Rabu, 30 Juni 2010

Kuburan Boja Pralaya,12 Juni





Kalau saja pohon trembesi dan beringin kurung itu mau bercerita
Dia akan babar lakon-lakon yang mensejarahi kampung kita
Tentang Tumenggung Mangkuyudo yang pideksa,
lalu harus kalah dalam pungkasan Geger Diponegoro
Tentang sejarah masjid Kewalen,
yang konon dipugar oleh anak turun Wali Songo

Tapi toh dia hanya bungkam
Berpuas diri,
sebab sudah diumpani tanah subur yang dirabuk oleh daging-belulang leluhur kita
Hanya nisan-nisan itu yang mau sedikit mendongeng
Lewat guratan nama dan titimangsa yang memprasastai wujudnya

Ratusan nama-nama
yang asing,
yang diingat
semua di sana dan sekali-sekali mengusik telinga sebagai kembang cerita

Mbah Mini yang konon mati setelah coba mengukus anaknya dalam kuali
Eyang Pamuji dukun sakti sekukuban tanah ini
Lik Rah yang tewas habis terseret banjir Kali Progo
Sampai Eyang Sastro yang dulu cungkupnya pernah dijarah orang-orang pencari pusaka


Ah ya,
Kau pasti heran
betapa cerita-cerita penuh keprihatinan itu yang kemudian jadi ingatan
Itu karena kita kadang jenuh dengan segala kewajaran
Lalu jauh-jauh membuangnya dari peti kenangan

Coba,
Siapa yang ingat lagi kisah kematian Pak Yo, mbah Ning sampai anak-anak kang Sugiri?

Ya, seperti beringin kurung dan pohon trembesi itu
Hanya kepada cungkup trah para priyayi buku-buku akar mereka mau mengabdi
Sedang nisan saudara-saudara kita semua meranggas dalam pasi..

......

Hening memancar dalam kesingupan:
Maka akan kembalilah yang hidup dalam rahim kebusukan
Dalam sepi yang begitu memiris hati
Tempat segala kata dan laku keji tak lagi bisa diingkari





Dahwi,

Pikiran: 12 juni, Tmg
Tulisan: 28 juni, Jkt

Sabtu, 26 Juni 2010

Monolog Kang Karyo

namaku karyo
ya..karyo saja..
konon itu berarti kerja
lho iya tho, apalah artinya hidup tanpa kerja

aku tinggal di lereng kapur gunung sewu
dekat lahan bekas hutan jati
iya bekas...wong sekarang sudah gundul semua
habis dijarah rayah pas krisis moneter yang lalu itu..

kerjaku buruh tani
ini kerjaan warisan lho...dari jaman simbah dulu ya cuma itu penghidupan kami
ladang kami tak punya, ada sedikit sebenernya
itu sempalan tanah bengkok desa,
yang males digarap sama pak kades sebab letaknya yang di ereng-ereng

jadi ya tak olah saja,
lumayan setahun bisa aku tanami kacang sama ketela pohong
cukuplah buat nyambung makan satu bulanan
istriku, si Sumi itu orangnya begitu prigel, rajin
dengan sebat dia akan kupas singkong itu, dijemur buat suatu saat dijadiin tiwul

lho...kok sampeyan heran...
wah...ketahuan ni 'gak pernah anjangsana ke ginung kidul
yaitu makanan sehari-hari kami..
kenapa? ...renndah kalori?...wah wong kalori itu apa ya kami 'gak mudeng lho...
perut terisi....nah cuma itu pengharapan kami

sekarang aku mau cerita soal bekas hutan jati itu
wo..dulu...dulu...sekali, ratusan ribu pohon tumbuh subur di situ

tiap penghujan kami akan kagum lebat daunnya yang lebar-lebar itu
lalu simbok-simbok di desa akan memetik daun-daun itu buat dijual di pasar
konon lumayan, cukup buat ditukar beras, ikan asin sama garam...

kalau kemarau pohon-pohon itu akan meranggas
itu waktu kami caro kayu bakar buat ngepulin dapur...
apa minyak tanah?...'gak..'gak kami tak kenal kompor..
kami cukup pakai apa yang diberikan sama alam...ya kayu-kayu itu
minyak tanah kelewat mahal..kami cuma pakai itu buat ngisi lampu minyak saja..
atau kadang-kadang itu juga kami pakai buat kerokan kalau masuk angin...
jangan tanyakan bahunya....tapi juga jangan ragukan ampuhnya...

tapi hutan jati itu juga punya kisah suram
kang sastro, sepupu tuaku itu kini jalannya pincang
sebab digebukin sinder mandor hutan karena ketahuan nyolong bibit jati
padahal dia cuma mau nempil saja, ambil dua batang buat ditanam di perengan belakang rumah
tapi pak mandor pantang beri ampun, atas nama hukum dia di pukuli
aku dan warga kampung sudah siap buat menuntut balas pada si mandor yang arogan itu
tapi urung, si mandor sudah keburu lapor atasannya di wonosari
dan datanglah dua puluh orang pakai baju loreng-loreng, mana berani kami melawan pak tentara

kami mundur, kami takut...
aku sendiri kalang kabut
begitu kuwatir aku dituntut
sekian puluh tahun lampau bapakku sudah kena akibatnya
gara-gara dia coba menentang popor pengusa
dia juga 'gak paham...penguasa yang mana...
iya, ....bapakku dituduh ikut gestapu
dan sempat dia buang ke pulau buru
untung cuma sewindu dak tak sempat di bon kala itu


ah..untungnya jaman telah berubah
masa-masa gelap itu berlalu sudah
hanya saja hutan jati itu sekarang sudah tak ada lagi
begitu si penguasa tak ada lagi
rame-rame hutan jati itu ditebangi
bukan..bukan sama orang-orang di ampung kami
sampai mati pun kami tak bakal berani
walaupun waktu itu si mandor kejam sudah tak ada, kami masih tetap tundukan kepala

yang menebangi entah orang dari mana lagi
tahu-tahu bensaw, gergaji mesin itu ndengung sepanjang hari
tahu-tahu puluhan truk mondar-mandir ngangkutin kayu glondongan
tahu-tahu jalanan kampung kami rusak penuh lobang
dan kami hanya diam
tak tahu mesti apa
kami pikir mereka itu "yang punya"

setelah akhirnya kami tahu kalau hutan jati itu sudah "halal tebang"
semuanya sudah terlambat...
pohon-pohon itu sudah nyaris habis
kami orang-orang kampung yang coba ambil jatah
cuma bisa menelan ludah.....
tinggal serakan perdu saja
tapi kami orang kampung masih bisa bilang untung
hibur diri, itu akan cukup buat umpan api dapur kami


sekararang hutan jati itu tak ada lagi
hanya hamparan semak yang diberi plakat " TANAH MILIK PERHUTANI"
dengan begitu masih "haram" buat kami tanami

aku sempat mikir
seandainya penguasa sekarang berbaik hati
dan tanah kritis itu dibagi-bagi
buat orang-orang miskin kayak aku ini
pasti dengan senang hati akan kami terima
akan kami tanami pohong dab palawija
akan kami hijaui dengan albasa dan sengpn laut
yakin.....kerindangan yang dulu ada itu akan sedikit kembali

dan kami
akan dapat cadangan makan lebih banyak lagi
akan lebih punya harap tentang hidup ini

tapi ya gimana lagi
sekali lagi kami mesti gigt jari
tanah itu masih saja " MILIK PERHUTANI "
belum lagi menjadi hak bagi kami kaum petani

dan karyo ini tetap saja si buruh tani
warisi kemiskinan dari leluhur kani
ya......entah buat berapa generasi lagi

Dari Lereng Kendeng

mangga sedulur...mari kawan...
silakan duduk yang enak malam ini
ada yang ingin aku kisahkan
satu lakon dari lereng gunung Kendeng

ini cerita tentang manusia saja
manusia dan kehidupannya,
bukan kematiannya
tak ada yang lebih sulit dipahami daripada manusia
jangan remehkan si manusia yang nampak sederhana ini
seberapapun jenius kita tentang segala ilmu semesta
pengetahuan kita tentang manusia tak kan pernah paripurna
ya...ini soal jati diri....
identitas.........

boleh aku mulai..
oya.... mangga, silahkan..
kalian boleh dengarkan sambil apa saja

banjir tengahan tahun ini juga sampai ke Pati
ribuan orang lari...ribuan orang ngungsi...
puluhan tenda darurat berdiri..

ratusan mobil bantuan wira-wiri buat angkut beras dan supermi
sampe pada terjebak di jalan yang sudah mirip kali
pak sopir keluar
mas kernet jengkar
sukarelawan pada gelar tikar...
nunggu mobil bisa jalan dengan lancar

dalam capek dan lapar mereka menunggu
tak berani ambil makanan dari bantuan itu
mereka takut kesiku, yang sialnya bisa sampai anak cucu
tiba-tiba sekelompok orang gunung menghampiri

laki perempuan...dengan sorjan dan kain batik lurik kawung
yang laki-laki memikul, yang perempuan menggendong
tawarkan nasi bungkus, air dan rebusan jagung

senyum mereka menawarkan;

" mangga mas,pak... silakan ..sekedar buat mengganjal lapar,
ini dari lumbung-lumbung kami
silakan, kami warga dari lereng Kendeng...
silakan, jalan sampeyan masih panjang ke tujuan "

pak soper, mas kernet dan para sukarelawan keheranan
lho iya...
mereka takut dengan orang-orang Kendeng itu
yang mereka kenal dengan "Wong Samin"
iya Samin...
artinya???..samin itu artinya gila ..edan....
itu pikir mereka yang gak tahu sejarah awal mula cerita
geragapan mereka terima asungan nasi bungkus itu

mereka membatin :
"buat apa orang-orang "pembangkang" ini turun gunung"

paginya di Semarang geger
koran-koran wartakan berita ,
" wong Samin andum punjung, berbagi bekal dan makanan"
para pembaca berpendapat macam-macam
ada yang berpikir "emang apa istimewanya, cuma bagi-bagi nasi lho"
ada yang menafsir "wah, orang Samin mulai mau membuka diri"

seorang winasis pandai menyimpuli:

" inilah satu pertanda,
sterotipasi negatif buat orang Samin hanyalah isapan jempol saja.
hanya ritnah yang diberikan kepada penguasa
karena gagal tundukan pendirian mereka.
yang gigih pegang prinsip dalam menjaga alam dan hutan"

para pembaca segera percaya
segera orang-orang Samin dapet simpati
dari "politik nasi bungkus " itu
tak lagi mereka dianggap ekslusif
tak lagi mereka dikatai pembangkang



sampai satu hari satu kejadian membalikan persepsi
tanpa dinyana pemerintah punya rencana
bikin pabrik semen di Sukolilo
yang bahan bakunya
mineral dari seputaran gunung Kendeng dan alas randu

tak ayal orang-orang Samin meradang
merasa keberadaan mereka kembali terancam
dengan jalan kaki mereka serbu pemerintah di Pati
minta penegertian agar tanah mereka tak jadi digali-gali

pemerintah asungkan bukti
bahwa pabrik itu bisa tetap berdiri
dengan surat kuasa bernama "AMDAL" mereka tetap kukuh hati
konon alam tak bakal rusak..
konon orang Samin akan tetap hidup enak
konon...ya ...hanya konon saja......

merasa tak dapat pengertian seorang Samin ambil batu
dilemparkan pada petugas yang menjaga pintu-pintu
untung tak kena, sang petugas marah
lantang bertrteriak " Samin Kecu..!!!!!!"

sorenya Semarang geger lagi
koran-korang wartakan berita
" Wong Samin membangkang lagi "
para pembaca punya pendapat macam-macam
ada yang berpikir " dasar Samin "
ada yang menafsir " ah, ini ulah media saja"

seorang bijak pandai coba menyimpuli:
" ada yang salah dengan semua ini"


ah kawan,
benarlah ada yang salah dengan semua ini
kenapa "pembangunan" selalu punya dua sisi
kenapa sukerta, kutukan "zero suma game" tak juga teruwat
kenapa untuk bahagia mesti ada yang sengsara
kenapa untuk bertahan selalu ada yang tersisihkan

aku selalu dengar
semboyan pemerintah soal pembangunan
tapi apakah hakikat pembangunan itu
apakah selalu berarti fisik dan infrasruktur saja

sekali-sekali tidak kawan
membangun bisa berarti penguatan terhadap keraifan lokal
yang telah menbentengi peri kehidupan jadii tata, titi, tentrem
teratur, terencana dan damai

sekali waktu
cobalah berpikir dari sudut pandang orang Samin
atau kaum tani pada umumnya
tanah, hutan adalah penghidupan
tanah, hutan adalah identitas

kehilangan tanah artinya kehilangan jatidiri
kehilangan hutan pada galipnya adalah kehilangan ruh penghidupan

soal tani,
bukan hanya soal ekonomi dan modal
soal tani,
lebih pada diskursus sosial dan kultural
jadi jangan sekali-sekali bicara gombal...

malam ini entah apa yang terjadi di Kendeng
barangkali mereka sedang menebak arah jalan nasib
kepada labuan bumi pertiwi yang lestari
atau hamparan antah berantah berplakat "globalisasi"

sedulur....
kawan.......
barangkali tak banyak yang bisa kita perbuat
selain sekedar merajut harap
agar rumput nurani tumbuh kembali
ya.....siapa tau bisa jadi rabuk
pupuk buat tumbuhkan kemakmuran yang sejati

ya...itu saja....
tak lebih....

aku malah bayangkan satu hal

barangkali,
malam ini ada seorang ibu di Kendeng
yang sedang ngelonin anaknya
dan terus berharap agar semuanya baik-baik saja
sambil dendangkan satu kidung lawas


"ana kidung rumeksa ing wengi
teguh ayu luputing lara
sumingkira bilahi kabeh..........

"ada gita penjaga malam
bawalah satu kedamaian
dan enyahlah semua kesedihan............

Senin, 21 Juni 2010

Prawacana - Purwacana

Dua bundaran lampu pijar
Dua pertiga wajah dipapar sinar
Dua pasang mata menoreh binar

Di mana jiwa kita?
digenggam temaram
disamun malam

Mencandra banyak warna
Membabar banyak rasa
Dalam segejolak kasih purba

.....

Jalan hidup semanis tetes tebu,
kita tuju...
Jalan nasib seasin darah beku,
kita tinju...

Jadi mari mendongeng 'prawacana',
sebelum kisah sebenarnya bermula

Mari mengangan 'purwacana',
sejilid kisah serba bahagia

Ya,
segala buat cita kita yang esa....


(Jun 21)