muga tunggak rila
yen wus wanci denok tole
bebadrang bayu baskara
nadyan dawah siti manca
mugya siti rempa awoh jaya
ibarat semesta sudah tumbuhkan benih
maka tunggak hanya bisa merela
saatnya putra-putri
bepergian turuti angin utara
biarpun jatuh di ranah asing
kiranya tanah cadas berbuah ranum diakhirnya
*******
Saya laki-laki Jawa. Dan untuk menjadi Jawa itu saya tidak perlu dibabtis atau dibaiat apapun. Saya cukup mempunyai ibu-bapa yang juga Jawa.
Mulai umur tiga bulan di kandungan saya sudah ditahbis dengan selamatan. Gudangan dan urap ikan air tawar jadi penanda selamatan yang pertama. Itulah pengharapan, agar ibu saya yang hendak direpotkan dengan calon jabang bayi diberikan kelincahan. Ya.., seperti ikan-ikan di sendang yang elok menari itu.
Sehabis usia kandungan genap tujuh bulan diadakan upacara yang lebih besar, mitoni katanya. Ibu saya mesti mandi di tengah malam biar tidak canggung saat menjalani kesibukan saat bayinya lahir kelak. Bapak membelah kelapa hijau demi menebas sukerta dan kesialan. Esok paginya membuat rujakan. Tujuh macam buah, tujuh macam rasa. Asam, sepat, manis, asin, itulah citarasa kehidupan yang mesti dijalani. Lalu bocah-bocah membeli rujak itu, bukan dengan uang betulan, hanya dengan kereweng genteng yang dibuat jadi bulatan. Konon satu permafhuman, bahwa rejeki tak mesti dalam wujud materi. Lalu ditebarlah "uang-uang" itu, disertai harapan akan kelimpahan
Saya diberi nama, eloknya bukan nama Jawa yang saya terima. Bukan Bimasena atau Wisatsana, apalagi Megananda. Bapak-ibu saya tani wutun yang darahnya seasin keringat mereka yang deleweran saat sibuk di tengah tegalan. Mereka takut si jabang bayi tak bakal mampu menanggung nama yang kelewat agung. Saya diberi tetenger nama lima huruf saja. Dengannya mereka berharap saya keDah Winulang, selalu belajar. Belajar membaca alam, firman agung Gusti Allah. Dan pelajaran pertama yang saya tentu saja untuk belajar menerima nasib dengan lega dan terencana. Bahkan sekali waktu mesti sumeleh di duli kuasa-Nya.
Mengiring upacara pemberian nama itu tujuh piring bubur merah-putih dan tujuh butir telur bulat. Bubur dalam corak merah-putih, menandai warna-warni kehidupan yang tak pernah seragam. Tujuh butir telur bulat gelondongan, lambang citra fitrah sang jabang bayi yang hendak manunggal dalam tekat dan tujuan ibu-bapaknya. Ilang jenang manjing jeneng, terhapus segala simbol dan dapatilah kesejatian.
Delapan bulan berlalu, tedak siten siap menjadi jantu. Ayam ingkung menyertai kenduri, telanjang bulat di nampan welatan. Begitu polos, begitu lugu. Itulah watak bocah, lepas dari semua khilaf dan niatan iri. Saya dikurungi keranjang, begitu terlindungi. Saya menjejakkan kaki, ah dinginnya sang bumi saya tapaki. Dengan satu doa saya terberkati, berkenanlah sang bumi saya telusuri.
Setiap selapan, tiga puluh lima hari sekali di pasaran hari kelahiran dibuatkan kenduri kecil-kecilan. Momongan, dengan mengundang bocah-bocah yang asyik main di pelataran. Di nampan bambu makan bebarengan. Ada sayur sendalan daun labu siam, juga ikan teri bumbu kelapa. Dua cabe merah sekedar hiasan. Satu buah dibuang ke atas genteng layaknya cita-cita yang mesti tinggi-tinggi digantungkan. Satu lagi disimpam di longan, jauh di bawah dipan agar selalu diberkati dengan kerendah-hatian. Kami berdoa, diselang riang gelak candaan.
Hari-hari saya jalani, bebareng teman-teman yang selalu dekat di hati. Ke kali mencari wader pari, pulangya merayah jambu tersana milik Pak Carik yang gedenya sekepalan tangan kami. Bila terang bulan main jamuran, rame-rame menembang ilir-ilir dan cempa rowa.
Setiap sore ke langgar, belajar mengaji, diwulang Kyai Besari. Kami belajar tentang alief dan syien, kami mengenal tentang fattah dan sukun.
Malam minggu ke sanggar, gladen, latihan menari, di ajar Romo Pambudi. Kami belajar tentang kiprah dan ulap-ulap, tentang pacak gulu dan pradaksina. Di sanggar teman-teman baru ditemui. Yang laki-laki lima, dari Warih hingga Purnomosidi. Yang putri tujuh, dari Larasati sampai Liestyar Wardani... ( ah mon cher vous vilez le parfait amour....).
Saya belajar dalam wulang dan tutur, Setiap malam ibu saya ura-ura, bersenandung lagu-lagu yang jenaka. Sedang bapak mengajar macapatan, dendang tentang piwulang sekumpulan kisah keperwiraan. Tapi saya tetaplah bocah, belum Jawa yang sebenarnya. Berapa yang saya dengarkan, berapa yang saya lewatkan, tetaplah tak leibih dari sebagai anak lingkungan. Eutenik, begitu kelak buku-buku saya mengajarkan.
Di awal dewasa jadilah saya Jawa sepenuhnya. Seorang laki-laki, seorang kakung yang mesti bersifat sebagai sebenarnya "lanang", -jantan-.
Padanya dibebankan buat segera menggayuh, mencapai kelima tanda seorang pria Jawa. Curiga, Wisma, Wanita, Turangga juga Kukila.
Padanya dibebankan buat segera menggayuh, mencapai kelima tanda seorang pria Jawa. Curiga, Wisma, Wanita, Turangga juga Kukila.
Curiga, keris yang sepenuhnya ditafsiri sebagai pengetahuan. Gaman, senjata terampuh buat mengahadapi pergaulan
Wisma, rumah, yang tak hanya bermakna sebagai tempat tinggal. Tapi juga naungan di mana hati dan cinta dititipkan
Wanita, isteri. Dia yang harfiahnya adalah wadon, namum bermakna wadah dan wadi. Rahim kehidupan penuh rahasia kerumitan yang anggun. Yang berwatak ayu (cantik), hayu (penitis kehidupan) dan rahayu (menjaga kesentosaan)
Lalu, turangga, yang bermakna kuda juga sarana untuk bisa bepergian
Terakhir Kukila, burung, lambang kesukaan dan pegangan kehidupan.
****
Ya,
Karena saya laki-laki Jawa. Anak alam yang patuh terhadap kenyataan. Pengidam kelestarian dalam citra hidup yang edi-peni, indah tertata dalam kesatuan langgam makna yang selaras
Ngunandika, guman lirih saja..
BalasHapus