Suatu kali saya berkunjung ke rumah keluarga embah saya di Wonogiri. Di daerah Girimarto yang batu-batu gunungnya nyaris sebesar gajah nderom, berkubang itu. Rumah yang saya tuju adalah rumah gebyok dengan kayu jati di hampir semua dinding dan kerangkanya. Itulah rumah embah buyut saya dulu, yang sekarang ditinggali eyang Guno, adik bungsu embah. Beliau, dalang sepuh yang punya dua kotak wayang kulit jangkep, lengkap dengan seperangkat gamelan. Ensamble jawa yang sudah kawentar adi luhungnya itu.
Tak ayal nyaris seharian kami berbincang soal wayang. Ibarat tumbu bertemu tutup kata orang, ada semacam resonansi yang gathuk antara saya dan beliau kalau sudah bicara soal wayang. Dan pandangan saya tentang wayang agaknya sedikit membuat hati beliau mongkog, bangga. Menurutnya saya punya bakat menjadi dalang, pelakon wayang. Tentu saja saya hanya menanggapi pangalembana, pujian beliau itu dengan senyum saja.
Ah, beliau tak tahu saja pandangan saya tentang wayang yang sebenarnya. Kalau boleh jujur, secinta-cinta saya dengan wayang saya selalu saja keberatan dengan lakon wayang (Jawa) yang sangat 'pendawa sentris'. Belum lagi sifat wayang yang figurnya cenderung direduksi dalam satu tipologi sifat tertentu, bukan satu wahana karakter.
Akhirnya wawansabda, obrolan itu beralih tentang arsitektur rumah jawa. Awalnya saya sampaikan kekaguman saya pada rumag kuno yang kerasa sangat agung dan anggun. Rumah itu, menghadap ke utara dengan pelataran yang cukup luas. Empat batang pohon sawo kecik meger-meger, kukuh di halaman. Di samping ada pohon sukun dan nangka belanda yang sedang buah. Di tambah sebatang kluwih gunung tua yang mengayomi bagian belakang rumah.
''Rumah jawa yang lengkap itu Le, setidaknya dibagi sapta perangan, tujuh bagian'', kata beliau. ''Yaitu pendapa, sebuah pringgitan dan tiga buah kamar, Satu senthong tengah yang diapit senthong kiwa dan tengen. Di bagin belakang ada pawon, dapur. Sedang di samping dibuat gandok, paviliun kata orang sekarang''
Kemudian beliau menjelaskan masing-masing, lengkap dengan aspek etis dan filosofisnya.
PENDAPA. Adalah ruang sosial, tempat menerima dan menyambut tamu. Ukurannya yang luas, pralambang keluasan hati dan sikap menerima sang empunya siapapun yang berkunjung. Di ruang ini semua hajat yang menyertakan orang luar diadakan. Dari kenduri yang kecil sampai panggih temanten yang kelewat sakral. Di lain sisi pendapa menunjukan ego dan identitas pemiliknya. Jadi jangan heran kalau semua perabot dan asesoris terbaik akan dipajang di sini.
PRINGGITAN. Kamar sepen istilah lainnya. Merupakan ruang spiritual di mana laku rialat dan olah kebatinan orang jawa dilakukan. Konon ruangan ini dikhususkan kepada Dewi Sri, dewi kesuburan dan kemakmuran. Mereka menyemayamkan 'Sang Tani' di ruang ini. Tak heran ruangan ini selalu terkesan wingit dan angker. Saya jadi ingat pringgitan di rumah embah di Temanggung. Dari kanak-kanak saya dapat privilase keluar masuk ruang itu. Di dinding utara dipajang wayang Kyai Semar dan Hanoman. Satu lagi simbol, yang sebuah adalah pamomong seluruh wangsa ksatria yang satu lagi penjaga ruh Dasamuka di gunung Sumawana agar tak bangkit dan memporandakan tatanan hidup ketenteraman. Sampai sekarang saya tak pernah bisa tegas menjustifikasinya. Ya, itulah kepercayaan, spiritualitas. Orang bilang agama agemaning ati...
SENTHONG TENGAH. Kamar utama yang dipakai kepala keluarga. Biasanya adalah kamar terbesar, karena disamping sebagai tempat rehat juga adalah tempat menyimpan harta dan pusaka keluarga. Kata 'tengah' itu pada galibnya tak sekedar menunjukan satu titik lokasi, tapi juga gambaran bahwa sang penghuni adalah pusat, inti dari keluarga.
SENTHONG KIWO dan TENGEN. Kamar pengapit yang ditempati putra dan putri. Harfiahnya mengapit senthong tengah, menandakan putra-putri siap mereriung, menyokong ibu-bapanya.
PAWON. Dapur tempat mengolah segala uba-rampe, logistik keluarga. Tempatnya selalu di belakang, satu tabu bagi orang jawa untuk memamerkannya. Seakan mau bilang, 'bahwa makan adalah urusan belakangan yang tau usah dibicarakan'. Sebuah isyarat malu-malu khas jawa yang sejatinya sedang akan menunjukan kemegahan dan keperwiraannya dengan sedikit terselubung.
GANDOK. Paviliun yang dibangung dibagin samping rumah. Di jaman dulu adalah tempat istirahat untuk para tamu atau kerabat yang menginap. Fragmen yang lebih sederhana dibangun untuk rewang, pembantu atau orang yang magersari, menumpang. Letaknya yang terpisah kadang dimaknai sebagai diskriminasi, tapi sebetulnya yang punya rumah sedang menawari satu keluasan dan kebebasan.
Menutup wedarannya beliau menggariskan beberapa simpulan:
''Para kakung, laki-laki, menguasai dua bagian di depan. Pendapa dan pringgitan. Yang putri, wanita selebihnya. Andum rata, andum gawe''
''Itulah kebijaksanaan leluhurmu Le, betapa semua memuat tanda dan sasmita. Rumah bagi orang jawa tak hanya bangunan fisik yang berhenti pada tujuan-tujuan praktis saja. Rumah punya ajaran filosofis sebagai satu wewangunan karya. Dia adalah ruang antara bagi pribadi, jagat alit (mikro kosmis) dengan alam, jagat gumelar (makro kosmis)...''
****
Ya, itulah rumah, wisma..
Malamnya saya menginap. Untuk saya disiapkan kamar tengen di dekat pendapa rumah itu. Jendelanya menghadap ke teras samping yang ditanami cempaka dan kembang wijaya putih yang lagi kembang.
Begitu terasa ayem, tenteram suasana di kamar itu. Saya rebahan dan tak juga bisa picingkan mata. Mata saya fokus pada sepasang wayang Bima dan Kresna di kamar itu. Sedang pikiran masih tak geser dari Dik Tyas, yang bisa-bisanya esem, senyumnya waktu itu membuat teh hangat yang dia sajikan kerasa begitu manis.
Dulu, di malam yang begitu nglangut, hening seperti ini ibu saya sering menembang Kidung Dandang Gula:
Ana kidung rumeksa ing wengi
teguh ayu luputing lara....
(Satu gita menjaga malam
dengannya kebahagiaan dihadirkan dan bahaya disingkirkan....)
Saya buka jendela, langit cerah dengan bulan nyaris tiga perempat penuh. Dari kejauhan sayup seperti terdengar orang sedang melantunkan satu gending lawas, Ketawang Wirgaringtyas:
...........
Rembulan ngayom, ing gegana trang abyor lintange
Titisonya puspita kasilir, maruta wris kengis
Sumarik gandanya rum....
(........
Bulan menyingsing, di langit gemintang berebut terang
Waktunya kembang-kembang bermekaran, dibuai lembut sapuan angin
hadiahi malam dengan sejuta wewangian.......)
saya tertarik membacanya.
BalasHapuslanjutkan postingnya,maaf saya copy kata kata yg akhir.