Senin, 25 Oktober 2010

Jawa vs Senyum ( The Night Call )




Seandainya saja The Night Call adalah judul film horor Hollywood, maka film itu pasti akan menceritakan sekelompok orang yang diteror oleh dering telefon ditengah malam. Telefon itu mungkin dari arwah penasaran berandalan yang meninggal dijalanan Brooklyn atau bahkan dari alien yang kesasar masuk kedalam orbit bumi. Tapi karena itu bukan judul film Hollywood, maka kita tidak akan menemukan arwah penasaran atau alien. Paling banter kita hanya akan menemukan manusia yang semakin ter-alienasi dalam alam globalisasi ini.

Malam kamis lalu  saya dikejutkan oleh The Night Call itu. Malam itu kok saya bisa-bisanya mecicenen alias nggak bisa tidur sampai lewat tengah malam. Tapi ini jelas bukan karena saya teganggu oleh pikiran-pikiran rumit yang biasanya mengganggu waktu istirahat orang-orang besar nan sukses itu. Yang saya alami pure, murni karena terganggu dengungan nyamuk yang sliwar-sliwer diatas kepala, disamping kuping, di dlamakan kaki dan tempat-tempat lain yang entah kenapa kok bisa sebegitu menariknya bagi kawanan “drakula” penghisap darah itu. Dan ndilalahnya obat semprot nyamuk saya kok ya pas habis juga. Maka jadilah malam yang sumpek dan gerah itu. Saya bagaikan Tentara Merah-nya Stallin yang mesti bersembunyi di bunker-bunker lembab dan ampek sementara diatas mereka anggota Luftwaffe-nya Hitler wira-wiri sambil menghamburkan bom-bom napalm yang suaranya begitu mbrebegi itu.

Disaat setengah sadar, seperempat capek dan seperempat anyel itu tiba-tiba phone-cell saya berdering dengan nyaringnya. Iya, HP saya yang berisi pulsa hanya dari tanggal 1 sampai 20 saja itu. Maklum buruh pabrik Mas.., kenaikan gaji saja sering di-rapel.

Tapi .... njur siapa malam-malam begini ?. Inikan sudah melanggar aturan protokoler dimana diatas jam 10 malam tidak dibenarkan seorangpun boleh menggangu waktu istirahat saya yang begitu berharga itu. Dengan geragapan saya samber HP saya itu. Setelah ucek-ucek mata sebentar saya lihat siapa yang brani-braninya mengusik macan turu ini. Ketika saya baca: edaan Djeng Lis malam-malam begini ……??. Waduh njur ada masalah besar apa lagi ini ? Nggak sari-sarinya dia telefon malam-malam. Jangan-jangan burung nuri kesayangannya itu kabur lagi ?. Atau mungkin si Keli kucing kembang asem-nya itu masuk angin lagi ?. ah tapi nggak mungkin, wong tanggal-tanggal segini dia pasti ada di Magelang , apa lagi besok liburan.

Setelah diawali dengan sedikit basa-basi, maka dimulailah interograsinya yang cenderung mendominasi itu. Tapi itu bukan karena saya kalah dalam improvisasi dan amunisi kata-kata, tapi karena saya masih harus memulihkan diri dari rasa kantuk dan letih . Sedangkan dia walaupun mungkin sedang ada masalah, tapi secara fisik dalam kondisi yang ( barangkali ) cukup prima.

Dia mulai:

“ Lho kok njanur gunung, tumben nJenengan belum tidur ini ….? “

“Ya… Aku kan cuma mengikuti dawuhe mBah Kakung suwargi tho Djeng…….. dimana saya mesti rialat, prihatin, dengan cegah lek, tidak tidur terlalu sore…ya biar semuanya diparingi keselamatan sama Yang Kuasa tho !! “

“ alaah……. prihatin apa memang nggak bisa tidur gara-gara mikirin aku………? apa jangan-jangan diteror sama nyamuk-nyamuk Jakarta yang nggegilani itu ….? “

lho kok dia tahu..? Kadang-kadang saya mesti mengakui jika perempuan itu sama Gusti Allah dikaruniai insting dan naluri yang lebih peka.

” kok bolehnya ge-er lho,…wong dipikirin apa tidak tetep saja kamu itu jadi pikiran kok…….so …there are something for discuss ..?

” jadi sudah siap bener tak ajak diskusi ini….? “

“ sepanjang itu tidak terlalu memerlukan pemikiran …. Jadi soal apa tho yang bikin kamu begitu mruput dan galau ini…..?.. “

“ sebenarnya itu soal senyum…kok…”

“ apa…apa…apa…..senyum...……?”

Dia lalu menceritakan apa yang terjadi. Entah kenapa lalu dia merasa bahwa seluruh dunia menjadi begitu tak peduli padanya. Dari ibu kost-nya sampai teman-temannya satu kos-kosan itu kok tiba-tiba bersikap tidak begitu simpatik padanya. Gara-garanya ya soal senyum itu. Pagi kemarin dia lupa pamitan sama ibu kost-nya waktu mau berangkat ke tempat kerja. Padahal biasanya setiap dia berangkat, dia akan menyapa ibu kost-nya yang lagi srag-sreg nyapu dihalaman depan dengan senyum pagi yang cerah pula.

Dan entah kenapa sang ibu itu jadi merasa lain, dan dia menganggap Liestyar sekarang jadi agak sombong. Ndilalah-nya lagi, saat pulang kerja, dia nggak mendengar saat ibu kost-nya menegur dia, dan lagi-lagi dia nggak sempat untuk sekedar senyum. Wong dia itu sudah benar-benar kecapekan. Merasa mendapat sebuah legitimasi yang semakin kuat, maka ibu kost-nya itu lalu menceritakan kepada teman-teman dia. Maka jadilah teman-temannya itu ikut-ikutan meng-embargo setiap sapaan dan salam dia.

Wong mereka itu nggak tahu kalau aku ini lagi begitu ewuh lho..”. keluhnya kemudian. Lalu dia melanjutkan:

” Mosok setiap saat kita itu mesti selalu senyum dan ramah. Kan kadang-kadang kita bisa terbentur masalah yang bisa membikin kita lupa untuk sekedar senyum?. Kok susah lho jadi anggota komunitas sosial itu, apalagi komunitas sosial Jawa. Seakan-akan segalanya mesti terlihat edi, peni dan luwes saja. Perasaan pribadi biar bagaimanapun kok ya mesti di pendam dan diredam, sementara etika dan sopan-santun mesti diutamakan. Kalau begini terus bagaimana kita bisa mengungkapkan diri dan bersikap sedikit terbuka ?. Giliran susah saja tidak ada yang mahu tahu. Kalau pas kita ketiban pulung, mendapat berkah dari Gusti Allah kita tidak dibenarkan buat menyenbunyikannya, katanya ora ilok. Lalu kita mesti berbagi kebahagiaan itu. Kadang-kadang saya kok merasa budaya Jawa yang terkenal adiluhung ini toh di lain sisi tidak adil juga ”

Saya hanya bisa diam mendengar semua monolog dia itu, belum saatnya mungkin saya memberi komentar. Karena bagaimanapun saya mesti mendengar lebih banyak lagi agar bisa menilai secara lebih lengkap dan paripurna. Sementara dia mbabar rasa, saya membayangkan suasana ditempat kost dia itu. Sekali saya mampir dirumah kost yang terletak di kampung Potrobangsan No. 107A, Kebondalem, Magelang itu.

Rumah yang cukup nyaman dengan banyak pohon trembesi dan johar yang mengingatkan saya dengan daerah Kampung Melayu, Jatinegara. Lalu saya ingat ibu kost-nya yang janda pensiunan Kepala Pegadaian cabang Gamping, Sleman yang wajahnya diwaktu muda mungkin agak mirip Christine Hakim. Dirumah itu dia tinggal sendiri. Anak tunggalnya yang konon menjadi perwira TNI ditugaskan di Fak-Fak, Irian Jaya sana. Seorang ibu yang baik sebenarnya, saya dan Djeng Lis jelas sepakat dengan hal ini. Tapi kok bisa-bisanya dia memberikan penilaian yang seperti itu ?.

Tiba-tiba :

” halo..halo... lho jangan tidur dulu ini !!!....... we lha... halo..? ”

” oaaahem..... siapa yang tidur...saya cuma menghayati cerita mu itu kok . Tenang saja ....wis lanjutkan saja .....aku bisa jadi pendengar yang baik kok !!! ”

” iya..iya... percaya...tapi kayaknya ini sudah saatnya deh nJenengan itu medar sabda dan kasih masukan.......! ”

Mati aku..... njur saran apa yang bisa diberikan oleh orang yang sudah desperate antara terjaga dan terlelap seperti ini ?. Tapi biar sedikit nglegani saya buka mulut juga:

” gini lho Djeng..bagi saya masalahmu itu disatu sisi sebenarnya sederhana saja kok ..tapi disisi lain bisa dianggap gede lho masalahmu itu ! ”

” maksudnya...? ”

” ya ..itu... persoalan salah paham antara satu orang dengan orang lain itu kan biasa saja tho ?..tapi itu menjadi rumit ketika kamu meng-konfrotasikan-nya dengan sebuah budaya. Termasuk budaya Jawa, seperti yang kamu bilang itu ”

” kok aku belum mudeng juga ..konkretnya ?... kersamu itu... ?..”

” konkretnya yang kamu hadapi itu sebenarnya bukan budaya Jawa, tapi sekedar seorang Jawa saja. Budaya Jawa sebagai sebuah nilai kolektif jelas nggak bisa dipersalahkan dan itu mengandung pembenaran kolektif pula, yang seperti kamu tahu , ” tak tergugat”. Tapi bila bicara orang Jawa ?, lain soal itu. Logikanya begini : apakah budaya Jawa yang penuh rasa halus ini lalu menghasilkan orang-orang yang sepenuhnya halus pula, tidak kan ?. Buktinya, Budhe kamu itu dulu itu ya bisa kecopetan juga di pasar malem Sekaten. Dan walaupun nggak akurat toh kita bisa nunjuk hidung kalau yang nyopet Budhe dulu adalah orang Jawa juga, padahal dimensi budaya Jawa jelas nggak membenarkan segala bentuk pencurian. Ini contoh yang kasar lho...yang lebih halus ya seperti yang kamu alami sekarang ini ”

” O.K...taruhlah yang nJenengan ucapkan itu benar.... tapi aku tetep tidak habis pikir, kok bisa-bisanya ibu kos-ku itu bisa mengambil kesimpulan yang begitu premature, hanya gara-gara aku lupa untuk sekedar senyum. Itukan... nuwun sewu ya, sebuah pemikiran yang kekanak-kanakan tho ”

” bisa begitu... .tapi tidak lantas mesti begitu juga lho,... sekarang gini, bagi dia siapa sih Liestyar yang dia kenal itu ?... seorang Liestyar yang baik, murah senyum dan grapyak kan ?...dan yang kamu tampilkan saat itu, terlepas apa yang sedang bikin ewuh kamu itu ya, mungkin sisi kamu yang lain, yang bagi dia benar-benar lain dan beda. Dan setahu saya ya, tidak semua orang lho yang secara serta-merta dapat mengatisipasi sebuah perubahan, bahkan kebanyakan selalu gagal dalam mengantisipasinya, termasuk perubahan sikap..... Jadi menurut saya ya, ibu kos-mu itu nggak benci sama kamu, cuma mungkin...apa ya istilahnya.....merasa nggak dianggep saja kali ya....? ”

” alaah... terus apa bedanya..? ”

Saya masih ingat saja dengan cara dia mengucapkan kata alaah itu, bolehnya kenes banget itu lho. Mungkin itu sejenis logat yang mengekspresikan kesadaran dari sebuah ke-alpa-an sekaligus rasa keraguan yang dibalut menjadi satu dengan bahasa yang unik tapi penuh penafsiran. Lalu dia melanjutkan :

” tapi sudah terlanjur itu lho, aku sudah kebacut dapat nilai merah dari mereka…kira-kira bagaimana ya enaknya ?...minta maafnya ??,,..aduuuh... kasih saran dong !!”

” we lha, gampang kok Djeng , asal kamu itu tahu ngelmunya. Tak kasih tahu ya.!.orang Jawa itu sebenarnya mirip sama huruf Jawa itu sendiri lho. Kalau dia dipengkal, ditaling, ditarung, disuku, dipepet dia malah akan hidup dan berontak. Tapi coba kalau dipangku justru dia malah akan mati dan diam, iya tho. Makanya lebih baik kamu pangku ibu kos dan teman-temanmu dengan senyum, kerendahan hati, pengertian, pujian dan bahasa yang halus, singkatnya gunggung saja mereka itu. Wis tho , tak jamin bakal luluh juga hati mereka. Ingat lho, mereka itu masih orang Jawa kan...iya apa inggih ...? ”

Diluar dugaan, mendengar analogi saya tentang orang Jawa dengan huruf Jawa itu tiba-tiba saja dia tertawa. Diampuut iki, apanya yang lucu? wong ini ngelmu serius lho.

nuwun sewu ya,...hi..hii,..ada-ada saja...maaf ini kalau akau jadi ketawa gini. Aku malah jadi mau tahu terus dari mana nJenengan dapet ngelmu tentang mangku orang Jawa itu. Jangan-jangan ada kitabnya ?, njur siapa lagi itu Empu yang mengarangnya ? ”

” wong kamu nggak tahu saja...ini kan saya dapat dari kitab "Pengakuan Pariyem" karangannya almarhum Linus Suryadi Agustinus. President kaum penyair Malioboro itu. Tapi kalau boleh tahu ya Djeng, apa sih yang bikin kamu ewuh sampai akhirnya kesrimpet masalah seperti ini ? ”

” ada deh...., besok saja kalau nJenengan pulang kampung tak kasih tahu. Jadi balik kan akhir bulan nanti ? ”

” em....pulang enggak ya ?....”

” itu....kan.........”

” iya..iya,,pulang., piye, mau tak bawain oleh-oleh apa ? ”

”  beneran ni?... ya dah bawain................ “

  Saya ingat dia lalu meyebutkan beberapa judul buku termasuk "Gitanjali" nya Tagore dan "Diary"-nya Anne Frank. Hmmm ya....satu titipan yang sangat melegakan. Wong cma buku saja lho......


*****


Dan begitulah.......

The Night Call itu akhirnya berakhir juga. Tapi tetap saja ada pikiran yang membuat saya semakin tidak bisa tidur. Dulu Titan dihukum oleh Zeus gara-gara dia mencuri api abadi dengan dikirimkan perempuan bernama Pandora. Konon dia membawa sebuah kotak yang berisi seluruh permasalahan dunia. Dan entah apa dosa saya kepada Gusti Allah sehingga saya mesti diuji, mesti menghadapi perempuan macam Djeng Lis itu.

Tapi anehnya, sama seperti Titan saya kok justru malah menikmati ujian itu.

Esok paginya saya bangun telat. Dengan geragapan saya raih HP saya. Dengan sisa pulsa terakhir, saya kirimi dia pesan singkat :

Segui il tuo corso, ‘E lascia dir le genti
Tetaplah berlalu, biarkan mereka menggerutu




 +++, sore 25 oktober 10

Kali Ini Tentang Sawang Sinawang

Dalam salah satu naskah dramanya William Shakespeare pernah ngomong begini:

Terdapat bahasa dimatanya, pipinya, bibirnya
Sekarang kakinya berbicara dan rohnya yang cabul memilih-milih
Di setiap persendian dan motif didalam tubuhnya.  ( Trolius and Cressida, babak IV adegan V )

Itulah konsep body language, saat bicara tidak melulu melibatkan mulut. Semua kata diwakili dengan ekspresi, dan bahasa cukup diwakili dengan citra. Nah, sekarang kita coba buat penafsiran dari dialog Shakespeare itu ( tentu saja menurut versi saya sendiri ).

Secara berurutan dia sebut pengelihatan, pipi ( kita tafsirkan saja sebagai wajah ya!!!), bibir, dan persendian ( anggap saja sebagai gesture alias gerak tubuh). Anehnya itu ya, kok dia sebutkan “ pengelihatan” pada urutan pertama dalam mengungkapkan bahasa, dan justru menyungkurkan “bibir“ pada urutan ketiga. Sedangkan dalam pengertian tradisional kita bibirlah lambang ekspresi bahasa, iya kan ??.

Saya juga nggak menuduh Skakespeare menafikan fungsi bibir sebagi ekspresi bahasa, cuman sekedar menganggap dia ingin menunjukan bahwa ” mata” mempunyai kemampuan untuk mengungkapkan sesuatu, dengan derajat yang ( kadang–kadang ) lebih tinggi. Dalam perumpamaan yang berlebihan ( dan sedikit norak ) bahkan ada yang bilang bahwa mata adalah cermin jiwa, semua isi jiwa dari yang nampak dan segala jerohan yang coba di sembunyikan akan bisa dilihat jika kita berhasil mengintip mata mereka.

Bagi kita yang pernah menonton film semi-animasi ( bukan semi yang lain ) The Voyage Of The Unicorn tentu akan ingat slogan yang terkenal dalam film itu, “ Credendo Videz”. Kalau diterjemahkan kata itu kira-kira berarti “ melihat adalah percaya / siapa yang percaya dia akan melihat”. Dengan kata lain bisa dikatakan jika kepercayaan kita bisa dikatakan afdhal jika dibuktikan dengan melihat. Atau mungkin hanya cukup dengan melihat kita bisa mempercayai sesuatu.

Dalam pengertian yang lebih luas melihat dapat berarti sebagai pengetahuan, pemahaman atau malah sebuah kekuasan. Orang-orang Barat misalnya, dia akan bilang ” yes I see ” jika dia telah memahami sebuah subjek yang sedang dibahas ( bukan ” yes I hear” atau ”yes I feel” ).

Kaitannya dengan kekuasaan ada sebuah etimologi ( seperti diucapkan oleh Michel Foucault ) antara sebuah visi ( ”melihat” dalam pengertian lebih inten ), pengetahuan dan kekuasaan ( voir, savoir and pouvoir ).

Dalam logat Jawa pun ada kemiripan, dimana jika mereka tidak mengetahui suatu masalah mereka akan bilang ” wah... ora weruh aku” atau mungkin ” embuh ora weruh, yo..”( bukanya ”embuh ora krungu” atau ”embuh ora kroso” ). Dan bila mereka menanyakan sesuatu yang belum mereka pahami mereka akan bilang ” menawi kepareng kulo nyuwunn pirsa bilih ... ”

Dengan begitu seakan-akan kita menemukan imanensi antara melihat dan mengetahui, antara mata dan otak ( baca : rasio ). Dan walaupun ada aliran filsafat yang menafikan akurasi ”mata” sebagai sebuah sumber pengetahuan tapi bagaimanapun juga kita tetap membutuhkan ”mata” untuk menguji suatu postulasi menjadi empiris dan mencapai derajat pengetahuan praktis.

Sampai disini kok seakan-akan ”mata” itu mereka perlakukan sebagaimana usus buntu lho. Sampai sekarang orang tidak tahu apa tho guna bagian itu, tapi toh kalau ada masalah padanya kok ya seluruh badan ikut merasakan juga. Jangan-jangan itu sebabnya dia disebut appendix, yaitu sekedar ”tambahan ” saja.

Dalam hitung-hitungan sosial kita mengenal fenomena ”sawang-sinawang” sebagai wujud interaksi. Nyawang ( melihat ) adalah sebuah aksi lalu disawang (dilihat ) adalah sebuah reaksi. Nah ”kesalingan” antara nyawang dan disawang itu kita sebut sebagai sawang- sinawang. Agak susah juga mencari padanan arti kata itu dalam bahasa Indonesia, yang agak mirip mungkin adalah kata “ saling tatap”. Tapi sebenarnya nggak juga sih, sebab “saling tatap” adalah aktifitas “melihat” dimana kedua belah pihak ( yang nggak mesti dua orang ) melakukannya secara inten dan sengaja. Sedangkan “ sawang-sinawang“ jelas nggak menyaratkan kedua pihak buat melakukannya secara “ sengaja “, jadi cukup satu pihak yang melakukannya secara sadar ( biasanya si subjek ) sedangkan pihak lain ( biasanya si objek ) nggak perlu menyadari. Lho, kalau nggak menyadari terus apa yang dia lakukan ???. He.he.he ternyata dia cuma perlu buat ” nyawang” pihak yang lain lagi.

Jadi kesimpulan dari kata ” sawang-sinawang” yang cenderung mbulet dan nggak jelas itu adalah : interaksi sosial dimana kita ini disawang tapi kita nggak mesti tahu siapa yang menyawang kita, tapi disaat yang sama kita juga nyawang orang lain dimana orang itu boleh jadi nggak menyadari sawangan kita, demikian lah seterus nya..

Tapi kok bisa-bisanya lho konsep itu ada. Usut-punya-usut ee lha kok, ternyata itu adalah semacam jalan keluar bagi suatu jebakan filsafat yang ada dimasyarakat nJowo ini. Umar Kayam pernah bilang bila masyarakat nJowo ini adalah masyarakat yang cenderung untuk menghindari sebuah konfrontasi langsung sebab itu akan merusak sebuah ” keharmonisan”.

Ini juga berlaku bagi budaya menatap, tatapan yang langsung dan vulgar tentu saja sangat riskan buat menimbulkan sebuah konfrontasi atau malah-malah konflik ( bayangkan saja jika tiba-tiba ada orang mentheleng didepan kita, emosi kan ?? ). Nah dengan sekedar nyawang yang bisa dilakukan dari tempat yang jauh ( sebuah titik netral tentu saja ) dan tanpa sepengetahuan si dia maka kita dapat menilai tanpa menyinggung dia yang dinilai itu dan akhirnya konfrontasi dan konflik itu nggak akan terjadi, peribahasanya itu : dijupuk iwake nanging ojo nganti buthek banyune, terambil iknnya tanpa harus kerug airnya ( gimana apa nggak hebat bangsa nJowo ini ).

Tentu saja itu yang dulu saya lakukan kepada Djeng Lis (tentu saja bukan nama sebenarnya ), dulu mungkin saya cuma berani menatapnya dari jauh saja, mencuri-curi mungkin. Tapi itu dulu lho, lha sekarang ??,. wallah mbok saling tatap empat puluh hari empat puluh malam tanpa kedip, dan tanpa dopping wedang kopi atau minuman isotonik pun OK saja lah.....jika ada konfrontasi ???. Ya jelas nggak masalah dong lha wong kadang-kadang memang konfrontasi itu tujuanya kok. Tapi bukan konfrontasi yang negatif lho itu sih melanggar wewaler dari Gusti Allah, bisa kualat nanti.

Terus konfrontaasi yang positif itu yang kayak apa??. O... ada, itu adalah semacam debat super ilmiah yang melibatkan dua kubu yang saling berlawanan dalam memandang persoalan kehidupan ( lha wong persoalan kok dipandang.. diatasi dong ). Salah satu versi-nya kayak gini nih :

” Piye, gimana pantes nggak disawang ?”. katanya sambil mengepas baju terusan yang baru selesai dari taylor itu.

” Panteees,...” jawab saya serampangan saja, sebenarnya itu jawaban yang nggak teknis sih, Wong seumur- umur saya ini nggak pernah mudeng soal fesyen kok.

” Serius ini, awas lho nek nJenengan bohong, bisa disawang nggak tahu meng-adibusana saya nanti sama ibumu itu”

” Lho memang nya aku pernah bohong??”

” Ya ampun, bukannya pernah lagi, tapi ........”

“ Tapi kamu sendiri tho yang sering bilang jika bohong itu bukan masalah boleh atau nggak boleh tapi masalah perlu nggak perlu”

“ Iya.. tapi tetap dosa juga kan ??”

” waaah, Ya nggak tahu ya, wong kalau menurutku bohong itu bukan masalah spiritual tapi sebuah fenomena sosial saja ”

” Ah, embuh lah.. bodo..”

Kalau sudah kayak gitu saya kan melihat ekspresinya yang sedang anyel itu dengan senyum kemenangan ( touch , kena lu ). Tapi dia nggak akan marah kok. Sebentar lagi juga dia akan feel alright lagi, lalu memamerkan senyumnya yang bernuansa continental itu, mirip The Illusionist Girl from Viena tapi dia bukan illusionist cuma sedikit euthinist saja.

” Memangnya sepenting apa tho sawangan orang itu ??” tanya saya sesudah dia sudah bisa lepas dari desperate-nya itu

” Lho, piye tho, gimana, lha ya penting banget..., itukan masalah citra kita dimata orang lain, apalagi didepan ibumu , woo bisa dikritik habis-habisan aku nanti, wong kadang-kadang ibu itu bisa bersikap sebegitu kritisnya kok !!” ....

( wuaah.. kok dia masih ingat kejadian waktu dia diprotes sama ibu saya gara-gara salah pakai motif kain nyampingan saat resepsi pernikahan sepupu perempuan saya yang di ngGunung Kidul itu. Gila, waktu itu dia pakai batik motif parang rusak kayak Duryudana mau pergi perang saja, paling tidak pakai sido mukti apa semen cemokiran lah )

” Tuuu kan, lagi-lagi kan cuma perkara citra saja, mbok ya sekali-sekali hilangkan politik citra itu lho, be yourself gitu !!”

” Be yourself ya be yourself..., tapi memang harus begini ini yang namanya perempuan, kalau nggak modis ya malah disanggka aneh nanti “

”Lho malah keren tho dianggap aneh, wong menurut ngelmu yang aku pelajari itu memang syarat buat menjadi perempuan itu adalah harus aneh, kalau nggak aneh ya nggak perempuan namanya”

Mendengar saya ngomong gitu kok dia tiba-tiba mak cep, diam seribu kata, jangan-jangan tersinggung,, tapi nggak juga wong habis itu dia malah nggleges dan ngomong gini:

”nJenengan itu ya ada-ada saja, lha kalau aku jadi ikut-ikutan aneh lalu mau jadi kayak apa bangsa ini ??. Wong dengan satu orang aneh macam nJenengan saja negeri ini sudah menanggung beban sosial yang begitu berat kok !”

”Iyak ngarang..., memangnya aku ini menderita kelainan neurosis apa, ...Maksuku itu, mbok ya kasih dong penjelasan yang sedikit ilmiah tentang alasan kamu yang bolehnya getol banget ngurusin sawangan orang itu !”

”Begini , yang namanya perempuan itu dari lahir ya memang harus manis kalau disawang, lalu dididik secara manis juga, dan kalau besar ya mesti tampil manis juga. Yang lain itu nggak penting, setidaknya sampai umur 25-an lah ”

“ Lha, terus fungsi penampilan manis itu terus apa?”

” Mosok nJenengan nggak bisa menebak sih, katanya pinter....... ”

” Pinter ya pinter, tapi kalau masalah budaya tampil manis ??? waaah, ya nggak mudeng tho aku ..”

” Gini..gini..lho , itukan sebenarnya juga karena bangsamu itu tho, yang selalu nyawang kaum Hawa dengan pandangan sedikit merendahkan. Makanya biar sedikit mengangkat derajat ya.. dengan meluweskan diri itu.....jadi mereka itu bisa sedikit menghargai. Dan kami yang selalu kalian anggap sebagai second sexual orientation ini bisa sedikit lebih pe-de ”

” waduh....kok aku baru tahu kalau sawang-sinawang itu hubungannya dengan relasi gender segala, gek sejak kapan itu ?”

” Sejak kapan- sejak kapan..... lha ya sejak peradaban itu lahir tho..... dari dulu yang namanya sawang- sinawang itu ya selalu melibatkan masyarakat dan kelas yang berbeda dan berseberangan. Kelas ”perempuan” vs kelas ”laki-laki”, kelas ”kaya” vs kelas ” miskin ”, kelas ”penguasa” vs kelas ”jelata”, kelas ”buruh” vs kelas ”pemegang uang” ,,, sampai kelas-kelas yang cenderung nggak berkelas itu...” katanya dengan nada yang meninggi

(Kok dia jadi ngomongin pertentangan kelas, kayak Karl Marx saja )

Biar agak relax saya goda dia begini:

” lho?, lho mengko disik tho, kok malah melebar dari konsep tho ini..., jangan-jangan nanti kamu juga mau bilang kalau sawang-sinawang itu ada hubungannya dengan global warming, regulasi anggaran, ekonomi makro, index saham, atau malah kebijakan moneter segala...... wong aku cuma takon kenapa kamu kok begitu khawatir sama penampilan kamu itu saja... ”

” Habis nJenenan itu nganyelake tenan kok, wong saya njelasin serius-serius kayak gini kok malah klecam-klecem, pringisan kayak gitu..... ”

(Ah, dia nggak tahu saja kalau saya senyum-senyum itu bukannya saya menyepelekan tapi saya malah terkesima dengan artikulasi dan pemahamannya yang khas itu ( jan sudah mirip aktifis feminis beneran ). Cara dia membangun logika dan memberi contoh konkret boleh juga).

Karena agak kasihan akhirnya saya ngaku juga:

“ Jujur nih ya... terlepas dari semua tetek-bengek itu..... kamu pantes kok pakai baju itu.. wiis,.. nggak usah kuwatir kamu sudah kelihatan bella figura betul kok..“


Dan mendengar pujian saya itu dia malah jadi semu kemerahan pipinya, tersipu... ah tahunya, jadi dia itu cuma lagi mau "disawang" saja tho.




dahwi,
akhir september 2010

Tentang Sebuah Tarian

Jangan kau hentikan tarianmu, gadisku
Aku bukanlah orang iri yang datang dengan pandangan jahat
Bukan pula musuh gadis-gadis
Dan meskipun dengan air mata, kuminta kau buat tetap menari
Dan disini, hendak aku nyanyikan sebuah lagu untuk tariamu


Banyak yang bisa ditafsirkan dari sebuah tarian. Dari pemaknaan spiritualistis sampai pada pengertian yang cenderung politis atau malah bahkan libidonis. Orang-orang sufi dulu dibawah bimbingan Jalaluddin Rumi menarikan tarian dengan gerak memutar sebagai sarana pendekatan kepada Yang Eternal. Konon gerakan itu merepresentasikan gerakan alam raya dan planet-planet yang diciptakan Tuhan dalam gerak sentrifugal. Tarian bagi mereka tidak hanya sebuah gerakan kinetis yang berhenti pada tujuan akan keindahan dalam pengertian estetis saja. Bagi mereka tarian adalah ”jalan pelepasan” dimana badan wadat menyatu dalam gerak dan suara sebagai suatu spirit (nous) untuk mencapai sebuah pencerahan. Disinilah mereka memeperoleh ”kemabukan” dimana batasan antara jiwa, dan Sang Pembuat Jiwa sudah tersingkap sama sekali. Disitulah mereka melakukan ”pelepasan sandal”, mereka memasuki wilayah tersuci bagi sang jiwa. Jadi bagi mereka tarian adalah sebuah via purguvita ( proses pemurnian ) yang mereka titi untuk mencapai suatu via illuminativa ( penyatuan dalam cinta dan kearifan). Dalam mistisme Jawa mungkin bisa diterjemahkan sebagai satu ”lelaku” pengembaraan jiwa dengan tujuan (yang saya sendiri masih agak ragu buat mengatakanya), yaitu: manunggaling kawula gusti dan mangestuning rasa dalam satu naungan yang tunggal dengan menyatukan segala karagaman yang berwujud dalam satu wujud yang bahkan sudah menafikan segala wujud. ( gimana pusing kan??).

Itu dari sisi spritualitis. Dari segi politis tarian juga sering dijadikan sebagai sebuah ” penekanan legiminatif ” terhadap pengesahan sebuah tindakan yang berhubungan dengan kekuasaan. Contoh kongkretnya ya, pas peristiwa Gestapu dulu itu. Dimana para anggota Gerwani dituduh menarikan Tarian Harum Bunga. Sebuah tarian yang menggambarkan para perempuan yang menari telanjang dengan iringan lagu Genjer-genjer sambil mbawa clurit lalu ( nuwun sewu ) ”nyupiti” para jenderal dan pejabat teras TNI waktu itu. Ah, tapi jelas nggak benar pemberitaan itu. Bukannya saya mbela ya. Tapi apa ya memper, sebuah organisasi kewanitaan terkuat di Nusantara yang juga anggota Organisasi Perempuan se-Dunia dibawah pimpinan perempuan khrismatik macam Umi Sardjono dan Masyesiwi melakukan tindakan sebejat itu. Nggak mungkin tho!!, jadi kok bisa dikabarkan seperti itu, wallah itu sih akal-akallannya ..... saja ya !!! .

Dijaman embah buyut ( masksudnya jaman feodal ) dulu bahkan stratifikasi ( atau tepatnya kastanisasi ) tarian malah merupakan sebuah keniscayaan. Jadi antara yang ningrat-yang rakyat, yang pedalaman-yang pesisiran jelas mempunyai jenis tarian sendiri-sendiri. Tarian yang diklaim sebagai ”hak ”kasta tertentu bahkan di-”haramkan” untuk ditarikan oleh penghuni kasta yang lain. Dari sana kita mengenal macam gambyong, serimpi, bedaya yang merupakan stereotipe golongan ningrat. Sedangkan golongan bawah dengan segala kemarjinalannya menarikan ledek, tayub, atau ronggeng ( yang kebetulan semuanya kok sering diindentikan dengan prostitusi ”halus” yang secara kultural ”dibenarkan”). Sedangkan kaum pesisir yang kebetulan mempunyai akar agama yang kuat dan pergaulan yang lebih terbuka cenderung mengapresiasi tari yang bernuansa ”religi” macam kodrat dan gambus.

Dari pandangan libidonis?? ( itu yang paling terlihat saat ini ) itu sih jelas soal penari-penari stripis baik yang exclusive di klub-klub atau yang diumbar bebas dilapangan saat pasar malam atau konser-konser nDangdut Koplo yang ( tahu sendiri ) ngaudubilah saiton kampungannya itu ( namanya juga ndangdut kampung). Gimana tidak, wong yang mereka tampilkan itu bukanlah sebuah aselerasi gerak yang estetis tapi sekedar gerak tak beraturan ( atau memang diatur kayak gitu ) yang dipaksakan untuk menimbulkan efek erotis saja. Tapi kok ya banyak yang nonton ya,?? Jangan-jangan memang sebatas itu apresiasi seni masyarakat kita. Yang penting ... dan bisa bikin.... Jadi ya titik.titik.titik.

Sebagaimana umumnya sebuah seni pertunjukan, tarian jelas memuat dua unsur pokok yaitu penonton dan yang ditonton ( namanya juga totonan ). Rumitnya, dari
kedua unsur tersebut tidak pernah jelas dapat dibedakan mana yang subjek dan mana yang mesti disebut objek. Penonton di satu sisi bisa disebut sebagai subjek, lha wong dia yang nonton kok. Disisi lain yang ditonton juga layak merasa sebagi subjek, lha wong dia yang menarikan kok. Jadi kalau begitu siapa yang menjadi objek??. Ternyata yang menjadi objek adalah ”tari” itu sendiri. Kok bisa ??, ya, itu karena ”tari” disamping ditarikan oleh sang penari tapi disaat yang sama ”tari” juga ditonton oleh penonton.

Nah, kebetulannya itu ya saya kok pernah menjadi dua unsur itu. Dulu saya pernah jadi penari ( jelas amatir ), dulu juga pernah jadi penikmat tari ( yang ini lebih agak profesional, gimana nggak lha wong yang saya nikmati tariannya.Djeng....kok ).Namanya saja penari amatir, apa yang saya lakukan jelas tidak ada hubungannya dengan masalah honorarium maupun profesi. Semuanya just relaxation saja.
Sebagai penonton ?? nah, yang ini jelas ada sangkut-pautnya sama teman saya yang ( seperti anda tahu ) penuh kontroversi itu. Saya juga merasa mungkin sekali itu saja saya benar-benar menjadi penonton yang ”tercerahkan” betul. Ceritanya begini :

Date : Jum’at ,feb 09
Place : .,........, ……. Temanggug
Event : the anual” Kampoeng Seni”

Saya telah duduk di depan panggung. Di tengah pentas Djeng Lis sudah memulai tari solonya, “Golek Tirto Kencono’. Tarian itu menceritakan seorang gadis yang tengah menginjak remaja dengan segala pesona juvenil nya.

Kostum yang dipakai, atasan rompi hijau tua dengan sulaman keemasan dan hiasan payet berbentuk cempaka, jamang berbentuk burung merak dengan surai belakang hijau pupus, sampur sewarna dengan surainya, hijau pupus. Telinganya dihiasi sumping berbentuk makara keemasan juga dengan mata anting biru indigo. Kain nyampingan-nya batikan motif parang klitik yang dipadu dengan prada emas tanpa wiron. Sederhana dan tentu saja tidak begitu mencolok. Yang agak over acting adalah tatanan rambutnya yang ditekuk keatas sehingga tengkuknya tersingkap ( ini salah satu yang bikin saya “terprovokasi“ ). Riasannya seperti biasa kalem saja, hanya dengan eye shadow disekitar mata, pemulas pada alis dan surai sinomnya, tanpa perona wajah tanpa maskara. Secara keseluruhan penampilannya saat itu “lumayan” charming juga .

Dari awal tarianya sudah membius saya. Gerakannya mengalun dalam iringan musik gaya Solo yang lembut tapi penuh ekspresi. Saat itu saya tidak melihatnya sebagai sosok yang saya kenal, tidak ada sosok narsis dan euthenis lagi. Yang saya lihat ”cuma” sesosok manusia, sesosok perempuan, yang merasa sekaligus dirasa, yang mendamba sekaligus didamba. Dan walaupun gerakannya secara keseluruhan masih belum mencapai tingkatan setaraf Rahma Putri atau Ririh dari Sanggar Arena Langen Budaya Surakarta itu tapi dalam penghayatan, semangat dan roso bolehlah disandingkan.

Dalam beberapa kali kiprah pandangan saya sudah tersublimkan. Saat itu hilang sudah sosok Listyar Wardani dengan Golek Tirto Kencono-nya yang tertinggal adalah Candralekha dengan Bharata Natyam-nya ( Baru belakangan saya ketahui jika Candralekha sendiri sudah menjadi aktifis feminis dan meninggalkan tarian-tarian Bharata Natyam yang dia pikir terlalu menggambarkan nayika, kepatuhan mutlak terhadap suami. Metamorfosis selanjutnya dia mulai menggali kehidupan nyata dan dia gubah menjadi tarian kontemporer yang dahsyat sehingga munculah seri-seri Lilavati, Yantra, Mahakali dan Sharira. Ujung-ujungnya, walaupun dikarunia wajah indo-arya yang adauhai cantiknya itu dia memilih untuk tidak menikah, ah semoga saja Djeng Lis tidak ketularan ).

Ada yang lain yang saya lihat darinya waktu itu. Saya melihat dia tersenyum tapi saya tak mengenali senyuman itu, sebuah senyuman dari dimensi lain. Tapi dari mana?? Reflek logika saya bilang: ” dari dunia sana dimana musik, lagu dan gerak menjadi penghuninya, sebuah negeri yang dipagari dengan inspirasi dan dihiasi dengan apresiasi, sebuah negeri seni”. Bagi saya waktu itu dia tidak lagi sekedar sedang menari tapi dia tengah melakukan sebuah perjalanan, sebuah pencarian makna estetis. Dan disaat yang sama hilang sudah garis batas antara saya sebagai ”penonton” dan dia sebagai yang ”ditonton”. Semuanya telah menyatu sebagi unsur yang tak terpisah, gerakannya sudah menjadi gerakan saya, nafas dan semangat nya sudah seiring dengan nafas dan semangat saya. Kami telah menyatu dalam dalam gerak, lagu dan musik yang sama hanya dengan ruang yang berbeda. Dia dalam dimensi ruang dan waktu yang nyata sedang saya terhenpas dalam dimensi khayali dan imaji. Intinya tariannya waktu itu tidak sekedar menghadirkan hiburan tapi juga menyuguhkan suatu ” swasana ”, ada unsur beyond didalam nya.

Sebenarnya konsep gerak tarian itu cukup sederhanana. Rinciannya hanya pada gerakan seorang gadis remaja yang lagi senang-senangnya meng –adi salira alias merias diri. Ini masuk tarian jawa klasik, makanya percuma kalau anda mencari gerakan-gerakan rancak yang atraktif. Ekspresi gerak lebih ditunjukan oleh gerak sampurnya. Ya memang begitulah konsep tarian klasik Jawa, emosi mesti diolah dalam ekspresi yang tenang dan wajar, dengan bahasa misteri mungkin. Sama seprti budaya Jawa sendiri yang selalu mementingkan pengendalian rasa demi sesuatu yang sering kami sebut sebgai ”keharmonisan”( ini sering dikritik oleh orang-oprang yang nggak mengenal budaya Jawa sebagai ”kemunafikan”, tapi ya gimana lagi wong itu sudah jadi budaya kok ).

Gerak dalam tarian Jawa adalah layaknya konsep ”ornamen” dalam pandangan Claire Holt saat menilai arsitektur klasik Jawa ( termasuk Borobudur dan Prambanan ), dimana ornamen tidak mungkin ”mengungguli” sebuah bangunan sebagi suatu keutuhan. Jadi gerak dalam tarian Jawa itu ya sekedar ornamen saja dari bangunan tari yang berupa kesatuan ide, musik dan syair lagu yang didendangkan para pesinden. Nggak menarik memang bagi yang nggak biasa menikmati tarian jawa klasik.Tapi jangan tanya kalau dia lagi pacak gulu, wis jangankan hati saya, bahkan Index Harga Saham Gabungan pun bisa jatuh berantakan.

Saya sudah nggak ingat lagi gimana akhir dari pentas itu, lha wong saya terlanjur kesengsem. Saya malah jadi dibingungkan dengan kredo seperti ini: ” yang benar itu tarian yang biasa akan menjadi istimewa kalau ditarikan oleh orang yang istimewa atau seorang yang biasa akan menjadi begitu istimewa bila menarikan sebuah tarian yang istimewa”.

Sehabis pentas saya gandeng dia kebelakang dan saya ajak membahas banyak hal ( sudah 3 bulan nggak berdebat kangen juga ), tentang tariannya waktu itu, tentang Chandralekha, tentang kelompok ”feminisnya”, tentang hari depan ( kalau ada ), tentang film, tentang lukisan dan tentang rencana buat...... Tapi sebagai mana kredo yang saya belum pecahkan semua yang kami bahas kok ya belum ada yang kami sepakti ( memang dalam banyak hal kami adalah oposisi, kecuali dalam soal seni dan buku dimana kami lebih sering berkoalisi ).

Pas terakhir kali sebelum saya berangkat balik ke Jakarta dia bilang begini:

” kapan-kapan aku ikut ke Jakarta yaa!!, mau lihat itu wayang orang Bharata (- tempatnya ada di bilangan Senen, dekat Kwitang dimana saya sering nguber-nguber buku ) yang katamu sangat dahsyat itu. Aku mau lihat apa memang mereka bisa disejajarkan sama wayang orang Sriwedari Solo, atau jangan-jangan cuma parikan kamu saja?? ”


Today : Jum’at ,
Place : .........,..........,..... Jakarta
Event : No event

Sore ini hujan pertama setelah 3 hari cerah. Di timur pelangi pertama tahun ini kok ya iseng muncul juga ( terus terang ini bisa semakin mendramatisir suasana ).
Ah sebentar lagi Februari dan saya mesti pulang lagi. Dikampung akan ada pentas seni lagi, akan ada pawai budaya lagi, dan semoga saja masih ada tarian itu.

Saya putar walkman saya dan coba sedikit resapi bait kedua lagunya Eva Casiddy:

--Somewhwere over the rainbow
Skies are blue
And the dreams
That you dare to dream
Really do come true--




rewrite, 20 Sept 2010

Ra Tanca ( Sangkar Kedasih Kaputren )

Sebatang alang-alang akan mengombak goyah dipermainkan angin, ya.......tak beda sang badan, sang nasib yang dipermainkan garis-baris takdir yang menyertainya. Menghadapi sang hidup, sang takdir,  layaknya menghadapi bidak-bidak caturangga. Kadang diri merasa sebagai pengatur langkah-langkah, kadang diri insyaf sekedar dipermainkan oleh langkah-langkah yang sama. Kerumitan, sekali lagi kerumitan tak pernah mengibas dari pendalaman kehidupan manusia.

Tanca, siapa dia selain anak manusia hamba alam, hamba kehidupan dan hamba takdir. Pikirnya, perasaannya berubah seiring jejekan anak tangga kehidupan yang dilaluinya. Mungkin benar kata Mpu Mada, bahwa keluguan dapat berubah menjadi kelimpatan siasat. Diam memendam misteri-misteri hati yang kemudian tertumpah. Bukankah itu hanya soal waktu dan bagaimana cara alam dan kehidupan akan membentuknya kelak?.

Hanya dia yang tersisa dari tujuh pengalasan winehsuka yang dilantik mendiang Sanggrama Wijaya. Wedeng, Pangsa, Yuyu, Semi, Dyah,Banyak  dan Kuti telah tersendal-mayang gilasan nasib. Siapa sangka, punggawa istimewa seperti mereka terlibat rencana makar yang begitu bengis. Kekecewaan, diakah sang sebab itu?.

Tak juga dipahaminya perkataan Mpu Mada di sisi Penanggungan itu. Ketidaksukaannya yang tanpa tedeng aling-aling terhadap keberadaan rakyan amangkubumi  Mahapati serta persetujuan secara tersirat atas pemberontakan Lawe, Sora dan Nambi menjadi senepa mantra yang  mengusik ketenangan nuraninya. Hati, gumpalan darah itu mulai menuntut penjelasan.  " mungkinkah seorang Mada, pahlawan sekaligus penyelamat jiwa raja turut menggugat keabsahan junjungannya? "  Dan dia,Tanca  seakan telah disasmitakan untuk mengambil sebuah peranan.

Hmmm......alam, pusat dari segala kerumitan dan pertanyaan. Adakah umur manusia akan sanggup menguarai sedikit dari kerumitan-kerumitanitu.

Majapahit mungkin saja kini dalam bahaya, dalam sebuah rencana siasat untuk menggoyahkan kewibawaan rajanya. Benih-benih itu sudah nampak mulai tersemai. Siapa sang penyemai?. Mada?, sisa-sisa kekuatanKuti?,...ataukah ada kekuasaan yang mengatasi semua itu........
Ya.......angin takdir dan kehidupan mulai permainkan setiap nurani dengan sejuta pertanyaan .....

****

Waktu terus berjalan, menggulung jagat seisinya dalam  jarak-jarak nisbi. Majapahit tak luput, masuk dalam gulungan  gelombang waktu yang tak pernah manusia dapat menduga kemana arah-tujunya. Dalam kejayaan?, entahmenuju titik keterpurukan.

Seperti sudah diduga, Mpu Mada, pahlawan penyelamat raja mendapat anugerah agung dari Sri Jayanegara. Jabatan rakyan patih Doha kini dipegang. Mengembani Dyah Wiat rajadewi yang kini sudah  menginjak masa dewasa. Sedangkan Tribuwana Tungga berhak atas perwalian tanah praja Kahuripan. merrka berdualah  pewaris takhta majapahit yang sejatinya, putri Rajapatni Gayatri. Dalam penisbatan itu  Mpu Mada mendapat parap-asma "gajah". Maka Ditasbihlah bekas bekel Bhayangkari itu dengan sebutan Rakyan Patih Ring Doha sang Gajah Mada.

Dan Jayanegara, Kalagemet, siapalah dia selain wali pengemban darah Kertarajasa.  Dan kini masa singkat  bagi Sri Jayanegara itu telah menuju titikakhir. Tribuwana.....sang pewaris itu sudah saatnya menagih tahta yangdipinjamkan..

Mengisaklah Jayanegara!....singgasana yang kau bela dari rongrongan Nambi dan Kuti kini mesti kau lepas. Hendak jadi apa dirimu setelah kehilangan segala hormat dan kuasa?. Sedang melawan tak bakal kau kuasa. Kemenangan jauh daripengharapanmu. Bukan......bukan karena tiada prajurit yang bakal menyokongmu. Lebih dari itu raja, kebenaran dan kenyataan tak bakal dapat kau jinakkan. Kutura manawa , "agama" agung bagi penghirup udara Wilwatikta akan jadi penghakimmu.

Hanya satu jalan yang bisa kau tempuh putra Indreswari!. Petik kesuma yang mengandungkan madu keprabon itu. Ambil dia, jadikan kumbayoni penampung air hidupmu. Ya...ya.....hanya dengan itu  kau dan anak turunmu dapat beroleh keabsahan atas negeri yang sementara kau kekangi.

Benar.....benar....ikuti nasihat mahapatihmu. Dengarkan bisikan-bisikan licin Mahapati seperti saat kau sesap ucapannya akan Nambi dan orang-orang Lumajang. Jangan kau ragukan!....ambil Tribuwana dan Dyah Wiat  sebagai permaisurimu.

Dan kemanusiaan, dan kesusilaan, apalah semua itu selain ungkapan-ungkapan kosong yang akan menjauhkanmu dari kemasyuran.
Kekuasaan mesti direbut, bukan sekedar dipinta........Jalan tak kenal syarat dan cara, semuanya mengandung pembenaraan bagimu. Satu-satunya syarat adalah " kau mesti tetap berkuasaatas negeri dan darah Rajasa ".

---.

Sementara itu pada hari setelah diadakan pasewakan agung Saptaprabhu di mana semua sentana dan wong agung Majapahit hadir dalam penghadapan yang sama, bersingidanlah Tribuwana, Dyah Wiat dan gajah Mada dalam wisma kaputen Kuta Praja. dalam kegeraman yang mengusiki rasa, mereke mengutuki gelagat najis Jayanegara yang mereka dengar dari telinga-telinga punggawa dalem dan apa yang mereka saksikan dalam permunculan Jayanegara pribadi.

" ini sudah diluar bataskewajaran kakang Mada. Denawa mana yang membuat Kanda Prabu berkeinginan sebejat itu?..... Tingkahnya kakang, hanya satwa melata yang pantas melakukan tindakan seperti itu.........."

" hhhhh......saya mohon Gusti Dewi Tribuwana dapat menahan diri,ini semua baru kabar angin yang belum tentu benar adanya "

" menahan diri kakang ?, untuk polah yang sehina itu?.... kau sendiri sudah melihat, aku, Dinda Rajadewi, sekarang tak lebih dua ekor kedasih dalam kurungan yang sudah kehilangan kebebasan. Dikurung dalam puri kaputren-ku sendiri tanpa kekuatan untuk melihat alam luar.
Kakang, kau sendiri masih menganggap ini sekedar kabar burung belaka. Tak kau lihatkah siapa pembisik telinga rajamu itu?. Paman Mahapati......apa yang tak bisa direncanakan oleh manusia belut seperti dia?.... DindaRajadewi......cukupkah kau hanya diam menghadapi polah kandamu itu?........."

sambil mengangkat sembah Dyah Wiat menanggapi kegusaran Tribuwana:

" ampuni aku Yunda Dewi, tak kurang hati ini merasa teriris oleh keputusan Kanda yang begitu picik. Tapi kita mesti melihat, tak sekedar hanya menduga dan meraba. Benar ucapan kakang rakyan patih Mada agar kita meyekidiki lebih jauh. Serahkan padakakang Mada pemastian kebenaran berita ini."

" gusti Dewi,......sekarang juga akan saya kirim telik-sandi utuk menyaring warta...... dan untuk menjaga keselematan gusti berdua,  Rajah Wesi danadi Nala   kiranyabisa Gusti percaya......"

kemudian berwacanalah Tribuwana atas Gajah mada:

" dan bila semua ini benar kakang, apa lantas kita mesti berdiam diri? Membiarkan negeri yang telah diwariskan mendiang Ayahanda Prabu dalam kehinaan yang tak terampumi ini?"

" tentunya tiada alasan untuk berdiam diri ekiranya semua ini benar Gusti........"

" dan tempat berdirimu kakang, dimana kau akan tegakkan kakimu jika sebuah kemungkinan buruk mesti terjadi? "

" saya akan berdiri di atas kebenaran, dan sayalihat kebenaran itu kini bernaung di bawah kewibawaan Gusti Dewi berdua.......".

" kau pandai besarkan hatiku kakang Mada. Bertindaklah, purbawasesa-kusebagai pewaris sah darah Rajasa ada ditanganmu...... "

" hati dan darah dengan tulus akan saya darmakandemi keagungan negeri yang telah memulyakan saya....... dalam satu candra  saya janjikan segalanya sudah mencapai titikterang Gusti "


***


Titik-titik pembenaran mengungkap sudah. Warta itu kini tak lagi sekedar isapan kosong. Bulat tekat Jayanegara untuk mengambilTribuwana dan Dyah Wiat sebagai permaisuri. Seribu pewarta, seribu mulut,seribu telinga mulai berjinak-jinak dalam sebuah gunjingan. Menyebar,mendengungkan gemanya keseluruh penjuru negeri.

Purikaputren kediaman Tribuwana dan DyahWiat semakin kukuh tertutup. Kurungan sang kedasih itu  bahkan mulai ditutup dengan beledu hitam. Siapapun tak bisa mendekat selain orang-orang yang telah mendapat kepercyaan dari Jayanegara sendiri.

----

Di luar istana satu bergada prajuritmulai mencari sisik-melik keberadaan Cakradara dan Wijayakarsa. Keduanya, penerus darah Singasari itu dicurigai sebagai kekasih Tribuwana dan Dyah Wiat yang mesti dilenyapkan demi kelangsungan maksud Jayanegara.

Selentingan warta yang dibawa para telik-sandi  membawa para pengejar ke pesisir Tuban. Dan tiada salah berita itu. Di sanalah Cakradara dan Wijayakarsa bersingitan. Bersembunyi dalam sebuah pesanggrahan seorang tabib dari Tiongkok, bapa Wong, demikian orang-orang Tuban memanggil tabib yang telah berusia lanjut itu.

Di tempat ini juga duluTanca belajar ilmu pengobatan. Berdua dengan seorang istri mendiang  pelarian  dari Tiongkok.  Perempuan itu, yang kini setelah sekian tahun berada di bumi Jawa mengganti namanya menjadi Nyai Paricara. Mei, namapengingat bagi negeri leluhur yang ditinggalkannya tak lagi disandang.

Betapa jagat begitu sempit,betapa rajutan kisah dan sejarah yang beraneka rupa ternyata dapat dirajut dari simpulan dasar yang sama. Di sinilah sejarah bagi Majapahit, bagi Jayanegara, bagi  Gajah Mada dan bagi Tanca akan bermula. Dari titik ini babakan peyelesaian darirencana-rencana yang dulu diripta  mulaimenemukan jalannya. Tutur mulai hendak diucap.......
.
Misteri alam, pembawa benang-benang ghaib sejarah menarik para pengejar ke pesanggrahan  itu. Suara lain membisik ketelinga-telinga prajurit Majapahit untuk segera bertindak setelah memastikan keberadaan Cakradara dan Wijayakarsa. Kekerasan, itulah jalan prajurit rendahan untuk menuntaskan semua persoalan. Dan demikianlah yang terjadi.

Dengan satu kesalah pahaman penggerebegan itu memakan korban. Tiada lain, bapa Wong menutup lembaran hidup dan baktinya dengan satu kematian yang mungkin tak pernah dia ketahui musababnya. Menjadi korban dari sebuah rencana besar penguasa negeri yang dia diami. Sang pelaku tak bakal merasa. Huh, kawula,...demikian wujud nasib menyapamu......

Duka meyelimuti dua murid yang ditinggalkan. Nyai Paricara dan Tanca menunggui pekuburan guru mereka dengan sebam yang tak jua mengibas. Kenangan, permata ingatan itu kini menghias sanubari keduanya. Lalu menyibak keluar lewat bulir-bulir air mata cinta yang tak juga terkeringkan oleh panasnya hati sebab kemarahan yang timbul.

Ketika malam menghadirpersembahan segera dihaturkan kepada jiwa yang tengah menturuti jalan ke alam kelanggengan. Kepulan dupa ratus membumbung, mengantar harap dan puji. Lalucoba menyentuh telapak kaki kesucian para jawata agar sudi menerima hasil ciptanya kembali.

" kini tak ada lagi tempatkita  bertanya dan berbakti  Kak Mei,bapa  sudah meninggalkan kita"

" ya Tanca, kesendirian itu kini mulai mengusik lagi setelah sekian waktu menghilang. Jawata  tak pernah berlaku adil. Dia biarkan seorangyang mulia memungkasi kehidupan dengan jalan yang begitu menyakitkan. Sedang mereka yang berlaku hina memjemput ajal dalam puandai keagungan...."

Tanca tersenyum getirmendengar kesah Nyai Paricara. Mukanya yang bermandikan pelita bulan  begitu merah oleh endapan rasa marah dankecewa.

" dan rajaku sendiri yang menyebabkan semua ini. Junjunganku,tempat aku dharmakan semua tenaga dan ciptaku.......hhhhhhh, kesia-siaan padasegala yang aku perbuat selama ini. Uh, ampuni aku  bapa akulah peyebab tunggalsemua ini........"

" tak perlu kau sesali yang telah terjadi adikku,segalanya tak akan berubah hanya dengan penyesalan. Ya, mungkin inilah hidup,hidup yang mungkin juga diidamkan  bapa guru. Dia telah mengakhiri dharmanya di negeri asing yang begitu jauh dari tanah kelahirannya. Negeri baru yang dia cintai dengan segenap ketulusan perasaan. Kita semua telah kehilanganTanca........"

Dengan satu geraman Tanca pukulkan kepelantangannya pada landasan tangga tempat dia tertekur.

" aku mesti menutut keadilan Kak Mei, apapuncaranya.......tak akan aku biarkan orang yang telah membimbing dan mengasuhkudari kesendirian seorang sebatang kara mati tanpa sebuah pembelaan"

Nyai Paricara tersentakmendengar nada Tanca yang keras itu.

" apa yang akan kau lakukan Tanca?, berdiri melawan raja dan negerimu?, kau merasa kuasa untuk bertindak?.  Tanca, kekuatan tak pernah ada pada seorang kawula. Dan keadilan yang hendak kau tuntut tak pernah berpihak pada seorang abdi. ..............sudahlah Tanca, jangan kau bahayakan dirimu sendiri dengan pertaruhan yang tak mungkin kau menangkan."

" begitukah mestinya caraku membalas segala kebaikannya selama ini?. TidakKak Mei, aku tetap akan mencari jalan ......dan jalan itu,..... entahlah,....."

Dipegangnya kedua bahu Tancadengan kedua tangan.  Satu bisikan dicobanyauntuk melunakan amarah Tanca.

" siapakah bapa-mu Tanca?, dia adalah tabib sejati bagi siapapun yang dirundung mala.Kau lihat, pertaruhannya demi orang yang mesti dia sembuhkan Tubuhnya sendiriTanca, adalah ladang tempat dia mencoba segala kemungkinan. Tak ragu dia menanggung sakit untuk mengetahui pengaruh ramuan-ramuan baru bagi sang luka.Dia cobai semua itu adiku, dan tak ada sesal yang mengelabuhi sebuah ketulusan......Dan saat ini kau lihat juga, apa yang dia lakukan buat melindungi orang yang tengah ditimpa kesusahan,  ya,.........gusti-gusti-muitu juga. Ini adalah sebuah pilihan yang dia ambil, dia menyengaja untuk semua ini demi nilai kebenaran yang dia yakini.... Bukankah tidak pantas kaubertindak bodoh dengan menagih apa yang gurumu sendiri tak pernah berniat buat menuntut. Aku memohon Tanca, sebagai saudara yang kau tuakan, sebagai keluargayang bersisa dihadapanmu saat ini.....jangan kau nodai pengabdian yang coba diatuluskan... Kau bersedia adikku? "

" sekiranya aku bisa kak Mei,  aku tidak punya kehalusan pikir seorang wiku. Aku..aku terlalu lemah untuk bisa menahan diri......... "

" tapi kau mewarisi jiwa seorang penyembuh Tanca,tak layak seorang tabib menebar luka.. hapuskan dendamu Tanca sekiranya kaubisa. Aku yakin kau kau bisa melakukan ini.
Satu lagi Tanca, kadang aku ingin sekali mendengarkau memanggilku "kang mbok", bukankahsekarang mungkin sudah saatnya adikku?  "

Tanca sedikit terhibur mendengar ucapan Nyai Paricara. Sudah berapa lama kiranya bumi Jawa telah merengkuh permpuan itu. Ya, sisa-sisa peradaban Tiongkok sudah mengikis habis dari pribadinya. Mungkin hanya matanya yang sedikit sipit dan kulit kuning gading saja yang membedakannya dengan perempuan Majapahit kebanyakan.

" aku ingin beristirahatdulu " kang mbok "......"

Nyai Paricara menjawab dengan senyum simpul dan gelengan halus. Dengan pandangan teduh diikutinya langkah Tanca sampai masuk ke dalam pesanggrahan. Alam kembali terdiam, tapi sudut nurani perempuan itu mengucap dengan satu penyanggkalan:

"O jawata, babagan cerita apa yang hendak kau babar "

Penyangkalan,ya..penyangkalan, entah apa yang menumbuhkannya dalam hamparan hati makhlukinsani. Penolakan terhadap garis takdir yang telah terjadi, pengharapan kosongakan kemungkinan baru yang lebih sempurna. Uh, manusia... manusia....kauyang begitu berbesar hati dengan kekuatan dan kecerdasan yang diwariskan kadangmesti tersungkur dalam titik nadzir nasib.


Bersambung ke Ra Tanca (Jayanegara Pralaya )

Ra Tanca ( Alap-Alap Penanggungan)







13 tahun berlalu sejak penyerbuan tentaraTar-Tar ke bumi Jawa.  Majapahit, negeribaru yang lahir setelah perang itu terjadi sudah bersiap menobatkan rajanyayang ketiga. Dialah rani pertama bagi negeri yang dibangun oleh SanggramaWijaya. Mengambil abhiseka Tribuwana Tunggadewi Jayawisnuwardani, putri pertamaRajapatni Gayatri ini ditahbiskan.

Ya...air mata yang mengiringi jilatan ancala yang memperabukan jasad SriJayanagara telah mengering.  Jika adamata yang masih menitikan embun-embun nurani itu mungkin tak lebih pada sosokIndreswari , sang ibu.
Dan  yang lain?.

Bumi Majapahit tak pernah bersepakat, berapa orang yang menitikkan airmata dengan tulus?. Berapa lagi yang bergirang hati dengan kematian raja keduaMajapahit itu?. Pertanyaan-pertanyaan itu lalu saling menyambung dengan gugatankeabsahan Jayanegara untuk memegang tampuk pemerintahan negeri. Bukankahdia hanya putra seorang isteri ampean dari tanah Swarnabhumi?. Betul dia putratertua Sanggrama Wijaya, tapi bukankankah undang-undang kutura manawa hanya mengakui penisbatan tahta pada keturunan istri permaisuri saja?.Sekiranya  Tribuwana  Tunggadewi dan Dyah Wiat Rajadewi sudahdewasa ketika itu..... dan memang, pada akhirnya seluruh sesepuh dan sentanamenyetujui pengangkatan Jayanegara, tak lebih sampai Tribuwana Tunggadewidewasa

Sementara desas-desus didalam istana begitu santer mewartakan niatan Jayanegara untuk mengambilTribuwana dan Dyah Wiat sebagai istri demi membenarkan galur silsilah darahkeprabon-nya.  Kebencianpun mulai merebak,semua mata seakan mendelik kepada sang narapati.

------

Terasing  dari kemeriahan upacara penobatan Tribuwanaadalah sesosok gelap, tertekur dibawah beringin kurung yang melindungi stanaAntahpura. Sosok itu bukan lagi seorang manusia. Rambut gimbalnya terurai,menutupi sisi kiri leher yang menghitam dengan hiasan segumpal darah yang telahmengering. Apa yang dilakukan makhluk itu di makam Sanggrama Wijaya hanyalahpara dewa yang mengetahui. Sementara pandangan awas para pujangga hanya  dapat melihat keresahan dan penyangkalan darisang ruh yang terbuang.
Berjalan gontai mengitkutigalur-galur batuan gunung yang melapisi pelataran pemakaman, sang ruh menujusatu titik dimana arca Siwa-Harihara berdiri. Baginya arca itu nampak begituperkasa dengan ke-empat lengan yang menggenggam bermacam senjata perang.
"Sang pemilik segalakekuatan", begitu mungkin pikirnya. Seperkasa itukah Sanggrama Wijaya dalammasa hidupnya?. Ya......sang ruh selalu mendengar kegagahan Maharaja lewatwiracarita yang terus ditembangkan dalam kidung-kidung para emban dan dayang. Terdengarolehnya, keagungan yang mampu meluluhlantakan kekuatan Gelang-Gelang dantentara Tar-Tar. Sampai juga padanya, ketangkasan dan kebijaksanaan yangberhasil mematahkan pemberontakan Rangga Lawe dan Lembu  Sora.

Sang ruh tak lagi dikenali, sapuanangin membawanya menaiki puncak beringin kurung lalu menyungkurkannya kedalamduli telapak kaki Siwa. Tiada tampak lagi kuasa baginya, selain sorot matanya yang nyalang  memandang sekeliling. Sesekali dia kembaliterpekur dan menyembunyikan wajahnya di balik derai kasar rambut yang kiniberwarna tanah. Mulutnya tak lagi mampu mengucap. Tapi seakan menafikan segalakepayahan, satu suara  pecah sebagai sebuahgeraman yang serak parau...." ........Mada,........Mada......."
Kadang sang angin begitupemurah. Dalam jalannya menyapu serbuk sari  yang membiakkan setiap perdu dan rerumputandihampiri juga sosok penuh nestapa itu. Memberi sedikit kesegaran kepadapenyandang luka......meyibak rambut itu dari wajah pucat  yang anehnya menyiratkan sisa-sisa ketampanandi kala dia hidup. Dan siapa pun yang berkesempatan melihat kilasan wajah ituakan segera mengenalinya sebagai salah satu orang dalam istana.

Ya..wajah terasing ituadalah sosok dharmaputra Tanca..........


*****

Dua penunggang kuda keluar dari gerbang barat keraton. Empat orang prajuritpenjaga menghormat ke arah mereka dengan menundukan kepala. Matahari sudahmenyingsing setinggi tombak. Sayang kehadirannya tertutup kabut tebal yangmenyelimuti bumi Majapahit di awal bulan kasada.

Berlenggang, tak tampak keterburuan-buruan dari dua sosok yang sedangmelintasi jalan utama di kutanegara. Kekang kendali kuda hanya  diletakkan bersama genggaman tangan mereka ditengkuk kuda. Sekali mereka menoleh ke samping untuk sekedar melihat  celoteh kecil dari anak-anak yang sedangbermain perang-perangan. Dengan senjata cambuk dari janur kuning yang dililitmeyerupai sebilah keris, anak-anak itu coba menirukan gelagat orang tua merekadi medan perang.

Salah satu penunggang kuda itu menyapa sang bocah dengan sebuah senyuman.Aneh, si bocah justru merasa terancam dan segera memburu punggung ibunya buat bersembunyi.Si ibu segera mengasungkan sembah sekedar untuk memohon pengertian. Sekali lagisatu senyuman tersungging dari bibir pemuda itu.

" andika tahu maksud gusti Mada memanggil saya? "

" maaf Tuan, saya tidak diberi keterangan untuk bisa menjawab pertanyaanTuan"

Sang penanya menghembuskan nafas yang dihisapnya dalam-dalam. Sejuruskemudian dia kembali bertanya:

" terus terang saya kuwatir beliau mencurigai saya terlibat dengangerombolan Kuti"

" kiranya tak perlu kuwatir Tuan, sepanjang kita tidak pernah merasabersalah "

" ya...andika benar, tapi sayangdalam keadaan tidak menentu seperti ini setiap kemungkinan bisa terjadi. Andika  tentunya paham, panah-panah fitnah mulaimelesat sejak peristiwa itu"

" ha..ha..ha... Jika itu yang Tuan kuwatirkan....maaf...saya bisa katakanbila kekuwatiran tuan tidak perlu terjadi...."

" maksud andika..."

" siapa yang akan mencurigai  seorangtabib istana yang telah menunjukan darma bakti dan kesetiannya kepada negeriini..... Tuan sendiri bukan yang merawat gustiMada setelah luka yang beliau dapat dari ulah orang-orang Kuti?... Kalau bolehsaya menebak, undangan  ini mungkin untukmenyatakan rasa terimakasih beliau kepada Tuan "

Ucapan  itu seakan bisa menenangkan pemudayang sedikit gelisah.

" jadi bukankah benar untuk tidak meresahkan semua itu Tuan ?  "  tambahpemuda kedua

Tersenyum kecil seakan ada yang ganjil,dibalas juga pertanyaan itu:

"....ya..ya..semoga tebakan itu benar. Tapisaat ini saya justru tidak nyaman dengan sebutan " Tuan" ini padaku?.  Takperlu sungkan, Tanca hanyalah seorang dharmaputra"

" dan Rajahwesi hanyalah prajurit bhayangkari......"

Sejurus keduanya tertawa lebar seakan menginsyafi kekakuan masing-masing dalam menyapa.

" mari Tanca, gusti Mada sudahmenunggu kita"

Dengan satu anggukan ajakan tersambut. Tali kekang kuda mereka sentakan. Merasatersengat perintah, kedua kuda itu segera mengayunkan langkah dengan didahuluisatu ringkikan keras. Lalu berlari melaju, meyusuri jalan-jalan kecil di sepanjang kali Tambak Beras.Mengibaskan sisa-sisa embun pagi yang masih juga enggan terjatuh ke bumi.


----


Tanah perdikan itu berada di sisiutara bukit Penanggungan. Membelakangi sebuah hamparan luas yang sangat sesuaiuntuk tempat untuk berlatih memanah. Di puncak bukit masih tersisa reruntuhancandi untuk menyembah dewi Durga Kali. Dulu ketika bukit  ini masih menjadi kekuasaan Gelang-Gelangsering dilakukan tarung kanuragan untuk mendadar calon-calon perwira
Gelang-Gelang.

Kini sebagian tanahnya dihadiahkan kepada Mpu Mada atas jasanyamenyelamatkan keluarga raja dari pemberontakan Kuti. Mada kemudian membangun sebuah pesanggrahansebagai tempatnya berolah kanuragan. Belasan orang-orangan dari alang-alang kering berdiri berjajar di sisiselatan pelataran. Masih menancap di sana beberapa anak panah dan sebuah llembing.

Tanca dan Rajahwesi yang tiba menjelang tengah hari segera menambatkankuda-kuda mereka pada salah satu tonggak kayu asam di depan pesanggrahan.

" beliau menunggu di dalam Tanca..."

" andika tidak turut masuk"

" maaf.....aku mesti bergegas menysul teman-temanku yang sedang berlatih diatas bukit.... "

" baiklah,  terimakasih telahmengantarkan aku..."

" sudah kewajibanku..."kawan"...."

Dengan satu penekanan yang agak ganjil  dari sebutan "kawan"  Rajahwesi segera berlalu. Masih dengan mengusaptengkuk kudanya Tanca memandangi langkah Rajahwesi ke jalan setapak menujupuncak bukit.

" kawan ?" ucapnya lirih, lalu berjalan menuju  pesanggrahan setelah berhasil menenangkankudanya yang masih diburu lelah. Di depan pintu pesanggrahan nampak Mpu Madayang telah menunggunya dengan bersila diatas dipan yang beralas tikar pandan.

----

" hormat saya Gusti....."

" masuklah Tanca, tak perlu sungkan....ini hanyalah pesanggrahan seorangprajurit, bukan kedaton Majapahit."

Tanca yang tidak menyangka akandisambut dengan begitu hangat bersahabat justru merasa kikuk untuk bertingkah.Dia ragu untuk mendekati tempat Mada bersila.

" ayolah Tanca, kau kira akuhanya bermanis-manis lidah? "

" b..baik Gusti, maafkankelancangan saya"

Tanca duduk takzim dengan menundukan kepalanyadi depan Mpu Mada. Sesekali masih terlihat tingkahnya nampak belingsatan yangmemancing senyum  kegelian bagi Mpu Mada.

Semua memang sepakat jika tidak selayaknyabagi seorang dharmaputra sepertinyauntuk berendah diri  di hadapan seorangpetinggi negeri. Tapi Tanca tak bisa merasa wajar saja berhadapan denganseorang pahlawan bhayangkari  yang tengah naik pamor dengan jasa dan gelarkepahlawanannya. Seorang dharmaputradi hadapan senopati bhayangkari setelahperistiwa Kuti?. Ya, jagat memang  tidakakan mempertanyakan dua kali perasaan rendah diri itu.

" kau tahu maksud aku mengundangmu Tanca? "

" itulah yang ingin hamba ketahui Gusti.....sekiranya Gusti berkenan memberi keterangan...."

Pembicaraan itu terpotong oleh masuknyaseorang perempuan dengan mengangsurkan sebuah kendi tuak disertai dua bumbung bambu. Tanca sepintas lalumemandang perempuan muda berkain satin  ungu itu. Sehelai  sutra bercorak mega-mendung  menutup dua  buah payudaranya,  cengkir-gadingyang mulai ranum,  mekar dalam kematangan.

" silahkan Raden...."

" terima kasih Ni..."

Permpuan muda itu undur kebelakang yangdiikuti dengan lirikam liar dari ekor mata Mpu Mada.

" dia seorang prajuirt Tanca......"

" maksud Gustidia prajurit dari laskar bhayangkari?"

" prajurit dalam hal lain Tanca..." jawap MpuMada lirih dengan disertai sebuah senyum nakal yang menyungging di sudutbibirnya. Tanca yang segera menginsyafi maksud kata-kata Mada membalas dengan senyumyang disertai gelengan pelan.

" tidak saya sangka Gusti......" kata Tanca yang tidak digubris sedikitpun oleh Madaselain dengan sorot mata teduh yang berbinar cerah.

" terima kasih telah mengobati akuTanca.....tak  pernah aku kira pemudasepertimu mampu menguasai ilmu pengobatan yang demikian mumpuni"

" sudah semestinya saya menjalankan kewajibansaya sebagai seoarang tabib Gusti,meskipun tentu saja ilmu pengobatan yang saya kuasai masih jauh darisempurna.."

" tak perlu kau berendah diri, seluruhMajapahit sudah mengakuimu. Hmm..Gusti Mahapati, kejelian matanyapantas dipuji sebab bisa menemukan orang sepertimu Tanca."

Berkata demikian Mpu Mada bangkit dari duduknya. Diambilnya sebuah kotakkayu jati berukir kembang tanjung lalu diletakkan di hadapan Tanca. Ketikakotak kayu itu dibuka nampak sebuah keris yang dialasi kain sutra merah. Sebuahkeris ageman, pelengkap busanaberulir lima dengan gagang dari gading dan besarung kayu cendana berprada emas.Butiran-butiran intan putih menghiasi selutyang sebagian berwarna dasar gelap. Sebuah perhiasan yang cukup mewah bagisiapapun yang melihatnya. Mpu Mada menghunus keris itu dari sarungnya. Dapur sengkelat menghiasi bilahan yangberasal dari batu bintang itu. Dengan tangan kiri bilah keris itu dipegangnyategak lurus sejajar dengan tinggi mata

" kau bisa menilai pusaka ini Tanca"

" terus terang saya tidak begitu mahir menilai sebuah tosan aji Gusti. Tapi untuk pusaka ini saya yakinmelihat sebuah keagungan dan kemewahan yang memancar. Sebuah pusaka yang begituistimewa Gusti"

Mpu Mada mengangguk pelan membenarkan penilaian Tanca.

" aku ingin kau menerima benda ini sebagai rasa terima kasihku......bawalahini Tanca disertai penghargaanku umtuk semua yang telah kau darmakan" kata MpuMada setelah menyarungkan kembali bilah keris itu dalam warangka-nya. Lalu mengangsurkan benda itu kepda Tanca.

" untuk saya Gusti , maaf Gusti saya mersasa tidak pantas menerimapemberiaan ini " Tanca yang tidak menduga tawaran itu geragapan untuk menjawab.

" apa yang membuatmu merasa tidak pantas Tanca?, apa mungkin pemberiaan initerlalu hina buat seorang rakyan winehsuka?"

"  Gusti tahu bukan itu maksud saya...saya hanya merasa......."

" maka dari itu terimalah ini Tanca, janganbuat aku merasa gusar..."

Tanca yang merasa semakin terdesak dengantawaran Mpu Mada akhirnya mengalah.

" beribu terima kasih Gusti"  ujar  Tanca sembari menerima pusaka itu dariasungan tangan  Mada. Kemudian  Tanca selipkan pusaka itu di pinggangkirinya. Mpu Mada mengangguk pelan disertai senyuman puas di wajahnya.  Dituangkannya tuak ke dalam dua bumbung bambuyang diangsurkan perempuan berkemban sutra  tadi.  Satubumbung di asungkan kepada Tanca yang segera diterima dengan dua genggamtangannya.

" silahkan Tanca"

" terimakasih Gusti"

Mpu Mada menghabiskan tuak itu dalam sekali teguk.

'' orang Lumajang Tanca, begitu hebatnya mereka membuat minuman seperti ini....mariaku tambahkan Tanca"

'' terimakasih Gusti, sekiranyaini cukup....saya tidak biasa minum  tuakterlalu banyak...."

'' ya..ya..ya..kadang tak bisa aku mengerti orang-orang sepertimu yang bisamengesampingkan tuak, mungkin karena lingkunganmu yang tenteram dalam wismasebagai tabib istana tak membutuhkan pengusir kepenatan.....sedang kami Tanca,para prajurit ini, kadang mesti mendapatkan kekuatan dan kesegaran dari sekendituak..baiklah biar kusediakan minuman lain untuk mu.." berkata begitu Mpu Madamemanggil pelayan perempuannya yang segera diperintahkan mengambil makanan dansekendi air putih.

----


Matahari sudah mulai condong ke barat ketika dua orang punggawa Majapahit ituselesai bersantap. Kepuasan nampak bagi keduanya. Dan kekikukan itu, yang telahmembelit perasaan Tanca menguap sudah seiring  keluwesan Mpu Mada mengacarai tamunya.
Mpu Mada bangkit dari duduknya dan berjalanke serambi pesanggrahan. Tanca mengikutinya kemudian. Keduanya berdirimenyandarkan kedua pada batang kayu trembesipembatas serambi. Menerawang ke arah barat laut dimana matahari sudah mulaigontai jatuh ke cakrawala.

"tidakkah kau rasai negerimu ini begitu elok Tanca...." Mpu Mada membuka anta-wacana

" begitu adanya Gusti, semua yangdilahirkan di bumi Majapahit ini akan berpandangan yang sama. Tumbuh danberbakti, mungkin itu ujaran selanjutnya ...."

" seribu pemuda  berkata begituTanca, aku yakin tak akan pernah terjadi perang lagi di negeri ini...hmm.....kaumengawali mereka Tanca.."
" hanya mengungkap yang saya rasai Gusti,ya...meskipun saya dilahirkan di jaman perang itu...tapi nasib membawa sayabertumbuh dalam kedamaian dan keagungan negeri ini...."

" dan keagungan pribadi, bukan begitu Tanca.....seorang tabib istanakepercayaan raja.....satu dari seribu orang yang dapat beroleh kemulyaanitu.....kau punya garis dan bakatsebagai orang besar Tanca..."

" Gusti terlalu menyanjung.....bukankahseorang "pahlawan" lebih  dimulyakan dinegeri manapun Gusti?...dialahkembang  penghias sekaligus obatpenyembuh yang tak terbantahkan. Seorang "pahlawan" adalah tabib yangsebenarnya, dia tidak sekedar menyembuhkan tubuh yang menanggung mala tapi jugameramu kebanggaan bagi negeri yang dibelanya.......bukankah saya tidak salahucap Gusti.....?."

" ha...ha..ha...kau mulai pandai bermanis lidah anak muda........jangankatakan padaku  Gusti Mahapati juga yang mengajarimuberolah kata, dia guru yang baikbagimu Tanca?" Segurat semyum sinis tersungging pada bibir tebal Mpu Mada

" tak lebih sekedar jalan untuklebih bisa mencandra kehidupan Gusti,beliaulah yang mula-mula menuntun saya di lingkungan kedaton, satu tempat yang saya sendiri tak mengimpikan padaawalnya.."

" tapi kau tetap punya hak akan sebuah pendirian pribadi, tidak sekedarbersembunyi di balik bayangan jubah kemasyurannya.......terus terang Tanca,sikapnya kadang menganggu pandangan nuraniku........kau berhak melaporkanpadanya Tanca bila kau mau "

" saya tahu menempatkan diri Gusti"

" aku mempercayaimu Tanca"  Mpu Madamendesahkan nafasnya panjang-panjang dan berpaling lurus menghadapi wajahTanca.

" mencintai negeri, apakah itu berarti juga mencintai   raja, penguasa diri dan negeri mereka? "

" maksud Gusti ? "

" Lawe, Sora, Nambi.....pendiri negeri ini Tanca, mereka yang memancangkandasar-dasar Majapahit dari tanah Tarik.....tak ada yang meragukan kecintaanmereka bagi negeri yang mereka ukir, lalu kenapa mereka kemudian berbalik tingal menentang raja yang merekatahbiskan sendiri?"

Tanca diam, baginya pertanyaan ini adalah teka-teki yang tak berjawab. Menunggu dan menunggu saja diadengan ujaran Mpu Mada selanjutnya.

" penguasa, pemimpin, raja adalah gantunganpengharapan bagi setiap yang dipimpinnya..jika dia gagal memberikan pengharapanitu Tanca, bersiaplah untuk ditinggalkan oleh mereka yang dipimpinnya. Kita boleh menduga, ada ketidak-puasan dalam diri mereka yangcoba menjatuhkan penguasa mereka dari kewibawaannya.
Dan sebab-sebab ketidak-puasan itu Tanca, kadang sangat murni dan mulia......yaitu ketika keyakinan mereka akan keadilan dan kemakmuran bagi tanahpertiwi yang mereka cintai tidak mungkin diwujudkan oleh penguasa tempat merekamengabdi....itulah bila aku boleh mengira Tanca, yang terjadi pada pendalamanperasaan seorang Lawe, Sora dan mungkin juga Mpu Nambi..
sementara orang seperti Kuti adalah pribadi yang digerakkan oleh kesumatdendam akan hilangnya tanah yang telah terjarah.  Gelang-Gelang, negeri bapa-ibunya memanggildan memaksanya untuk bertindak..."

Tanca sekedar mengangguk-angguk membenarkan semua yang diucap Mpu Mada.

" kau tidak berpendapat lain Tanca?"

" saya hanya seorang tabib Gusti,urusan ketatanegaraan sangat jauh dalam jangkauan pikiran saya "

" setidaknya kau bisa berucap apa saja, ......ini hanya pembicaraan kecilantara kita berdua sekedar buat melewatkan hari "
Tanca mengawali dengan seyuman kecil,

" negeri ini mungkin sedang sakit Gusti, sakit yang disebabkan ketidakpercayaan yang mulai merasuki benak kawuladan punggawanya. Entahlah penyebab ketidakpercayaan itu Gusti, mungkin keabsahan...ee..keabasahan Baginda sendiri sudahmulai ada yang menggugat........bukankah beliau..."

" beliau hanya anak dari seorang istri ampean Tanca....begitu pikirmu, beliaubukan putra seorang permaisuri......hmmm pandanganmu cukup tajam, agaknya lingkaran kekuasaan kerajaan sudah memberitahumu  mesti dalam diam.
Dan aku harus mengakui jika aku satu pendapatdenganmu Tanca, benar sedari awal pemerintahan itulah penyebab suasana panas ini. Dulu ketika Mpu Nambi masihmemegang jabatan sebagai rakyan patihamangkubumi   suasana panas ini bisadiredam dengan kebijaksanaannya dalam memerintah dan menterjemahkan setiapputusan baginda.
Kini dia telah tiada, sayang babakandharma-baktinya mesti ditutup dengan sebuah pemberontakan yang melacurkannamanya. Dan rupanya Gusti Mahapatiyang menggantikannya bukanlah sosok yang tepat untuk memimpin....maaf Tancatentang penilaianku kepada bekas junjunganmu itu...sekali lagi aku mesti jujurdengan perasaanku sendiri"

" saya bisa memahami yang Gusti rasakan, saya sendiri tidaksepenuhnya menyetujui laku dan tidak beliau. ....ya...meskipun saya hanya bisadiam, tanpa kuasa untuk bersuara "

" diammu sudah merupakan tindak yang tepatTanca, belum saatnya kau mengekangi kendali takdir........ bukan satu hal yang mustahil akan babakanlain dimana kau sendiri mungkin yang bisa memungkasi..."

" maaf saya tidak paham yang  Gusti maksudkan? "

" hanya sebuah pengandaian Tanca, tak perlukau menaggapi dengan segusar itu. Ya, siapa yang bisa mengira jalan sebuahperadaban, selalu menjadi misteri bahwa sejarah kadang ditentukan olehorang-orang yang selalu dikesampingkan dalam kehidupannya. Kau ingat Arok,Tanca?. Tak lebih dia adalah pemuda berandalan dari kampung Pangkur, tak bedadengan pemuda-pemuda kebanyakan. Tapi siapa yang mengira, nasib kemudianmembawanya kepada kemulyaan. Dengan kekuatan yang tidak pernah diperhitungkandia bedah Kediri untuk kemudian di samping reruntuhanya dia dirikan kejayaanSingosari dan mulai mengukir wangsa Rajasa dalam lontar sejarah. Kita takpernah bisa menebak hari depan Tanca! "

" tapi jawata tak lagi mengirimkan seorang nariswari seperti Ken Dedes Gusti..."

" ha..ha...ha...Tanca..Tanca.........bukankahsetiap perempuan pada dasarnya adalah seorang nariswari  juga, sepanjangkita, kaum laki-laki tahu membentuk dan mengambil keuntungandarinya....percayalah pada ucapanku anak muda...... segala sesuatunya dapatdikejar asal kita mempunyai kelimpatan dan kegigihan pribadi. Tiada yang takmungkin dalam jagat gumelar ini,jangan kau ragukan kekuatan yang dimiliki seorang manusia. Manusia Tanca,sekiranya dia mau akan mampu mengobrak-abrik kayangan para dewa sekalipun.Bukankah Niwatakaca sudah membuktikannya?....."

Mpu Mada seperti mendapat nampan yang luasuntuk menumpahkan segala angan dan kebijaksanaan yang diyakininya. Tancamelihat keyakinan diri yang begitu besar dari bekas bekel prajurit ini. Didengarnya dengan seksama segala yang diucapMpu Mada dan  sekali-sekali diberinya  tanggapan dan jawaban. Hingga berlalulah segala ucapan itu kedalam gelap yang mulai menyelimuti tebing-tebing di seluruh persada negeri.

BERSAMBUNG ..ke Ra Tanca  ( Sangkar Kedasih Kaputren )





'
:
:
dahwi-20 juli10

Kamis, 29 Juli 2010

Three Kingdom ( Kebangkitan Sang Naga )

perang begitu penuh dengan ketidakpastian,
kadang seorang Jenderal tidak harus mematuhi perintah Kaisar
dia hanya boleh berperang ketika kemenangan sudah pasti di genggaman

--- Sun Tzu dalam the Art of War





---- Prawacana -----


Three Kingdom, resurrection of the dragon. Film ini berlatar Tiongkok di kurun tahun 220 M – 265 M ketika dinasti Han yang dibangun Liu Bang terpecah menjadi tiga negara. Wei yang terkuat disatu sisi. Dan persekutuan Wu dan Shu di pihak lain.

Wei dipimpin oleh Cao Cao yang memerintah atas nama raja muda dinasti Han. Wu kala itu diperintah oleh Sun Quan, keturunan Sun Tzu yang sejak masa sebelum Han menguasai daerah lembah sungai Yang-Tse. Sedangkan Shu, yang terlemah diantara ketiga kerajaan itu dipimpin oleh Liu Bei keturunan ningrat kerajaan Han.

Liu Bei sendiri bukanlah orang yang istimewa. Dia tidak begitu berbakat dan cenderung bersahaja. Tapi dia dicintai oleh rakyat Shu sebagai penguasa yang adil. Sikap Liu selama terjadi perang diantara ketiga negara itu cenderung labil dan terbelah. Dia selalu jatuh dalam kegamangan dan meraba dalam mengambil setiap keputusan. Sikapnya tehadap penderiataan rakyatnya kadang berubah menjadi perasaan sentimentil dengan menganggap dirinya sebgai pangkal penderitaan bagi rakyatnya.

Inilah masa yang paling menarik bagi sejarah Tiongkok kuno. Pada zaman ini lahir tokoh-tokoh militer dan ahli perang terhebat. Mereka, Cao sendiri yang memimpin armada Wei dan Zhuge Liang, penasihat militer bagi Liu Bei yang telah mencerahkan penguasa Shu dari kegamangan sikapnya dalam menghadapi Cao di utara. Lewat Zhuge juga, Shu kemudian dapat menjalin aliansi dengan Wu untuk bersama-sama menghadapi Wei.

Cao seorang yang sangat disiplin, berbakat dan terpelajar. Dia adalah master dalam Seni Perang. Seni Perang karangan Sun Tzu untuk pertama kali di-edit oleh perdana menteri ini. Tapi dia juga orang yang angkuh dalam kepemimpinan. Dia tidak segan untuk memancung setiap orang yang dia curigai akan mengancam eksistensinya. Dialah mungkin satu-satunya orang dalam sejarah Tiongkok yang paling dipuji sekaligus dicaci. Moto hidupnya sangat mashur :

“ lebih baik aku mengkhianati seluruh dunia dari pada aku dapati dunia mengkhianati aku’’

Zhuge Liang adalah pribadi yang berbeda. Dia bukan ahli pedang ataupun master kungfu. Tapi dia dianugerahi kebijaksanaan dan pengetahuan yang mendalam dalam strategi militer. Dia belajar strategi melalui karya-karya klasik baik yang di tulis Sun Tzu, Sun Pin dan Wang Li yang dikenal dengan Master of Demon Valley, Penguasa Lembah Iblis. Selain itu Zhuge adalah ahli dalam pengetahuan cuaca, geografi dan masalah topologi tanah. Dia yang tinggal dan hidup di daerah lembah Yang-Tze mungkin adalah orang yang paling mengenal kedaan alam daerah itu pada masanya.

Pertaruhan kedua ahli itu terjadi dalam Pertempuran Tebing Merah ( sayang dalam film ini tak seujung kukupun disinggung ). Dimana Cao dengan 200.000 tentaranya saat menyeberangi Yang-Tze harus takluk dibawah siasat ”angin timur” Zhuge dan kalah dengan hanya hanya menyisakan 28 orang. Pada titik ini perimbangan kekuatan Wei, Wu dan Shu mulai terjadi.

Kembali ke Three Kingdom. Film ini cenderung menitik beratkan cerita pada masa setelah Zhuge dan Cao. Saat sosok Zhou Zilong muncul dalam masa kejayaanya sebagai salah satu dari Lima Jenderal Harimau negeri Shu. Kisah selanjutnya adalah tentang periode kemunduran Zilong yang mesti menghadapi komandan muda pasukan Wei, Cao Ying yang tak lain adalah cucu Cao Cao.

Pertempuran itu terjadi di Phoenix Height setelah Cao Ying berhasil menjebak Zilong untuk mundur kesana. Phoenix Height sendiri adalah tempat yang penuh kenangan bagi Zilong. Ditempat itu untuk pertama kalinya dia beroleh kepercayaan Liu Bei untuk untuk memimpin pasukan guna meyelamatkan Putra Mahkota Liu. Sebuah titik yang tidak disengaja sebagai akibat penebusannya terhadap kesalahan Ping An, seniornya di kesatuan yang gagal menjalankan misi ini.

Secara keseluruhan film ini memang tidak seagung Hero yang telah begitu cantik memadukan antara ilmu pedang dengan sebuah kesadaran akan pentingnya Tian Xia, tanah tumpah darah, bumi sekolong langit bagi manusia. Film ini juga tak serumit Crouching Tiger Hidden Dragon, yang sangat substil menjalin kerumitan cinta dengan semangat dan penghargaan terhadap keahlian bersilat. Tapi film ini cukup jujur untuk mewartakan cita dan keterbatasan manusia dihadapan kekuatan adi kuasa yang melingkupi segalanya. Dialah Sang Waktu yang perkasa.

Kekuatan film ini yang lain adalah dihadirkannya kenyataan bahwa dimanapun perang tidak akan menghadirkan kemenangan sejati. Bahkan perdamaian yang diidamkan setelah perang usai adalah sebuah kemuskilan. Perang yang satu hanya akan menghasilkan perang yang lain. Penguasaan satu negeri terhadap negeri yang lain hanya akan menumbuhkan benih-benih permusuhan di kemudian hari. Dan kegungan visi seorang prjurit adalah cita-cita aprioris yang hanya mengejawantah dalam ide dan cita semata. Benarlah, kedamaian tak terjangkau lentingan anak panah. Dan panjang lembing tak akan pernah menyentuh kesentosaan nurani.

Film ini disajikan secara naratif, dimana Ping An seakan bertindak sebagai sang pewiracarita. Dia yang tersisih dan tersembunyi dalam sudut-sudut kemegahan istana Shu tapi tetap melihat dan merasa.

Dalam bayangan sorga
Sang Naga melayang dengan kebesarannya
Mensasmitakan alam akan keagungan yang tiada terjangkau
Terbang melenggang..........
Memberkahi aliran sungai Yang-Tze
Menghidupi setiap yang bernafas
Para petani yang menghiasi lembah dengan bulir-bulir gandum
Dan sekumpulan prajurit yang coba tegakkan langkah
Mengambil bagiannya dalam membela



O, kiranya Sang Budha berwelas-asih
Membimbing perang menuju kesentosaan
Yang berlindung dibawah bayangan sorga

Changsan telah aku tinggalkan
Dan sampai dalam duli kegungan Kaisar

Satu titik dalam Ketinggian Phoenix
Yang hendak aku satukan dengan beribu pertempuran
Dan jika didapatkan satu kemenangan
Itulah berkah Dewa-Dewa
Yang lewat kuasanya,
Memberkahi setiap prajurit dengan keberanian
Dan satu kekuatan,
Buat enyahkan kenestapaan.............


Inilah Three Kingdom selengkapnya.



>>>><<<<



---- Three Kingdom ----


Ping An


Keadilan dewa-dewa yang menuntun perang, membawaku dalam kesatuan tentara Shu, dibawah duli Liu yang dicinta. Satu titik telah aku tandai dalam petaku. Changsan disini, ya.......telah aku tinggalkan. Dan kini aku di garis depan pertahanan Shu.

Dialah yang aku kenal di sini, sahabat, saudara yang kelak akan aku puji dalam keagungannya. Zhou Zilong, saudara dari Changsan. Apalah yang bisa ditebak dari orang muda ini. Dia yang memasuki ketentaraan hanya dengan dalih :

”Aku hendak menepati darmaku bagi negeriku, dan berkeluarga esok setelah perang usai”

Ah, anak muda..apa yang kau tahu, betapa naifnya kau ini. Kau pandang perang ini dengan keringanan hatimu. Ya...kau yang bahkan tak tahu letak negerimu di dalam peta.

Bersamanya aku hadapi saat-saat kritis di garis depan. Tentara Cao telah datang dengan 10.000 pasukan lengkap. Sedang kami disini hanyalah 1000 orang Changsan. Yang seiring timbul dan tenggelamnya matahari hanya berusaha mempertebal dinding-dinding benteng ini. Apalah yang bisa diharapkan, dengan satu pukulan, anjing Cao sudah akan mampu menerobos. Semuanya sudah bersiap untuk menyambut sang mati. Dan dimana petaku....ah, telah aku berikan itu pada Zilong. Peta yang selalu aku simpan dalam hatiku.

Sorga, dalam misteri apa lalu kau menjejak dalam wujud seorang Zhuge Liang. Dewa penolong kami, pengatur kami dalam bidak-bidak catur pertempuran. Dia yang memanggil badai dalam gelapnya malam, menantang kami dengan keberanian yang mengalir dalam darah orang-orang Changsan.

Zilong, kau ada dalam bagian ini, disampingku dalam pasukan pemukul. Kita bersama 20 orang lainnya dengan pedang dan lembing kita hendak robohkan panji-panji pasukan Cao. Disamping kita 500 orang dalam formasi naga, 480 dalam cakar-cakar phoenix. Dan dialah pengatur kita, Zhuge yang terberkati.

Ah, apapun itu penghargaan yang kau berikan padaku kawan..?. Leher komandan tentara Cao ?. penghargaan itu, yang seandainya kau rengkuh sendiri akan memberikan kegemilangan padamu. Ya..ya..aku terima penghargaan ini, untuk mu, untuk saudara-saudara Changsan kita, untuk kejayaan Shu........

Dan kau Cao, gusarkah engkau dengan kekalahan, hingga kau sendiri mesti turun gelanggang memimpin pasukanmu?. Lawanlah kami, tebak dimana kebinasaan hendak memihak diri !.



Zilong


Guan dan Zhang mengapitku dalam pasukan. Inilah misiku untuk menebus kegagalan Ping An mengawal Putra Mahkota. Gerbang Phoenix Height sudah ditutup. Disanalah kami mengundur dalam kejaran Cao. Kami tidak akan menghadapi pasukan Wei secara frontal. Yang Mulia tidak akan membiarkan rakyatnya musnah dalam perang ini. Ah, terpujilah keagungannya, semoga sorga memberkatinya dengan umur panjang.

Kami berpisah dalam jarak jangkauan panah musuh. Guan dan Zhang mencoba memancing dan memecah pasukan musuh, aku mengambil jalan mengitari bukit menuju tempat Ping An meninggalkan rombongan Putra Mahkota.

Saudaraku, telah aku pintakan pengampunanmu di hadapan Yang Mulia Liu. Terserah, nasib hendak membawa kemana diri kita selanjutnya. Telah aku katakan dalam Keagungannya, agar tanpa menimbang keberhasilan dan kegagalan misi penebusan ini untuk memberikan hukuman padamu sepantasnya.

Putra Mahkota aku temukan, terpujilah sorga yang telah menjaga jiwanya. Anak kecil ini, penerus singgasana Shu dimana baktiku akan aku dermakan kelak di masa depan.

Aku hendak kembali dalam barisan, tapi Cao melihatku dam mengirim sepasukan tentara berkuda dan infanteri untuk memburu.

Oh prajurit... dimana keluasan nuranimu, hingga kau baktikan darmamu pada keangkuhan Cao. Lihatlah tarian lembingku.......langit menjanjikan padaku satu kejayaan. Dalam zirah baja Liu yang membungkus dadaku carilah kematianku itu. Puih, jangan harap...raga ini dilindungi kejayaan Shu. Satu tebasanmu yang luput, satu kematianmu hendak menjemput.

Aku hampiri Cao dalam ketinggian bukit cadas. Kau pemilik bidak-bidak catur pertempuran ini, yang jumawa dengan keagunganmu, lihatlah pedang perakmu telah aku renggut. Dalam kekecutanmu rasailah. Maut hendak menghampir. Bukan...bukan sekarang, kutitipkan jiwamu dalam ragamu kini. Suatu saat kembali aku tagih, dalam kejayaanku bersama Shu, keluluhanmu dalam reruntuhan Wei.

Hah..kau ancam hendak mengankapku jenderal tua?. Boleh...boleh asal umurmu cukup panjang untuk mencapai masa itu. Aku Zilong dari Changsan ingat itu kegelisahan hatimu.


Ping An


Changsan mendapati pahlawannya yang terakhir, dialah Zilong. Oh kampungku, sambutlah dia dalam kemeriahan pestamu. Dalam sutra-sutra Budha yang kau salutkan. Dan aku, Ping An, yang beperang demi menorehkan namaku dalam sejarah, biarlah kalian sisihkan dalam segala omongan.

Zilong, petaku telah ada padamu, biarkan pula keberhasilan dan keberuntunganku kau peroleh juga. Ah kawan, sejarah ternyata lebih memilihmu. Kau begitu bijaksana dan tak terkalahkan. Dan kini.....mulailah sejarah itu menulis namamu dalam tinta-tinta emas. Tengoklah kawan, dunia yang kini hendak mulai mengingatmu. Seratus, seribu tahun mungkin.

Kini kau bagian dari Lima Jenderal Harimau. Didepanmu, Guan yang perkasa, dan Zhang yang terpuja dengan 100.000 pasukan. Disampingmu, Huang dan Ma dengan masing-masing 50.000 pasukan. Kau sendiri kawanku, ah...masih layakkah kau ku sebut dengan itu, memimpin prajurit cadangan. Kemana hendak kau pimpin mereka dalam zirah baja dan jubah saljumu. Ke utarkah ?, menyongsong Cao dalam singgasananya. Bawalah...bawalah keagungan dan kebanggaan itu.... Aku disini mendengar salutmu dihadapan Yang Mulia Liu bahwa kau siap melayani dalam duli kuasanya. Disini, biar tersamar sekalipun aku bersalut:

“Ping An siap melayani dalam duli keagungannya”



Zilong


Kematian menghampiri dalam wujudnya yang tiada terungkap. Apalah bedanya, dia yang menggelepar dalam perang yang mengharu biru, dengan mereka yang meradang dalam keheningan yang membisu. Sama, dalam kehendak sorga semua menuju.

20 tahun terlewat dalam masaku sebagai bagian dari Lima Jenderal Harimau negeri Shu. Hari ini 34 tahun 4 bulan semenjak pertamaku meninggalkan Changsan. Pada hari ini tinggal aku yang tersisa. Guan, Zhang, Huang dan Ma telah tewas, menturuti baktinya demi kejayaan Shu. Bahkan Yang Mulia Liu pun telah mangkat dalam keagunganya. Putra Mahkota naik menggantikan. Dia, junjunganku yang baru, anak yang pernah aku lindungi dengan perisai dan lembingku. Dia yang pernah aku pertaruhkan jiwaku demi kesentosaannya. Oh...Yang Mulia, kesetiaanku tiada bercela, dalam duli kuasamu hendak aku baktikan raga.

Berbahagialah dia yang tak mengenal perang. Yang hidup dari bulir-bulir gandum yang mereka semai. Dan memanennya di penghujung musim panas. Bercanda, dalam kebahagiaan yang membuncah.

Hari ini aku tak lebih dari seorang Jenderal Tua, ya...mungkin seumur Cao yang dulu aku tinggalkan dalam kegusarannya di Phoenix Height. Dan kini, siapa yang akan merampas lembing dari tanganku. Sedang aku tiada terkalahkan dalam peperangan. Ya...kemegahan yang menghiasi setiap sisi kebanggan, menyusup dalam aliran darah setiap panglima perang. Tiada hilang dalam masanya, tak terenyah dalam setiap pemikulnya. Kemenangan, kejayaan menghias dikala tidur.

Tapi dalam tidur itu, datang pula mimpi-mimpi buruk. Tak terbentuk, tiada tersentuh. Hanya sosok tanpa rupa, tanpa nama. Melingkupi segala yang yang berbentuk dan berwajah. Diakah itu ?, sang waktu, sang kala yang mulai menghampir.

Oh...waktu datanglah dalam kesenjaan umurku. Apa yang hendak kau pinta?. Nasibkah?, atau umur yang sekian waktu kau titipkan. Ya...aku kini tak lebih dari seorang jenderal tua.

Mereka yang dulu berperang disampingku tiada lagi. Hanya zirah dan pedang mereka yang kini berdiri, terpajang dalam coloseum yang berpendar sinar-sinar pengagungan sang pahlawan. Guan, Huang, Zhang, Ma, entah kapan kita bersua. Bersama bersimpuh dalam alam surgawi. Menghadap junjungan kita dengan segala rasa bengga. Ya..aku tak lebih seorang Jenderala tua.

Kekalahan perang tiada pernah aku temui, akulah sang jenderal tak terkalahkan. Tapi Dia yang lebih perkasa dari armada enam negara datang juga. Sang waktu, yang membawa nasib dalam gulungan-gulungan awan. Ya...aku tak lebih seorang jenderal tua.

Oh...dewa , mengapa kau perlakukan aku seperti ini. Adakah benar bahwa inilah garis nasib itu, dimana selalu ada alasan untuk menghadir dan mengejawantah. Kini ketika kejayaan Shu hendak kembali menapakkan jalannya dalam lorong-lorong sejarah aku tak lagi diikusertakan. Ya..hanya karena aku seorang jenderal tua. Kau penguasa, pikirmu aku hanya akan melemahkan semnagat diantara seluruh prajurit. Oh penguasa, tiada nampakkah dalam matamu yang mulai menyipit, keagunganku dimasa lalu?......ah aku sadar, itu hanyalah keagungan masa yang kini terlewat. Benar, aku tak lebih seorang jenderal tua.

Tapi bijaksanalah, berikanlah kesempatanku. Biarlah ini menjadi pertempuranku yang terkhir. Untuk apa kau tanya ?. Bagiku, ” biarlah ini menjadi penyembuh dari kenangan-kenangan yang mulai memudar” . Bukan, bukan kenangan akan kejayaan yang pernah aku cecap. Tapi kenangan akan kampung halaman yang kini aku tinggalkan. Changsan, dimana aku titipkan gadisku dalam rengkuhannya.

O kasih, entah bagaimana adamu kini. Berlalu masa yang sedari dulu kita impikan,” menjalin keluarga ketika perang usai”. Insyaflah kasihku, perang tiada pernah usai. Ya..benar seperti yang selalu kau takutkan.

Dan aku kini, berada dalam titik nadzir itu. Seperti kau gambarkan dalam permainan wayang-mu, benarlah kau, kejatuhan pada akhirnya akan datang juga. Gadisku, dulu kau buatkan aku sebuah lentera putar. Kau hias padanya sajak-sajakmu:


Timur, selatan , barat , utara
Ada masanya kita bersua,
Dan hanya untuk berpisah lagi.....

Syair itu kini hidup dalam keterpurukanku. Bergema dan bersahutan, bersama puisi yang dilantunkan Xiang Yu berabad yang lampau:

Kekuatanku merengkuh gunung-gunung
Kuasaku dapat mengubah dunia
Tapi usia mengkhianatiku

Kudaku tak mampu lagi berlari kencang
Dan pedangku tak lagi kuat terayun
O, gadisku...
Bagaimana nasibmu kini


Ping An


Di tapal batas utara Zilong membuka pesan pertama dari Perdana Menteri. Ya..pada akhirnya Zilong diijinkan untuk mengikuti ekspedisi ke utara. Dia bersama Guan Kecil dan Zhang Kecil, putra jenderal Guan dan Zhang yang telah mangkat. Kini lima divisi Harimau di susutkan menjadai dua divisi, Naga dan Garuda. Zilong memimpin pasukan pendukung yang membawahi empat kesatuan.

Atas perintah Perdana Menteri sebagai Wali Agung kerajaan Shu, kami membagi kekuatan. Kami sepakati, Guan dan Zhang mengambil jalan memutar kekedua sisi, sedang aku bersama Zilong mengambil jalan tengah.

Kami bertemu dengan sepasukan tentara Wei. Tidak banyak, hanya sekitar 3000 tentara berkuda dan infanteri. Pertempuran tidak sampai terjadi, tapi Zilong berhasil membunuh empat perwira bersaudara dalam sebuah duel tunggal. Kami menyimpang dengan jalan yang berbeda. Sedangkan pasukan Wei mengundur kembali ke utara.

Kami salah duga, pasukan yang kami temui diawal ternyata hanyalah kesatuan kecil yang dimaksudkan untuk menjebak dan menjajaki kekuatan kami. Di belakang mereka pasukan besar Wei yang sebenarnya siap mengepung. Dari pengamatan Deputi Deng dan dua anak-buahnya tahulah kami, bahwa sisi utara, timur dan selatan telah ditempati pasukan musuh. Hanya sisi barat yang masih memungkinkan kami mengundurkan diri. Satu pertempuran kecil terjadi, dan kami berlalu kebarat. Menuju satu tempat yang tiada kami duga, disanalah, Phoenix Height berdiri dalam kegungan yang begitu dingin.



Zilong


Pesan kedua aku buka, inilah yang terjadi. Oh surga.. Semua telah diatur dengan memanfaatkan ego dan harga diriku. Semuanya tahu, aku tak akan mengambil sisi mudah dalam perang manapun. Ya...dengan memainkan perasaanku yang bermegah dengan pertempuran, Perdana Menteri mengiringku untuk bertemu pasukan utama Wei. Lalu memancing pasukan utama itu dalam pertempuran agar menghambat gerak mundur pasukan ini kembali ke utara. Sedang Guan dan Zhang yang mengambil sisi kanan dan kiri dimaksudkan untuk langsung menuju Wei, menguasai enam negara utara dan menolong kami pada tahap berikutnya...

Menolong kami kau bilang?.....jadi kami tak lebih tumbal bagi ekspedisi ini?.... oh.....betapa siasat telah dibabarkan. Oh...prajuritku kiranya kau tahu semua ini........

Dengan semua ini kami tak lagi menjadi prajurit Shu yang mesti berperang dengan kegagahan dan moral pejuang. Kami hanyalalah patung jerami buat menjadi sasaran bidikan panah dan sabetan pedang musuh. Penguasa, kau bahkan telah memperkirakan umur kami dalam perang ini. Enam jam, ya tak lebih.....itulah dalam pikirmu. Kau bahkan menakuti kami dengan reputasi komandan musuh yang begitu agung dan diberkati sorga dengan sejuta bakat dan kelebihan. Cao Ying cucu Cao Cao kau sebut........

Inikah penghargaan yang kau janjikan itu, penghargaan bagi Jenderal yang telah berjaya dimasa lampau. Untuk apa?, sekedar mati dalam segala kekonyolan?.

Alam, masih kurasai dinginmu dalam keagungan bangunan ini. Dan arca Budha yang masih juga berdiri di sana seakan mendelik dalam rautnya yang penuh kasih. Apalah yang Dia tawarkan dalam senyumnya yang begitu agung?. Undangan untuk kembali dalam rengkuhannya?. Menyatu dalam kebijaksanaan yang dia wahyukan ?. Oh..tiada itu akan terjadi, karma mesti berputar, dan sejuta inkarnasi masih harus dijalani.

Langit, menyatulah engkau dalam segala penyangkalan. Hiasilah keterpurukan ini, hiburlah perasaan setiap pahlawan yang ditinggalkan........


Ping An


Zilong dalam kegamangan, begitupun aku yang diberi satu lagi waktu untuk menjejak dalam gelanggang perang. Setua ini sebagai prajurit ?. Biarlah langit dan kupu-kupu mengejekku dalam kelembutan mereka.

Bentrokan awal terjadi, tak ada kemenangan bagi kedua sisi. Tapi Cao Ying cukup cerdik memanfaafkan situasi. Dia kirimkan prajurit kami yang meninggal tewas kedalam Phoenix Height, untuk apalagi selain melemahkan mental juang bagi seluruh pasukan. Ya...ya..aku dapat melihat semuanya, mesti kau berdalih bahwa yang kau lakukan sekedar untuk menghormati prajurit yang telah gugur dalam gelanggang yang tiada mereka pahami.

Gadis muda ini..... entahlah, dalam raut Kwan Im-nya yang begitu anggun ternyata mewarisi kecerdasan Cao Cao yang begitu taktis dan mengerikan.

Zilong coba membuat perimbangan. Dia utus aku dan Deputi Deng untuk menemui Cao Ying. Kami membawa pedang perak Cao Cao yang direbut Zilong 30 tahun lalu saat menyelamatkan Putra Mahkota untuk ”dihadiahkan” kembali kepada komandan pasukan Wei ini. Satu pesannya yang harus aku sampaikan :


” jagalah pedang ini dengan kekuatanmu, jangan kau turuti kelengahan kakekmu dengan menghilangkan pedang komandonya sendiri...”


Ah, Zilong.....kau coba kecutkan musuh-musuhmu dengan kehebatanmu, ya benarlah kau. Segera kudapati muka mereka yang mulai memucat. Keberuntungan , berpihaklah pada pahlawan terlupakan ini.


Deputi Deng


Cao Ying menantang Jenderal Zilong dalam sebuah pertarungan tunggal. Kami, empat deputi sudah melarangnya maju dan menyediakan diri kami untuk mewakilinya. Jenderal menolak, dan bersikeras untuk menghadapi Cao Ying sendiri.

Cao Ying beruluk salam dengan melemparkan dua gulungan kain yang disambut dengan lembing kumala Jenderal. Sorga……aku dapat melihatnya, itulah dua bendera dari divisi Naga dan Garuda yang dipimpin Guan dan Zhang.

Dua divisi itu telah hancur, tinggal divisi pendukung kami yang tetersisa. Dapat aku lihat kegetiran yang misterius dalam wajah Jenderal. Entah apa yang kini ada dalam dipikirnya. Kekecutan karena divisi ini tinggal menunggu waktu untuk sebuah kehancuran, atau kemashgulannya dengan strategi Perdana Menteri yang penuh cacat itu. Aku tahu, dia sendiri dapat mengatur perang ini sendiri dan mungkin membawa kami dalam kejayaan. Tapi entahlah, dia begitu terikat dengan janjinya untuk menjalankan perang dengan instruksi dari Perdana Menteri. Sadarlah aku akan keterbatasannya kini.

Jenderal maju menghadapi Cao Ying yang dibantu oleh dua orang perwiranya, dan berhasil menundukannya dengan uluran busur panah dari Ping An. Tapi tak urung dia mendapat serangan panah yang menembus perut kanannya. Kami memapahnya kedalam Phoenix Height. Tapi dia menolak membuka zirah bajanya untuk sekedar memudahkan kami mencabut anak panah itu. Aku tahu, dia tidak ingin melemahkan mental seluruh prajurit dengan melepas baju zirah itu. Ya, seumur hidup dia memang tak pernah melepaskan zirahnya dalam peperangan. Dia perintahkan kami untuk meninggalkannya dengan hanya ditemani Ping An.

Ketika pasukan Cao Ying bersiap menyerang, kami menghadap untuk meminta ijinnya menghadapi Cao Ying. Ya, meskipun kami tahu perlawanan ini tidak berarti apapun. Kami di hadapan Cao Ying saat ini tak lebih seekor rusa pincang di hadapan sekawanan serigala. Kami hanya menyambut sebuah kehancuran.

Tapi perang ini mesti kami lakukan. Inilah penghormatan kami kepada semua prajurit yang telah tewas sebelum kami. Mereka yang dengan darahnya telah menyuburkan bumi negeri ini dengan kegemilanhan selama lebih seperempat abad.

Inilah perintah Jenderal yang terakhir :

” aku Zilong, bila tidak bisa membawa kalian dalam kemenangan maka tak akan aku biarkan kalian mati tanpa sebuah kehormatan. Berangkatlah, dan kami kan mengikuti kalian dengan sebuah kebijaksanaan ”.


Cao Ying


Perang, dalam hadirmu sejarah berlalu. Bergantian dalam sisi-sisi sang waktu. Kemenangan yang diagungkan, lalu kekalahan yang dinistakan. Siapa sang pengatur ini?. Tiada kehendak itu pada sebuah pertempuran.

Prajurit, engkau yang dibesarkan dalam setiap gelanggang. Dengan apa kau mesti mengukur umur. Putaran roda kereta perang, ataukah panjang lentingan mata panahmu. Kau yang mengayunkan pedang tanpa kehendak yang mandiri, siapa yang kau bela?. Negerimu, rajamu, jenderalmu?. Siapalah mereka itu bagimu, selain wujud-wujud yang tak terjangkau oleh keterbatsanmu. Dan bila kau mati dalam gelanggang-gelanggang itu, tak akan ada yang mencatat nama dan perjuanganmu. Sejarah bukan milikmu parajurit. Tapi dia milik kaisar dan para jenderal yang mengaturmu dalam barisan-barisan. Dan kau mati, darahmu membasahi bumi yang akan menumbuhkan kembang-kembang yang mengharumkan nama kaisar dan jenderalmu. Kau tetap tanpa nama, tanpa sejarah. Darah yang kau tumpahkan, yang begitu kau banggakan sebagai tanda darmamu akan hilang seiring hujan yang dikirim dewa-dewa.

Inlah perang dengan segala kekejamannya. Jangan kau salahkan kaisar dan para jenderal dalam semua ini. Salahkanlah sorga dan dewa-dewa yang menyisipkan kehendak akan kuasa bagi setiap makhluk insani. Dialah yang mewujudkan ini. Dengan garis takdir dan nasib yang dia torehkan dalam keazalian yang melampau. Tegarlah dalam setiap perang prajurit, ayunan pedangmu masih tetap di butuhkan, agar kehendak-kehendak itu tetap lestari, agar sejarah tetap tertulis....ya...salahkanl
ah sorga dan dewa-dewamu.

Inilah aku, perang dalam genggamanku kini. Tak beda, antara dawai kecapi yang aku petik dengan bilah pedang yang aku ayunkan. Mengalun, dalam setiap nada sumbang yang aku hasilkan, itulah satu kekalahan yang begitu ditakutkan. Dan dalam harmoni setiap dentingan, disitulah pengharapan akan kemenangan.

Dan perangku kini tak lebih sebuah penagihan, kejayaan Wei yang telah dipinjam orang-orang selatan tak lagi bisa ditangguhkan. Inilah kemenangan bagi siapa yang dibela sang waktu.

Zilong, salah satu dari Lima Jenderal Harimau yang melegenda berada dalam hadapku. Dia yang perkasa dan tiada terkalahkan dalam setiap perang. Tapi lihatlah, sang harimau telah menua. Meski ketangguhannya belum juga meninggalkannya, perjalanan waktu tak lagi mampu direngkuhanya. Dia kini udzur dan kehilangan kemandirian. Berdiri tak lebih dari bayangan jubah dia yang berkuasa, dia takluk, dan mengingkari sifat kepahlawanannya.

Jenderal inilah yang terjadi pada armada Shu. Zhang dan Guan yang langsung menuju utara telah kami siapkan upacara penyambutan. Bukan, bukan dengan pertempuran terbuka seperti yang kalian harapkan. Seperti kau, kami menyadari keterbatasan kekuatan cadangan kami yang tertinggal di utara. Kami sambut Zhang dan Guan dalam sebuah pertahanan total. Kami paksa mereka dalam pertempuran yang berlarut-larut untuk menghabiskan kesempatan mereka untuk menolongmu di tempat ini. Dengan mudah kami lakukan ini dengan medan utara yang tidak akan pernah ramah bagi orang-orang selatan. Sama, bagi kami, tanah tinggi dan bukit-bukit dapat kami manfaatkan layaknya kalian memanfaatkan aliran Yang-Tse saat menjebak kakekku di Tebing Merah.

Dan kini kau tinggal sendiri, Guan dan Zhang telah kami lumpuhkan dengan memotong perbekalan dan memecah pasukan mereka menjadi kesatuan-kesatuan yang tidak bisa saling mendukung. Dan lihatlah, bendera kedua divisimu telah aku kembalikan bersama kabar kematian teman-temanmu di utara.Kau kehilangan mereka, sama seperti aku kehilangan empat perwira utamaku.

Dan kini kau akan kehilangan seluruh pasukanmu. Lihatlah hamparan di hadapanmu. Mengisaklah jika itu akan mengurangi kepedihan. Kau teah ijinkan mereka untuk bertempur, itulah ijinmu untuk kepergian mereka dalam kematian.

Menyerahlah Jenderal, pasukanmu telah kami cerai-beraikan. Siapa yang kau andalkan kini dalam kesendirian. Kau insyaf, ini adalah perang, bukan duel tunggal seperti saat kau kalahkan aku. Tapi bila kau hendak maju dan menutup keagunganmu dengan sebuah pertempuran, majulah, akan kami sambut juga. Akan kami berikan penghargaan itu sebagai sesama prajurit yang besar dalam asuhan perang. Jika perang ini usai, akan kuingat kau sebagai lawan terbaikku. Satu kehormatan bagiku untuk menutup sejarahmu.

Jenderal, kau adalah lawan yang baik. Keluhuran cita-cita mu untuk ”kesatuan tanah ini” biarlah kami warisi, kami berguru padamu tentang banyak hal. Sayang nasib membawa kita dalam dua kutub yang berseberangan. Kita mesti saling mengalahkan untuk tujuan yang sama. Tidak mungkin ada dua bilah pedang dalam satu sarung, mustahil ada dua orang raja dalam sebuah negara kesatuan. Kau telah membawakan peranmu selama seperempat abad, kini akan kami teruskan. Gugurlah dengan segenap kemulyaanmu Jenderal, seluruh generasi, seluruh negeri akan tetap mengingatmu. Oh ternistalah seluruh peperangan..........



Zilong


Aku datang menjemput kematian. Aku menghambur menuju titik penghabisan. Seorang diri, meyusul semua yang telah pergi. Zirah bajaku telah aku tanggalkan, segala harap telah terpasrahkan. Genderang perangku tetap terdengar meski hanya satu tangan yang menalukan. Ping An, kau juga yang menyaksikan saat-saat penghabisan ini. Tetaplah hidup kau, kawan, saudara Changsan. Banyak yang mesti kau ceritakan pada saudara dan teman-teman kita, yang mana aku sendiri sudah kehabisan kata.

Tak pernah kita kira beginilah pada akhirnya. Kita mengawali dengan Phoenix Height, lalu berperang keseluruh daratan. Dan kini kita telah berada pada titik awal di Phoenix Height. Pikir kita, dengan begitu kedamaian ”seluruh daratan” akan tercipta. Bukan, ternyata kita salah duga. Kedamaian yang dulu kita idamkan masih juga belum kita jangkau. Perang dan kehendak akan kuasa telah menjauhkan ”dia” lagi. Dan kita hanya tinggal berharap atau mencoba untuk sekali lagi memulai.

Sayang kita bukan dewa-dewa yang kekal dalam usia. Kita begitu terbatas, kesempatan yang kita terima bukanlah tanpa titik akhir. Dan kita sekarang dalam titik akhir itu. Kepada siapakah kita mesti berharap akan kedamaiam ”tanah ini”?.

Ah, kawan kenapa aku mesti membebanimu dengan pertanyaan yang tiada berjawaban. Lanjutkanlah hidupmu, ceritakan ini kepada semuanya. Bahwa mati demi suatu pengharapan dan cita-cita, selamanya tak akan pernah sia-sia.



>>>><<<<


---- Purwacana -----


Sendiri Zilong maju menghadapi Cao Ying dan seratus ribu tentaranya. Sementara Ping An menabuh genderangnya. Sejarah mengetahui segala yang terjadi meski dia kadang terlalu sedikit bercerita.

Lalu terdengar satu suara yang tiada satupun tahu siapa yang mengucap. Suara itu datang menusuri sang waktu. Dia menjejak dari masa lampau, menghadir di masa kini dan menuju ke masa-masa yang akan datang.

Akan datang masanya,
Ketika damai melingkupi alam raya
Dan tanah ini boleh dijejak,
Tanpa seorangpun memaksakan sebuah kuasa

Akan tiba waktunya,
Ketika pedang, lembing dan anak panah tinggal tersimpan dalam gudang senjata
Sementara mata bajak melukis tanah ini dalam bentangan garis-garis
Dan setiap sabit yang terayun,
Menebas tak lebih pada rumpun-rumpun yang mencuri makanan si padi

Akan hadir sebuah zaman,
Dimana perang akan menjadi begitu asing
Sementara pertumpahan darah,
Hanya menyambangi mimpi buruk pada malam musim gugur

Akan tiba suatu ketika,
Kebangkitan kembali Sang Naga
Dia terbang dari langit utara
Jauh melintasi nebula

Saat itu setiap kita berhak mengajukan sebuah pinta dan setangkup harap
Dia akan sudi memberi
Dan mengangsurkan berkatnya kepada kita,
Lewat kuku-kukunya yang perkasa

Bersamanya akan kita dengar,
Sorga yang berhunikan dewi-dewi
Melantunkan ode tentang kepahlawan
Dan seikat pujian,
Bagi dia yang telah merintis semua ini

Itulah saatnya,
Ketika tanah ini disatukan
Dan kita tak perlu mengenal batas-batas negeri
Dan kita boleh bersalam kepada semua yang kita temui
Layaknya saudara kita sendiri

Ya......
Masa itu akan datang,
Meski bukan untuk sekarang.