Sabtu, 24 September 2011

Lastri

Lastri

Senja datang sudah, bulan baru menggantung pucat di ufuk barat. Tipis melengkung, memberi liontin keemasan bagi  langit yang bersih penuh lintang. Angin dingin kering mulai mengiris kulit. Kemarau  barangkali sudah mau datang. Paruh akhir April 2009, hukum-hukum alam yang indah, misterius sekaligus tak terkendalikan itu menyinggung seluruh persada. Tidem, kampung kecil di pojok timur  M  tak luput. Menjadi bagian penerima keindahan awal musim kemarau. Hari-hari ke depan adalah terang yang sejuk disertai malam-alam yang bersih. Musim surga bagi mereka yang suka berkumpul-kumpul dalam canda ramah desa. Api-api unggun kecil akan lebih banyak dinyalakan  di pelataran, seiring umur jagung di ladang yang sudah menginjak empat bulan. Ramai-ramai   di malam yang dingin itu membakar jagung  jawa yang sekalipun ukurannya kecil tapi  terkenal dengan rasa manisnya yang menggigit.
Kampung Tidem yang  anehnya  berarti “hilang” itu sementara akan tetap dalam gurauannya. Sambil menunggu  tiga atau empat purnama kedepan yang biasanya akan mulai disusahkan dengan air yang akan mulai langka. Belik-belik dan sendang  kecil yang saat ini masih penuh dengan air berrhias alga hijau itu mungkin akan menyusut bahkan  mengering.  Segera jun-jun  kuningan yang selama musim hujan menghiasai dapur saja akan mulai keluar  lagi. Menghiasai sisi-sisi pinggul gadis-gadis dan perempuan Tidem yang mengangsu air sampai dua kilometer ke daerah selatan Surodadi  yang  masih menyimpan sendang-sendang penuh air karena sumber-sumbernya yang abadi.   Tapi semuanya beharap, semoga celoteh bahagia anak-anak kampung itu akan memaksa iba Yang Kuasa untuk tidak memperlama musim kemarau seperti dua tahun belakangan ini. Oktober depan semoga hujan sudah mulai mengguyur. Membasahi sawah dan tegalan dalam alirannya yang penuh berkat.

………………….

Seno yang terus menangis memaksaku menggendongnya keluar. Dingin memang, tapi tak ada pilihan. Selimut bayi tebal  warna biru langit itu aku kerukupkan pada tubuh mungil montok  belahan jiwaku.  Bapak dan mertua perempuanku sudah melarang  untuk membawa Seno keluar rumah. Mereka masih takut juga dengan cerita kutukan-kutukan  kuno yang menyertai surupnya matahari.
Aku hanya tersenyum meminta pengertian kepada mereka. Dan benarlah,  sebentar saja Seno sudah diam. Kencar-kencar api unggun kecil diseberang jalan tempat bocah-bocah memanggang jagung itu agaknya menarik matanya. Kami duduk di teras, di atas bangku kayu panjang yang sering dipakai bapak buat menyerut kayu.  Mas R belum juga pulang dari pergi mengantar  adik iparku ke Candi.
Aku pandangi wajah bulat anakku, ah anak mungil, firdaus kecil bagi setiap yang memandang.  Tak terasa anak ini sudah berumur delapan bulan dalam hitungan bulan Jawa. Siang  tadi dia baru kami selamati dengan tedhak siten . Tak besar memang acara selamatan itu. Mas  R sendiri sebenarnya tak begitu peduli dengan acara-acara seperti itu. Sekalipun dia dibesarkan dalam keluarga Nahdhiyin tapi kerja dan sekolahnya dulu begitu kental dengan aroma Muhammadiyah. Hanya demi menjaga perasaan orang tua saja dia setuju mengadakan upacara itu. Sedang buatku sendiri tidak ada masalah dengan upacara-upacara Jawa pada umumnya yang cenderung bersifat tradisi.  Sekalipun aku pernah mondok selama dua tahun di Tegalrejo, tapi pesantren tempatku belajar adalah pesantren  salaf-tradisional  yang  cenderung permisif dalam hal tradisi. Selain itu bapakku juga  orang yang sangat percaya dengan hitung-hitungan  kosmologi Jawa.
Sedang ibu…..maaf, sudah kusisihkan perempuan yang telah melahirkanku itu dari hatiku. Bukan karena aku tak mau berbakti, tapi kenyataan bahwa dia meninggalkan aku dulu  setidaknya menegaskan satu hal. Bahwa aku bersama bapak adalah orang-orang yang tidak dia ingini, mutlak kami adalah si asing baginya. Dan sejak kecil memang aku sudah membiasakan diri sebagai anak piatu yang tak kenal belaian ibu. 
Ah, buat apa aku mengenang masa lalu yang penuh sayatan duka itu. Tanpanya pun aku tetap bisa bertumbuh dan hidup dalam asuhan tangan kokoh bapak. Dan kini bahkan aku sudah punya Seno, buah cintaku dengan Mas R.  Untuk Seno aku pastikan dia tidak akan  kekurangan cinta dan kasih sayang dari kedua bapa-ibunya.  Akan aku buktikan bahwa Lastri ini bukanlah  Wahyuni, nenek Seno yang alpa dalam cinta pada anak, suami dan keluarga. Lastri adalah   Panut,  kakeknya yang kuat namun lembut dan layak  buat menjadi  panutan, teladan.   Dengan Mas R di sisiku, yang akan menopang kuat dengan menjadi  soko guru kokoh bagi bangunan hidupku dan anakku.
Seno mulai tertidur, mulut kecilnya yang melompong itu  menguap dan menghembuskan aroma kehidupan murni yang membius.  Berkali-kali aku ciumi bibir, pipi dan keningnya.  Geronjalan halus tubuh mungilnya yang sesekali terasa di perut dan dua payudaraku begitu nikmat aku rasai. 
Oh Allah, tak   pernahkah kanikmatan seperti ini membersit dalam diri seorang Wahyuni sehingga dia tega melepas timangannya dariku?.  
Seno terbatuk pelan seakan mengerti rasa batin ibunya yang tengah menuntut. Segera kutenangkan dengan usapan halus di leher dan dadanya. Baik-baiklah ya cah bagus….
Seno-ku lahir 11 Agustus tahun lalu tepat setelah pernikahanku berusia tiga belas bulan. Pagi subuh dalam dinginnya udara lereng  timur Gunung Sumbing. Kaliangkrik, di situlah kami tinggal, yang masih  jadi satu dengan  mertua. Setelah menikahi Mas R dengan terpaksa aku tinggalkan bapak, tak sampai hati sebenarnya meninggalkannyasendiri. Tapi bapak meyakinkan aku untuk  menuruti suami  dengan permintaan khusus untuk sering-sering menengoknya  di Tidem.
Jadilah dua minggu sekali atau kurang kami  menengok bapak. Pada setiap datang itu  selalu  kupastikan keadaan bapak  tetap sehat wal’afiat tak kurang satu apa.  Upacara tedhak siten yang dilangsungkan di Tidem tadi juga atas permintaan khusus bapak. Begitu ingin dia melihat cucunya ini menjejakan tanah pertamanya di rumah tempat ibu dan kakeknya dulu selalu prihatin.  Hhh…bapak, sudah jadi kakek dia sekarang, kencar-kencar  binar matanya dalam kilatan bahagia melihat si cucu di kurungan ayam dengan alas kain sido mukti.
Aku memang tak pernah habis berpikir, entah sasmita apa yang dibawa dengan tanggal kelahiran si Seno.  Ya 11 Agustus, yang begitu persis dengan tanggal ulang tahun D orang yang pernah aku cintai dengan segenap jiwaku. Meski pada akhirnya menguap,  urung  segala rencana remaja dengannya dengan musabab yang tak pernah jelas.   Kurang apa dulu kami merajut harap. Betulkah rahasia Allah yang bernama jodoh itu juga yang pada akhirnya menjadi penghakim?.
Terlalu banyak memang yang bisa dikenangkan tentang orang itu. Adakah ini sebuah pengkhianatan terhadap suami?. Jika seorang istri dalam dekapan anaknya kemudian  masih mengungkit kembali kenangannya terhadap si dia yang pernah membagi janji.  Ataukah ini hanya sebuah kewajaran belaka?. Bahwa relung hati bukanlah ceruk-ceruk porselin yang bersih mengkilat dalam satu siraman air yang menghilangkan segala noda.  Relung hati adalah labirin rumit tempat mengubur segala kenangan yang tak  mungkin dalam seperjalanan umur bisa dibongkar lalu dibuang.
Maafkan aku Mas, tapi aku yakin kau akan mengerti. Sebesar pengertianku jika dalam igauan malammu terkadang tersebut nama seorang  Murni atau siapapun. Kita  akan sama-sama  menyadari bahwa bangunan keluarga tak didirikan atas dasar igauan bawah sadar atau dalamnya lamunan. Dia adalah soal kepercayaan  dan kesetiaan diantara kedua punnggawanya. Aku dan kau adalah  satu dan telah disatukan, aku dan kau adalah berhak akan masa lalu yang kadang-kadang  begitu saja menyelonong untuk sekedar hidup kembali.

Bocah-bocah  yang sedang asyik di depan panggangan jagung mereka masih riuh berceloteh.  Elok juga mendengar mereka saling bercanda. Kadang satu-dua kata agak jorok keluar diantara obrolan mereka. Terang segera anak-anak yang lebih besar memperingatin adik-adik mereka dengan ancaman akan dilaporkan kepada bapak-ibunya.  Aku tertawa, seperti itu jugakah aku dulu?. 
Ah, banyak hal  memang sudah berubah, tapi keseronokan kampungku masih tetap lestari. D,....( ampun !!)  lagi-lagi kenapa mesti dia yang mengganggu bayanganku?.  Bukankah  di seberang  jalan tempat api unggun itu dulu aku pertama kali bertemu  mata dengannya?.  Dia yang ternyata adik sepupu kawan mainku yang datang dari T.  Dan  lewat  Rara,  sepupunya yang sekaligus kawanku  itu  kemudian kami jadi saling mengenal.  Banyak hal yang tak bisa aku pahami. Bahwa satu tatapan bisa menumbuhkan gejolak rasa purba yang tak terdefinisikan. Sebesar itukah kekuatan sang Eros?.  Menjerat dua pribadi lewat jejaring sutra hati,  kemudian mengikatnya dengan simpul-simpul abstrak yang begitu kukuh. Dan kami hanya tunduk, terhipnotis dalam sihir ghaib yang memusingkan  tapi sekaligus mengangkat badan dalam awan penuh cita.
D aku akui memang bukan sosok yang  layak dibanggakan dalam banyak hal. Ya, itu dalam banyak hal, tapi sayang dunia tidak hanya terukur dari  “yang banyak” atau “yang umum”  itu.  Dunia punya sisi unik dan khusus, yang menghargai kekhususan dan keunikan  insani. Lalu menjulangkan kekhususan itu dalam taraf penilaian yang jauh lebih tinggi dari keumuman-keumuman penilaian. Jika ada yang menarik dalam D, itu juga karena sesuatu yang khusus itu. D adalah “yang pertama” bagiku, juga aku baginya, itu jelas. Dan hukum alam  memang  memutlakkan, bahwa si pertama selalu menempati  sisi kalbu yang terdalam.  Sebab si pertama adalah sang perintis rasa yang  menancapkan otoritasinnya dalam hati, lalu menguasai setiap kehendak.  Jujur, D lah yang pertama memahamiku. Dia yang  memknai diriku sekaligus memberi makna bagi dirinya sendiri untuk kemudian aku pahami sebagai dua makna dalam  satu kesatuan pengertian. 
Si  kembang rumput, begitulah konon aku dimatanya.  Jelas bukan sebutan yang bisa melayangkan angan tentunya, tapi aku hargai penilaiannya yang jujur.  Dan ketika aku masih di pesantren dulu sampai akhirnya bekerja di  tengah kota M aku tak bosan menunggu surat-suratnya yang biasanya datang setiap  kamis. Sering D menghiasi amplop suratnya dulu dengan lukisan tangannya yang berupa dua burung bangau Hokaido di atas pohon Kriptomeria.  Sekali aku menanyakan tentang alasan dia mengirim surat pada hari kamis.  Dia bilang itu agar serasi saja dengan nama samaran yang dia gunakan dalam surat-suratnya. “Respati” nama samarannya dulu, kata kuno untuk “kamis”.  Ya, kamis 24 Januari 2002 adalah hari  yang paling bersejarah bagi kami.  Aku dan D begitu jarang bertemu langsung. D  masih sekolah, aku  di pesantren dan  kemudian kerja. Nyaris hanya satu bulan sekali aku bertemu langsung dengannya. Untuk sementara itu cukup, bukankah  sepanjang kepercayaan itu ada maka pertemuan bukanlah sesuatu yang diniscayakan?.
Masa lalu, betapa semuanya begiu indah dalam  angan. Iya kan Seno ?,  ah, mana kau mengetahui semuanya itu manisku. Enam –tujuh belas tahun lagi kau baru akan bisa mengerti dengan paripurna. Sekarang berbahagialah kau dalam rengkuhanku. Bertumbuhlah dalam kebahagian   yang akan melingkupi. Hiburlah si dewasa ini lewat cerecau, senyum dan tangisan kerasmu. Lihatlah, betapa elok Tuhan memberkati setiap bayi dengan  kasih sayang purbawi. Tangisanmu yang murni  begitu berbeda dengan cucuran airmata si dewasa yang terlalu kentara mempertahankan keakuannya.

Pelan-pelan api unggun di depan rumah  mulai padam. Bocah-bocah yang sejak petang tadi  bercelotehan sudah mulai pulang. Kantuk dan penat sudah menyengat  mereka mungkin.  Sesegera mereka akan tidur sambil merajut bunga tidur mereka sendiri-sendiri. Pun Seno, begitu lelapnya kini dia tertidur,
“masuk Nduk, kasihan anakmu”  suara bapakku yang sedemikian lembut mengingatkanku. Suara yang sejak dua puluh tiga tahun  aku dengar dan aku rasai manisnya buat  mengisi hidupku. Suara bapakku, sekaligus suara ibu-sejatiku.
inggih Pak, iya”.  Aku masuk, menimangi  Seno dengan sesekali ayunan.  Aku coba tidurkan dia di kamar, ya, kamarku sendiri. Tempat aku bertumbuh dengan segala keterbatasan. Dulu, kamar ini akan selalu riuh dengan candaan sepupu-sepupuku  yang berbagikamar. Hanya kemudian usia dewasa menggariskan kami buat menturuti  kehidupan masing-masing.
Tanpa banyak gerak aku rebahkan Seno, aku benarkan letak bantalan kepala dan tangannya. Sekali desahan menyiratkan dia hendak terjaga. Dan dengan lembut aku sedikit tekan dadanya sehingga dia menjadi terlelap kembali.  Aku selimuti dia, segurat doa pengantar tidur aku bacakan buat mewakilkannya, “ ya Nak, tetaplah  Kau sentosa dalam  keselamatan”
Di luar angin menderitkan batangan-batangan bambu, melantunkan bahasa-bahasa malam dalam keheningan yang terasa sedemikain sakral. Mas R belum juga pulang, sedikit kuwatir aku kibaskan, tak apalah. Jam di pojokkan peraduan baru melewatkan beberapa menit dari pukul setengah sembilan.
Lama masih aku perlukan buat bersimpuh di samping Seno, kupandangi, kuciumi dia hingga desahan nafasnya aku rasai dengan sebgai keharuman yang tak terlukiskan. Menunggui cercau dan igauannya, sambil mengenangkan orang-orang tercinta, yang kini  berada di tempat yang  jauh…………….

“ana kidung rumeksa ing wengi, teguh ayu luputing lara
sumingkira bilahi kabeh, jin setan datan purun, paneluhan datan nemahi
Miwah penggawe ala, gunaning wong luput……………..”

“ada gita penjaga malam, tetaplah selamat dari segala bencana
menjauhlah semua bahaya, jin dan setan jangan sampai mendekati
juga segala rencana jahat orang-orang yang terbawa iri……………..”


************


-23 september  2011,  malam-
Untuk orang-orang tercinta, yang kini berada di tempat yang  jauh