Pringapus-Candi, september 2009 ( tahun saka ke-1931)
Matahari sudah lama tinggalkan terang, sisakan semburat kejinggaan, melengkapi tatahan candi yang sebagian sudah dalam reruntuk. sisa-sisa jaman undagi itu telah memasyurkannya dalam kegemilangan sejarah.
pada undagan pertama, berselang seling arca Kala-Nadi menyambut dan mensesanti setiap yang menjejak. satu ceruk bekas stana Hyang Durga masih utuh dalam lembab yang ditumbuhi lelumutan gunung. ya, Pringapus-Candi masih meger-meger dalam sisa kejayaanya. menghadap kearah timur, arah Merapi. sementara di barat berlatar Meru-Sindoro yang mengesankan tiruan Maha-Meru itu dalam kesatuan antara alam gelaran dan alam ruhani.
jauh, dulu ketika lemnah-lembah diseputaran Kedu belum lagi mengenal keercayaan langit yang di bawa oleh orang-orang dari negeri tempat surupnya matahari, stana ini ramai oleh orang-orang Medang yang berkeyakinan Siwa. meriap-riap mereka setiap bulan kasada untuk menghadap keharibaan kekuatan adi kodrati yang mereka yakini. melelui lelaku suci-via purguvita untuk kemudian pada akhir pencarian mengharapkan via-iluminativa, penyatuan diri dalam cinta dan kearifan............
*******
Pringapus-Candi tahun saka ke-709 ( maret awal, 867 Masehi)
Dia bertapa di depan altar itu. jiwa sejati coba dia hadirkan. meyingirakan anasir-anasir duniawi kebandaan yang meng halanginnya dengan jagat avatara, jalan penghubung dunia fisik dan alam keruhanian. dengan vidya-pengetahuan dia memulai. yang telah mesasmita padanya lewat tata-laksana keilmuan yang dia jalani. pengammbaran-pratyaksa, tarikan simpulan-anumana, pembandingan-upamana dan mengejawantahkannya dalam ucap-sabda yang timbul dari segala timbangan yang matang.
hanya dengannya dia dapat meyibak lapis-lapis ghaib yang selimuti diri, dia kesampingkan segala angan kenangan yang membuncah dalam smarta. mengenyahkan samsaya, perasaan ragu yang yang menggerogoti keyakinan yang telah dia satukan dalam kesatuan yang utuh. tak ada lagi tarka, dugaan-dugaan kosong dalam pikirnya. bukti-bukti fisik yang kering itu sudah dia letakkan dalam tumit kaki-hidupnya.
nawa-babahan, sembilan celah-celah tubuh dia tutup. nafas jiwa, prana dia gapai. dalam awal keterlelapan itu ia saksikan kilatan masa lalu, masa kini, dan hari depan dalam satu mampatan titik hitam. ya, hitam, warna bagi kematian dan dunia yang belum terungkap. lambang kerusakan yang seakan hendak datang meriap menghancurkan keseimbangan nagari
kemudian cahaya hitam itu melesat ke langit tengah-akasya-dengan pendaran hijau kebiruan yang meninggalkan sisa semburat keperakan pada hamparan selasar candi tempat dia bersamadi. lewat satu dentuman keras yang memekakan pendengaran orang tuli sekalipun turunlah dalam pandangnya sesosok makhluk berujud manusia berkepala gajah. berlengan empat, yang masing-masing menggenggam cawan-makha, tasbih-aksamala, kapak-parasyu dan sebuah gading dari dirinya sendiri yang telah patah. dialah Gana sang dewa Pengetahuan putra terkasih sang Parwati yang turun dalam ketinggian stananya. yang sedang membangun teki dalam semedi segera mengacarai. terdengar antawacana, wawansabda panjang yang kelak tertulis dalam lontar-lontar sejarah orang-orang lembah Kedu:
(keresahan menderamu wahai manusia, gerangan yang kau bimbangkan?. sedang manusia lain sudah terpuaskan oleh pacaran anugerah yang sudah diberikan oleh Pertiwi, Ibunda Bumi. tempat kau menjejak dan bersila, tempat menumbuh segala kesenangan yang meng-ada. belum cukupkah yang dia beri?. berujarlah kau manusia, sekirannya jawata dapat memberi sabda untuk segala yang kau dera!)
perasaan berpuas diri itu yang aku takutkan O Gana mulia, yang dengannya aku tak kan dapat kuasa lagi untuk mencari Sang Arti. arti tentang hidup dan kehidupan yang juga mengungkapkan kemurniannya yang begitu penuh dengan misteri. ya, kini nagari tempat aku menjejak seakan telah menghadir dalam titik nadzirnya
rusak nagari O dewa Mulia. semua menghambur dalam api perang dan kerusuhan. kehendak untuk memaklumkan diri sebagai yang terperkasa telah menggulung semua kebajikan dan kebijakan. mereka telah rampok segala yang telah dikaruniakan Ibunda Bumi Pertiwi untuk sarana saling menumpahakan darah sesama penghuni nagari.
( itulah cara Hyang Kala melewatkan jaman. menelan titik puncak peradaban lalu memuntahkannya kembali dalam reruntuk yang tercerai beraikan. dan pada masa-masa itu setiap manusia sang tersentuh jubah hitam sang Kala layak buat meresah dan berkecil hati. ini akan terasa berat justru bagi mereka yang tahu dan meyedari, sedangkan kaummu yang alfa hanya kan menganggap itu sebagai satu kewajaran jaman yang nisbi dalam arti. ya, itulah cara masing -masing dari kalian memaknai yang terjadi. tiada sepakat dan golong-rembug yang kuat.)
betapa sakitnya, kehancuran ini justru terjadi saat vidya-pengetahuan mulai menapaki alam pikir sebagian besar penduduk nagari. saat filsafat dan olah pikir yang paripurna mulai bisa diterima. gerangan yang sebabkan keganjilan ini Gana?
(O manusia, kalian perwujudan dari manas-pikiran dan usa-kehendak. berkacalah dalam jati-diri kalian. tengoklah. siapa kalian dan siapa leluhur kalian. padanya adalah tembok baluwarti, sekat-sekat peradaban yang menjadi pembeda. leluhurmu menggapai vidya-pengetahuan untuk mengungkap alam, lalu bersahabat dengannya dalam iringan yang setimbang dan lestari. sedangkan masamu, menggengam vidya-pengetahuan untuk menundukan alam lalu menggagahinya untuk menunjukan betapa kalian mampu untuk berkuasa. itulah penyebab keganjilan ini O manusia. cara kalian menggenggam vidya-pengetahuan. sekiranya sekarang sudah terlewat waktu. bumi nagari sudah kebanjur berjalan menuju titi baliknya )
O Gana, tiadakah kekuatan dewata sanggup mencegah semuanya? kalian penguasa langit tengah yang diberkati dengan tubuh ruhani.
( dewata bukan Yang Esa, manusia. dia juga adalah titah, kawula darti kekuatan Adi Kodrati yang mengatasi segala rencana. semua sudah diatur oeh Yang Esa. tubuh ruhani kami tak berbeda dengan tubuh fisik kalian. semuanya tak kekal dan sekedar kepulan debu dari hamparan maya-pada, jagat-semu. mintalah pada Yang Esa !! )
Yang Esa, siapakah Dia ?
(Dia yang swayambhu, Dia Yang Tak Diperanakkan.....)
bagai mana kami mengetahui semua?
(bersimpuhlah padaNya. manunggalkan kebeningan dan keheningan jiwamu. gusur vidya-pengetahuan untuk mendekati pengetahuan yang tak terbantahkan, sruti-Kitab Suci. seraplah segala kemungkinan yang mengambang disekeliling. bersatu dalam tri marga, tiga jalan penghubungan . Tuhan -manusia-alam. dengan memahaminya kau akan semakin mudah memahami Sang Arti. segala rasa akan mengungkap dalam ayat kesejatian wujudnya yang paling purba...........)
******
Pringapus-Candi, Rembulan Kalang
selimut gelap terjalin lewat deraian rambut sang Ratri, dewi malam.dia yang dulu dianggap sebagai penguasa kegelapan dan keheningan.
aku melangkah, turuni reruntuk yang mulai membeku dalam sapuan angin gunung. dingin meyusup dalam sunsum tak lagi terhiraukan. sejenak berhenti, memandang kearah tenggara. kulihat Usha, dewi bulan sudah terbah jauh lebih tinggi dari Candramuka Merbabu.
elok. pada bulatannya kulihat gelang cahaya mengelilingi. ah, Rembulan Kalang.... pratanda bagi masa-masa penuh ketidak-pastian yang bakal datang. sepintas rasa takut menghadir. menebak segala kemungkinan di depan. benarkah nagari tengah berada dalam ketidak-setimbangannya?...
hamparan di depanku aku sapu dengan sekali pandang.....
tanah molek, tanah nagari yang begitu subur, gemah ripah loh jinawi. segala berkah kiranya layak dicurahkan dalam kandungan bumi ini
dua ratus langkah dari Pringapus-Candi aku berhenti. memandang jauh, jauh sekali. kulihat panca-arga, lima gunung yang membetengi lembah Kedu. Merapi, Merbabu, Sumbing, Sindoro, Prahu. jauh ke utara Sumowono terlalu kerdil
aku kenangkan sejarah yang telah berpangkal dari Pringapus-Candi. aku lihat negeri-negeri dari masa lalu. Keling, Medang, Mataram, Kahuripan, Kadiri, Singosari, Wilwatikta Majapahit, Demak Bintoro, Pajang-Pengging lalu ditutup dengan Ayudya-Mataram
semuanya berjalin layaknnya rasi waluku-orion, yang memberi petunjuk akan datangnya masa untuk labuh, berjuang. negeri-negri itu sudah kidungkan kegemilangan mereka dalam nada Nusa Jawa, Nusantara......
pikiran; Pringapus-Candi, Temanggung, sepetember 2009
tulisan; Jakarta, 28 November 2009
Tidak ada komentar:
Posting Komentar