di awal dewasa jadilah saya Jawa sepenuhnya. Seorang laki-laki, seorang kakung yang mesti bersifat sebagai sebenarnya "lanang", -jantan-.

Padanya dibebankan buat segera menggayuh, mencapai kelima tanda seorang pria Jawa. Curiga, Wisma, Wanita, Turangga juga Kukila. 

Curiga, keris yang sepenuhnya ditafsiri sebagai pengetahuan. Gaman, senjata terampuh buat mengahadapi pergaulan

Wisma, rumah, yang tak hanya bermakna sebagai tempat tinggal. Tapi juga naungan di mana hati dan cinta dititipkan

Wanita, isteri. Dia yang harfiahnya adalah wadon, namum bermakna wadah dan wadi. Rahim kehidupan penuh rahasia kerumitan yang anggun. Yang berwatak ayu (cantik),  hayu  (penitis kehidupan) dan rahayu (menjaga kesentosaan)

Lalu, turangga, yang bermakna kuda juga sarana untuk bisa bepergian


Terakhir Kukila, burung, lambang kesukaan dan pegangan kehidupan.


****

Ya,
Karena saya laki-laki  Jawa. Anak alam yang patuh terhadap kenyataan. Pengidam kelestarian dalam citra hidup yang edi-peni, indah tertata  dalam kesatuan langgam makna yang selaras




Jumat, 12 Maret 2010

Gana Sastra



Pringapus-Candi, september 2009 ( tahun saka ke-1931)


Matahari sudah lama tinggalkan terang, sisakan semburat kejinggaan, melengkapi tatahan candi yang sebagian sudah dalam reruntuk. sisa-sisa jaman undagi itu telah memasyurkannya dalam kegemilangan sejarah.

pada undagan pertama, berselang seling arca Kala-Nadi menyambut dan mensesanti setiap yang menjejak. satu ceruk bekas stana Hyang Durga masih utuh dalam lembab yang ditumbuhi lelumutan gunung. ya, Pringapus-Candi masih meger-meger dalam sisa kejayaanya. menghadap kearah timur, arah Merapi. sementara di barat berlatar Meru-Sindoro yang mengesankan tiruan Maha-Meru itu dalam kesatuan antara alam gelaran dan alam ruhani.


jauh, dulu ketika lemnah-lembah diseputaran Kedu belum lagi mengenal keercayaan langit yang di bawa oleh orang-orang dari negeri tempat surupnya matahari, stana ini ramai oleh orang-orang Medang yang berkeyakinan Siwa. meriap-riap mereka setiap bulan kasada untuk menghadap keharibaan kekuatan adi kodrati yang mereka yakini. melelui lelaku suci-via purguvita untuk kemudian pada akhir pencarian mengharapkan via-iluminativa, penyatuan diri dalam cinta dan kearifan............

*******

Pringapus-Candi tahun saka ke-709 ( maret awal, 867 Masehi)


Dia bertapa di depan altar itu. jiwa sejati coba dia hadirkan. meyingirakan anasir-anasir duniawi kebandaan yang meng halanginnya dengan jagat avatara, jalan penghubung dunia fisik dan alam keruhanian. dengan vidya-pengetahuan dia memulai. yang telah mesasmita padanya lewat tata-laksana keilmuan yang dia jalani. pengammbaran-pratyaksa, tarikan simpulan-anumana, pembandingan-upamana dan mengejawantahkannya dalam ucap-sabda yang timbul dari segala timbangan yang matang.

hanya dengannya dia dapat meyibak lapis-lapis ghaib yang selimuti diri, dia kesampingkan segala angan kenangan yang membuncah dalam smarta. mengenyahkan samsaya, perasaan ragu yang yang menggerogoti keyakinan yang telah dia satukan dalam kesatuan yang utuh. tak ada lagi tarka, dugaan-dugaan kosong dalam pikirnya. bukti-bukti fisik yang kering itu sudah dia letakkan dalam tumit kaki-hidupnya.

nawa-babahan, sembilan celah-celah tubuh dia tutup. nafas jiwa, prana dia gapai. dalam awal keterlelapan itu ia saksikan kilatan masa lalu, masa kini, dan hari depan dalam satu mampatan titik hitam. ya, hitam, warna bagi kematian dan dunia yang belum terungkap. lambang kerusakan yang seakan hendak datang meriap menghancurkan keseimbangan nagari


kemudian cahaya hitam itu melesat ke langit tengah-akasya-dengan pendaran hijau kebiruan yang meninggalkan sisa semburat keperakan pada hamparan selasar candi tempat dia bersamadi. lewat satu dentuman keras yang memekakan pendengaran orang tuli sekalipun turunlah dalam pandangnya sesosok makhluk berujud manusia berkepala gajah. berlengan empat, yang masing-masing menggenggam cawan-makha, tasbih-aksamala, kapak-parasyu dan sebuah gading dari dirinya sendiri yang telah patah. dialah Gana sang dewa Pengetahuan putra terkasih sang Parwati yang turun dalam ketinggian stananya. yang sedang membangun teki dalam semedi segera mengacarai. terdengar antawacana, wawansabda panjang yang kelak tertulis dalam lontar-lontar sejarah orang-orang lembah Kedu:


(keresahan menderamu wahai manusia, gerangan yang kau bimbangkan?. sedang manusia lain sudah terpuaskan oleh pacaran anugerah yang sudah diberikan oleh Pertiwi, Ibunda Bumi. tempat kau menjejak dan bersila, tempat menumbuh segala kesenangan yang meng-ada. belum cukupkah yang dia beri?. berujarlah kau manusia, sekirannya jawata dapat memberi sabda untuk segala yang kau dera!)


perasaan berpuas diri itu yang aku takutkan O Gana mulia, yang dengannya aku tak kan dapat kuasa lagi untuk mencari Sang Arti. arti tentang hidup dan kehidupan yang juga mengungkapkan kemurniannya yang begitu penuh dengan misteri. ya, kini nagari tempat aku menjejak seakan telah menghadir dalam titik nadzirnya

rusak nagari O dewa Mulia. semua menghambur dalam api perang dan kerusuhan. kehendak untuk memaklumkan diri sebagai yang terperkasa telah menggulung semua kebajikan dan kebijakan. mereka telah rampok segala yang telah dikaruniakan Ibunda Bumi Pertiwi untuk sarana saling menumpahakan darah sesama penghuni nagari.


( itulah cara Hyang Kala melewatkan jaman. menelan titik puncak peradaban lalu memuntahkannya kembali dalam reruntuk yang tercerai beraikan. dan pada masa-masa itu setiap manusia sang tersentuh jubah hitam sang Kala layak buat meresah dan berkecil hati. ini akan terasa berat justru bagi mereka yang tahu dan meyedari, sedangkan kaummu yang alfa hanya kan menganggap itu sebagai satu kewajaran jaman yang nisbi dalam arti. ya, itulah cara masing -masing dari kalian memaknai yang terjadi. tiada sepakat dan golong-rembug yang kuat.)

betapa sakitnya, kehancuran ini justru terjadi saat vidya-pengetahuan mulai menapaki alam pikir sebagian besar penduduk nagari. saat filsafat dan olah pikir yang paripurna mulai bisa diterima. gerangan yang sebabkan keganjilan ini Gana?


(O manusia, kalian perwujudan dari manas-pikiran dan usa-kehendak. berkacalah dalam jati-diri kalian. tengoklah. siapa kalian dan siapa leluhur kalian. padanya adalah tembok baluwarti, sekat-sekat peradaban yang menjadi pembeda. leluhurmu menggapai vidya-pengetahuan untuk mengungkap alam, lalu bersahabat dengannya dalam iringan yang setimbang dan lestari. sedangkan masamu, menggengam vidya-pengetahuan untuk menundukan alam lalu menggagahinya untuk menunjukan betapa kalian mampu untuk berkuasa. itulah penyebab keganjilan ini O manusia. cara kalian menggenggam vidya-pengetahuan. sekiranya sekarang sudah terlewat waktu. bumi nagari sudah kebanjur berjalan menuju titi baliknya )

O Gana, tiadakah kekuatan dewata sanggup mencegah semuanya? kalian penguasa langit tengah yang diberkati dengan tubuh ruhani.


( dewata bukan Yang Esa, manusia. dia juga adalah titah, kawula darti kekuatan Adi Kodrati yang mengatasi segala rencana. semua sudah diatur oeh Yang Esa. tubuh ruhani kami tak berbeda dengan tubuh fisik kalian. semuanya tak kekal dan sekedar kepulan debu dari hamparan maya-pada, jagat-semu. mintalah pada Yang Esa !! )

Yang Esa, siapakah Dia ?

(Dia yang swayambhu, Dia Yang Tak Diperanakkan.....)


bagai mana kami mengetahui semua?


(bersimpuhlah padaNya. manunggalkan kebeningan dan keheningan jiwamu. gusur vidya-pengetahuan untuk mendekati pengetahuan yang tak terbantahkan, sruti-Kitab Suci. seraplah segala kemungkinan yang mengambang disekeliling. bersatu dalam tri marga, tiga jalan penghubungan . Tuhan -manusia-alam. dengan memahaminya kau akan semakin mudah memahami Sang Arti. segala rasa akan mengungkap dalam ayat kesejatian wujudnya yang paling purba...........)


******

Pringapus-Candi, Rembulan Kalang


selimut gelap terjalin lewat deraian rambut sang Ratri, dewi malam.dia yang dulu dianggap sebagai penguasa kegelapan dan keheningan.

aku melangkah, turuni reruntuk yang mulai membeku dalam sapuan angin gunung. dingin meyusup dalam sunsum tak lagi terhiraukan. sejenak berhenti, memandang kearah tenggara. kulihat Usha, dewi bulan sudah terbah jauh lebih tinggi dari Candramuka Merbabu.

elok. pada bulatannya kulihat gelang cahaya mengelilingi. ah, Rembulan Kalang.... pratanda bagi masa-masa penuh ketidak-pastian yang bakal datang. sepintas rasa takut menghadir. menebak segala kemungkinan di depan. benarkah nagari tengah berada dalam ketidak-setimbangannya?...
....

hamparan di depanku aku sapu dengan sekali pandang.....

tanah molek, tanah nagari yang begitu subur, gemah ripah loh jinawi. segala berkah kiranya layak dicurahkan dalam kandungan bumi ini


dua ratus langkah dari Pringapus-Candi aku berhenti. memandang jauh, jauh sekali. kulihat panca-arga, lima gunung yang membetengi lembah Kedu. Merapi, Merbabu, Sumbing, Sindoro, Prahu. jauh ke utara Sumowono terlalu kerdil

aku kenangkan sejarah yang telah berpangkal dari Pringapus-Candi. aku lihat negeri-negeri dari masa lalu. Keling, Medang, Mataram, Kahuripan, Kadiri, Singosari, Wilwatikta Majapahit, Demak Bintoro, Pajang-Pengging lalu ditutup dengan Ayudya-Mataram

semuanya berjalin layaknnya rasi waluku-orion, yang memberi petunjuk akan datangnya masa untuk labuh, berjuang. negeri-negri itu sudah kidungkan kegemilangan mereka dalam nada Nusa Jawa, Nusantara......



pikiran; Pringapus-Candi, Temanggung, sepetember 2009
tulisan; Jakarta, 28 November 2009

Kamis, 11 Maret 2010

Tentang Yang Lebih Dekat

Seorang arif berbicara di masjid agung Damaskus sebagai khatib, di hadapan para jamaah yang hatinya telah layu membeku

Tak satupun dari mereka biasa mengarungi seluk beluk kerumitan dunia. Entah dunia fisik, alam hikmah atau pengajaran etis. Dia kuatir apapun yang hendak dikhotbahkan tak akan merasuk pada pendalaman hati jamaahnya. Layaknya api yang menyala tak bakal membakar batangan ranting zaitun. Baginya, apa yang hendak diucapkan ubahnya kesia-kesiaan seseorang yang memberi perintah pada sekawanan ternak atau mebawakan cermin kepada si tuna netra.

Tetapi walau bagaimanapun dia mesti melakukannya. Hingga pada waktunya satu cakrawala pemahaman memberikannya keberanian buat membabar ayat Qur'an, ''Aku lebih dekat pada kalian tinimbang urat nadi kalian sendiri''. Di penghabisan khotbahnya dia sisipkan satu seloka :

''Teman lebih dekat tinimbang diriku sendiri
Betapa mengherankan jika aku tak mengenali diriku?
Apa yang harus aku lakukan?
Kepada siapa harus kukatakan, bahwa saat temanku ada adalam rengkuhanku
Aku malah mencampakkannya''


****

Sebuah sungai yang besar tidak akan pernah menjadi keruh karena batu. Pun najis tak bakal menghilangkan kesuciannya.

Pada saatnya seorang sahabat melukai, bijak diri buat menahan diri. Permaafan sucikan diri terhadap keburukan.

Hakikatnya Allah mencipta bangsa Adam dari debu, dan segalanya akan berakhir pula sebagai debu.

Andaikan kita bisa menjadi debu usapan yang mensucikan penyembahan, jauh sebelum debu-debu lain menutup kita dalam pekuburan....


(Jelang subuh,... habis semalaman membaca Gulistan)

Rabu, 10 Maret 2010

Kupu-Kupu Bumi

( Bila di hamparan bumi tak kudapati, maka dikandung mimpi aku bakal mencari )

Di sini,
di dunia nyata tempat kita janji buat bersua

Aku tunggu setiap kawanan kupu-kupu
Kucari kiranya di sana sosokmu

Satu melintas
Yang lain berlalu
Dan tak juga kudapati kamu

Sekali aku bertanya pada kawanan yang berlalu
''dia ada pada kami'' kata mereka
''dia ada pada setiap kupu-kupu''

****

Kini hari-hariku
Aku sibukkan buat memandang kaummu
Kulihat cara kalian terbang
Kutafsiri cara kalian melayang
Di pucuk daun-daun, di kelopak kembang-kembang

Dari kalian,
Ada yang sedang diajarkan
Ada yang mesti aku temukan
Dan ada yang harus aku segera selesaikan

Sampai kuselami kehidupan kalian
Aku bayangkan menjadi bagian kaummu
Ah ya, yang jantan tentu saja


Bagaimana kiranya bunga-bunga hilang?
Di mana kaliam mesti mencari penghidupan
Bagaiman kiranya pohon-pohon tumbang?
Di manah benih-benih kalian beroleh makan
Bagaimana jika dahan dan ranting tertebang?
Di mana kalian bersamadi dan harapkan penyempurnaan

Aku saksikan, tanpa harapan
Aku saksikan, tak satupun peluang
Selain satu
Satu jua harapan
Satu bentuk peluang
Ya...sepanjang masih ada alam ini
Ya...sepanjang bumimu lestari
Darinya segalanya akan tumbuh lagi
Darinya segalanya akan terus hidup, tak dihenti
Sekali lagi alam menghidupi
Dan bumi berwelas budi


****

Aku dapati bumiku
Yang tergambar di angan mimpiku
Bersama gadisku
Bersama kupu-kupuku

Di alam nyata ini,
selamanya bumi menghampar
Selamanya di telanjang
Begitu elok
Begitu molek

Dan kini aku telanjang
Pada hamparan bumi aku rebahkan diri
Mataku menyentuh lembut debunya
Bibirku menyatu dengan basah lumpurnya
Sekujur tubuhku melebur
Dalam hamparan keperkasaannya, kepasrahannya

Tak satu juapun aku merasakan
Hanya dia mungkin mewadagkan
Aku satu pihak, dia pihak yang berseberangan
Satu kelumpuhan padaku
Satu kesadaran mungkin padanya

Dalam separuh kesadaranku
Kurasakan citra wajahmu pada bumiku
Wahai kau gadisku
Kupu-kupu bumiku


(Dahwi, 10 mar)

Lirik Kematian ( Dendang Genjer )

Lagu Genjer-Genjer sudah dikenal di Banyuwangi di tahun 50-an sebagai lagu rakyat terutama para petani. Tahun 1963 lagu ini sudah terdengar di TVRI dan RRI. Di aransemen oleh M. Arief saat bekerja di TVRI Jakarta.

Versi piringan hitam Genjer-Genjer kemudian masuk pasaran, dinyanyikan oleh Bing Slamet dengan lirik berbahasa Jawa (Timuran).

Namun lirik yang berbunyi ''esuk-esuk pathing keleler'' / pagi-pagi bergeletakan dianggap sebagai indikasi bahwa peristiwa pembunuhan 6 jenderal TNI pada peristiwa subuh G30S/PKI telah direncanakan

Alhasil, lirik-lirik sederhana lagu ini (yang konon dinyanyikan bebarengan dengan Tarian Harum Bunga di mana para Gerwani dam Pemuda Rakyat sama-sama menari telanjang ) menjadi kidung kematian bagi siapaun yang menyanyikannya

Berikut lirik yang coba saya terjemahkan.

****

Genjer-genjer neng kedokan pating keleler (2X)
Emake tole teka-teka mbubuti genjer
Oleh sak tenong mungkur sedot sing tolih-tolih
Genjer-genjer saiki wis digowo mulih

Genjer-genjer esuk-esuk digo ning pasar (2X)
Di gedeng-gedeng diuntingi pada didasar
Emake jebeng tuku genjer gawa welasan
Genjer-genjer saiki wis kudu diolah

Genjer-genjer esuk-esuk pating keleler (2X)
Setengah mateng dientas kok dienggo iwak
Sego sak piring sambel jeruk neng palupuk
Genjer-genjer dipangan mungsuhe sega

****

Genjer-genjer bergeletakan di rawa-rawa
Emak si buyung bergegas menyabutinya
Dapat sebakul lalu mundur merasa puas sudah
Genjer-genjer sekarang sampailah rumah

Genjer-genjer pagi-pagi dibawa ke pasar
Diikat satu-satu terus didasar
Emak si buyung beli genjer dengan welasan
Genjer-genjer sekarang sedia diolah

Genjer-genjer pagi-pagi bergeletakan
Masak setengah matang diangkat jadilah ikan
Nasi sepiring sambal jeruk di piring tanah
Genjer-genjer nikmat disantap berkawan nasi putih

****



Tempo hari seorang teman memberi saya lagu ini. Dua, satu yang dilantunkan Bing Slamet yang lebih rancak dengan kendang. Satu lewat suara Lilis Soerjani dengan dominasi biola.

Lepas dari kontroversi yang mengikutinya, tak bisa dimungkiri lagu ini begitu nikmat dirasa.

(Dahwi, 10 mar)

Selasa, 09 Maret 2010

Bersama Gadis Kupu-kupuku

(Semalaman aku,
bergumul dengan kupu-kupu)


Mantra terucap,
sepatah
dua patah dirapalkan
pada hadapan sebuah sesaji

Doa harapan,
bersama asap dupa-dupa
naik keharibaan para dewani

***

Aku masuki mimpi
dengan kuasa mantraku
melihat gadisku
Terlentang di atas batu persembahan
Telanjang,
surai rambut berombaknya
menutupi dua buah dada
Tanpa daya
Tiada kuasa
Di atas batu persembahan
Di depan altar dewi perang

Matamu pejam
Tapi hatimu kuyakin terjaga
Tanpa gerak di seluruh
Sekujur daging,
sesosok badan
Di mana jiwamu, O Gadisku?
Mungkinkah.
kau kunjungi mimpi yang lain

Aku bercermin
Pada bidang dadamu
Di sana rupaku
dalam gambaran yang kasar
Satu tatapanku yang kosong, pikirku
Harus bagaimana,
mestikah aku masuk jauh
menyentuh pendalaman jantungmu?

Sekujur tubuhmu,
aku ukur dengan tajam mata
Disana, di ujung rambutmu, logika sadarmu
Di tengah, di lekik pusarmu, insting birahimu
Di sini, di ujung kakimu, kesederhanaan keakuanmu

Kubakar dupa
Harum asapnya berkati tubuhmu
Ada darah yang mengalir ke setiap sudut syaraf
Ada nafas yang mengisi segala nadi
Nadi yang tak alirkan darah
Nadi yang alirkan nafas-nafas

Pada pucat dingin tubuhmu
Aku rebahkan tubuhku
Matamu menyentuh mataku
Bibirmu menyentuh bibirku
Sekujur tubuhku, melebur
Dalam semesta dagingmu

Ada yang aku rasakan
Entah yang kau rasakan
Aku satu pihak
Kau pihak yang berseberangam
Satu kesadaran padaku
satu kelumpuhan padamu

Saat sedikit kulirik bibirmu
Pelan kau bilang:
''terima kasih telah bangunkan aku''

Seketika kau berdiri, masih kugenggam tangan mungilmu
Kulihat selendang ghaib, mulai selimuti tubuhmu
Bercelup hijau terang
Seperti pucuk tunas daun

Kau lepas genggamanku
Kau sentuhkan telapak tangan kirimu pada dadaku
Tangan kananmu pada dadamu sendiri
Kau bilang:
''bukan di sini tempat kita bersatu
Pulanglah,
dalam keterjagaanmu
Di sana kita,
di sana banyak yang mesti kita selesaikan''

Habis ucapanmu
Aku sekedar tertegun
Saksikan langkahmu pergi

Kau berbalik belakangi aku
Kulihat dua pasang sayap tumbuh dari punggungmu
Sejenak kulihat
Sejenak kau berubah
Jadiah kini kau sebagai kupu-kupu

Gadisku...
Kupu-kupuku...


Dahwi, 09 mar

Sabda Tama ( pembuka rasa bagi pentingnya etika )


Jinejer ing wedha tama
mrih tan kemba kembanganing pambudi
mangkya nadyan tuwa pikun
yen tanmingkani rasa
sepi asepa lir sepah samun
samangsane pasemuan
ganyak gunyuk anglingsemi

( wedhatama, pupuh ke-2, pangkur )

sudah tertulis dalam ujaran leluhur
sebagai patokan ajaran pakerti
bahkan kepada yang telah menginjak dewasa
andaikan dia tak memehami etika
maka yang ada hanyalah kekosongan budi yang tawar
dalam luasnya pergaulan
hanya akan bertindak yang memalukan.

......

seberapa besarkah fungsi etika?
senilai apakah timbangan budaya?
manusia adalah anak alam yang (sewajarnya) patuh
menginsyafi keberadaanya..
yang pribadi...sekaligus yang sosial...

etika memberi batasan akan laku, sebagai kovensi informal untuk mencipta satu tatanan kehidupan yang lestari.
bersatu dengan dirinya sendiri lewat timbangan nurani untuk mendapat sang "aku" dalam pendalamannya.

bersatu dengan sesamanya dalam satu bangunan yang kukuh dan saling toleran, menghadapi cermin dirinya.

bersatu dengan alam jagat gumelar ( makro kosmic ) sebagai sang "wakil" yang beroleh wewenang buat mengelola dan menjaga untuk kemudian mengambil nilai-nilai darinya.

semuanya, dalam satu narasi besar untuk mendekati sang Khalik.. mendekati citra-citra kesempurnaan sifat-Nya.

etika adalah satu-satunya "pelepasan sandal" untuk menginjak tanah sakral nan primordial bernama kehidupan.........

(Dahwi, 09 maret 10)