Kamis, 29 Juli 2010

Three Kingdom ( Kebangkitan Sang Naga )

perang begitu penuh dengan ketidakpastian,
kadang seorang Jenderal tidak harus mematuhi perintah Kaisar
dia hanya boleh berperang ketika kemenangan sudah pasti di genggaman

--- Sun Tzu dalam the Art of War





---- Prawacana -----


Three Kingdom, resurrection of the dragon. Film ini berlatar Tiongkok di kurun tahun 220 M – 265 M ketika dinasti Han yang dibangun Liu Bang terpecah menjadi tiga negara. Wei yang terkuat disatu sisi. Dan persekutuan Wu dan Shu di pihak lain.

Wei dipimpin oleh Cao Cao yang memerintah atas nama raja muda dinasti Han. Wu kala itu diperintah oleh Sun Quan, keturunan Sun Tzu yang sejak masa sebelum Han menguasai daerah lembah sungai Yang-Tse. Sedangkan Shu, yang terlemah diantara ketiga kerajaan itu dipimpin oleh Liu Bei keturunan ningrat kerajaan Han.

Liu Bei sendiri bukanlah orang yang istimewa. Dia tidak begitu berbakat dan cenderung bersahaja. Tapi dia dicintai oleh rakyat Shu sebagai penguasa yang adil. Sikap Liu selama terjadi perang diantara ketiga negara itu cenderung labil dan terbelah. Dia selalu jatuh dalam kegamangan dan meraba dalam mengambil setiap keputusan. Sikapnya tehadap penderiataan rakyatnya kadang berubah menjadi perasaan sentimentil dengan menganggap dirinya sebgai pangkal penderitaan bagi rakyatnya.

Inilah masa yang paling menarik bagi sejarah Tiongkok kuno. Pada zaman ini lahir tokoh-tokoh militer dan ahli perang terhebat. Mereka, Cao sendiri yang memimpin armada Wei dan Zhuge Liang, penasihat militer bagi Liu Bei yang telah mencerahkan penguasa Shu dari kegamangan sikapnya dalam menghadapi Cao di utara. Lewat Zhuge juga, Shu kemudian dapat menjalin aliansi dengan Wu untuk bersama-sama menghadapi Wei.

Cao seorang yang sangat disiplin, berbakat dan terpelajar. Dia adalah master dalam Seni Perang. Seni Perang karangan Sun Tzu untuk pertama kali di-edit oleh perdana menteri ini. Tapi dia juga orang yang angkuh dalam kepemimpinan. Dia tidak segan untuk memancung setiap orang yang dia curigai akan mengancam eksistensinya. Dialah mungkin satu-satunya orang dalam sejarah Tiongkok yang paling dipuji sekaligus dicaci. Moto hidupnya sangat mashur :

“ lebih baik aku mengkhianati seluruh dunia dari pada aku dapati dunia mengkhianati aku’’

Zhuge Liang adalah pribadi yang berbeda. Dia bukan ahli pedang ataupun master kungfu. Tapi dia dianugerahi kebijaksanaan dan pengetahuan yang mendalam dalam strategi militer. Dia belajar strategi melalui karya-karya klasik baik yang di tulis Sun Tzu, Sun Pin dan Wang Li yang dikenal dengan Master of Demon Valley, Penguasa Lembah Iblis. Selain itu Zhuge adalah ahli dalam pengetahuan cuaca, geografi dan masalah topologi tanah. Dia yang tinggal dan hidup di daerah lembah Yang-Tze mungkin adalah orang yang paling mengenal kedaan alam daerah itu pada masanya.

Pertaruhan kedua ahli itu terjadi dalam Pertempuran Tebing Merah ( sayang dalam film ini tak seujung kukupun disinggung ). Dimana Cao dengan 200.000 tentaranya saat menyeberangi Yang-Tze harus takluk dibawah siasat ”angin timur” Zhuge dan kalah dengan hanya hanya menyisakan 28 orang. Pada titik ini perimbangan kekuatan Wei, Wu dan Shu mulai terjadi.

Kembali ke Three Kingdom. Film ini cenderung menitik beratkan cerita pada masa setelah Zhuge dan Cao. Saat sosok Zhou Zilong muncul dalam masa kejayaanya sebagai salah satu dari Lima Jenderal Harimau negeri Shu. Kisah selanjutnya adalah tentang periode kemunduran Zilong yang mesti menghadapi komandan muda pasukan Wei, Cao Ying yang tak lain adalah cucu Cao Cao.

Pertempuran itu terjadi di Phoenix Height setelah Cao Ying berhasil menjebak Zilong untuk mundur kesana. Phoenix Height sendiri adalah tempat yang penuh kenangan bagi Zilong. Ditempat itu untuk pertama kalinya dia beroleh kepercayaan Liu Bei untuk untuk memimpin pasukan guna meyelamatkan Putra Mahkota Liu. Sebuah titik yang tidak disengaja sebagai akibat penebusannya terhadap kesalahan Ping An, seniornya di kesatuan yang gagal menjalankan misi ini.

Secara keseluruhan film ini memang tidak seagung Hero yang telah begitu cantik memadukan antara ilmu pedang dengan sebuah kesadaran akan pentingnya Tian Xia, tanah tumpah darah, bumi sekolong langit bagi manusia. Film ini juga tak serumit Crouching Tiger Hidden Dragon, yang sangat substil menjalin kerumitan cinta dengan semangat dan penghargaan terhadap keahlian bersilat. Tapi film ini cukup jujur untuk mewartakan cita dan keterbatasan manusia dihadapan kekuatan adi kuasa yang melingkupi segalanya. Dialah Sang Waktu yang perkasa.

Kekuatan film ini yang lain adalah dihadirkannya kenyataan bahwa dimanapun perang tidak akan menghadirkan kemenangan sejati. Bahkan perdamaian yang diidamkan setelah perang usai adalah sebuah kemuskilan. Perang yang satu hanya akan menghasilkan perang yang lain. Penguasaan satu negeri terhadap negeri yang lain hanya akan menumbuhkan benih-benih permusuhan di kemudian hari. Dan kegungan visi seorang prjurit adalah cita-cita aprioris yang hanya mengejawantah dalam ide dan cita semata. Benarlah, kedamaian tak terjangkau lentingan anak panah. Dan panjang lembing tak akan pernah menyentuh kesentosaan nurani.

Film ini disajikan secara naratif, dimana Ping An seakan bertindak sebagai sang pewiracarita. Dia yang tersisih dan tersembunyi dalam sudut-sudut kemegahan istana Shu tapi tetap melihat dan merasa.

Dalam bayangan sorga
Sang Naga melayang dengan kebesarannya
Mensasmitakan alam akan keagungan yang tiada terjangkau
Terbang melenggang..........
Memberkahi aliran sungai Yang-Tze
Menghidupi setiap yang bernafas
Para petani yang menghiasi lembah dengan bulir-bulir gandum
Dan sekumpulan prajurit yang coba tegakkan langkah
Mengambil bagiannya dalam membela



O, kiranya Sang Budha berwelas-asih
Membimbing perang menuju kesentosaan
Yang berlindung dibawah bayangan sorga

Changsan telah aku tinggalkan
Dan sampai dalam duli kegungan Kaisar

Satu titik dalam Ketinggian Phoenix
Yang hendak aku satukan dengan beribu pertempuran
Dan jika didapatkan satu kemenangan
Itulah berkah Dewa-Dewa
Yang lewat kuasanya,
Memberkahi setiap prajurit dengan keberanian
Dan satu kekuatan,
Buat enyahkan kenestapaan.............


Inilah Three Kingdom selengkapnya.



>>>><<<<



---- Three Kingdom ----


Ping An


Keadilan dewa-dewa yang menuntun perang, membawaku dalam kesatuan tentara Shu, dibawah duli Liu yang dicinta. Satu titik telah aku tandai dalam petaku. Changsan disini, ya.......telah aku tinggalkan. Dan kini aku di garis depan pertahanan Shu.

Dialah yang aku kenal di sini, sahabat, saudara yang kelak akan aku puji dalam keagungannya. Zhou Zilong, saudara dari Changsan. Apalah yang bisa ditebak dari orang muda ini. Dia yang memasuki ketentaraan hanya dengan dalih :

”Aku hendak menepati darmaku bagi negeriku, dan berkeluarga esok setelah perang usai”

Ah, anak muda..apa yang kau tahu, betapa naifnya kau ini. Kau pandang perang ini dengan keringanan hatimu. Ya...kau yang bahkan tak tahu letak negerimu di dalam peta.

Bersamanya aku hadapi saat-saat kritis di garis depan. Tentara Cao telah datang dengan 10.000 pasukan lengkap. Sedang kami disini hanyalah 1000 orang Changsan. Yang seiring timbul dan tenggelamnya matahari hanya berusaha mempertebal dinding-dinding benteng ini. Apalah yang bisa diharapkan, dengan satu pukulan, anjing Cao sudah akan mampu menerobos. Semuanya sudah bersiap untuk menyambut sang mati. Dan dimana petaku....ah, telah aku berikan itu pada Zilong. Peta yang selalu aku simpan dalam hatiku.

Sorga, dalam misteri apa lalu kau menjejak dalam wujud seorang Zhuge Liang. Dewa penolong kami, pengatur kami dalam bidak-bidak catur pertempuran. Dia yang memanggil badai dalam gelapnya malam, menantang kami dengan keberanian yang mengalir dalam darah orang-orang Changsan.

Zilong, kau ada dalam bagian ini, disampingku dalam pasukan pemukul. Kita bersama 20 orang lainnya dengan pedang dan lembing kita hendak robohkan panji-panji pasukan Cao. Disamping kita 500 orang dalam formasi naga, 480 dalam cakar-cakar phoenix. Dan dialah pengatur kita, Zhuge yang terberkati.

Ah, apapun itu penghargaan yang kau berikan padaku kawan..?. Leher komandan tentara Cao ?. penghargaan itu, yang seandainya kau rengkuh sendiri akan memberikan kegemilangan padamu. Ya..ya..aku terima penghargaan ini, untuk mu, untuk saudara-saudara Changsan kita, untuk kejayaan Shu........

Dan kau Cao, gusarkah engkau dengan kekalahan, hingga kau sendiri mesti turun gelanggang memimpin pasukanmu?. Lawanlah kami, tebak dimana kebinasaan hendak memihak diri !.



Zilong


Guan dan Zhang mengapitku dalam pasukan. Inilah misiku untuk menebus kegagalan Ping An mengawal Putra Mahkota. Gerbang Phoenix Height sudah ditutup. Disanalah kami mengundur dalam kejaran Cao. Kami tidak akan menghadapi pasukan Wei secara frontal. Yang Mulia tidak akan membiarkan rakyatnya musnah dalam perang ini. Ah, terpujilah keagungannya, semoga sorga memberkatinya dengan umur panjang.

Kami berpisah dalam jarak jangkauan panah musuh. Guan dan Zhang mencoba memancing dan memecah pasukan musuh, aku mengambil jalan mengitari bukit menuju tempat Ping An meninggalkan rombongan Putra Mahkota.

Saudaraku, telah aku pintakan pengampunanmu di hadapan Yang Mulia Liu. Terserah, nasib hendak membawa kemana diri kita selanjutnya. Telah aku katakan dalam Keagungannya, agar tanpa menimbang keberhasilan dan kegagalan misi penebusan ini untuk memberikan hukuman padamu sepantasnya.

Putra Mahkota aku temukan, terpujilah sorga yang telah menjaga jiwanya. Anak kecil ini, penerus singgasana Shu dimana baktiku akan aku dermakan kelak di masa depan.

Aku hendak kembali dalam barisan, tapi Cao melihatku dam mengirim sepasukan tentara berkuda dan infanteri untuk memburu.

Oh prajurit... dimana keluasan nuranimu, hingga kau baktikan darmamu pada keangkuhan Cao. Lihatlah tarian lembingku.......langit menjanjikan padaku satu kejayaan. Dalam zirah baja Liu yang membungkus dadaku carilah kematianku itu. Puih, jangan harap...raga ini dilindungi kejayaan Shu. Satu tebasanmu yang luput, satu kematianmu hendak menjemput.

Aku hampiri Cao dalam ketinggian bukit cadas. Kau pemilik bidak-bidak catur pertempuran ini, yang jumawa dengan keagunganmu, lihatlah pedang perakmu telah aku renggut. Dalam kekecutanmu rasailah. Maut hendak menghampir. Bukan...bukan sekarang, kutitipkan jiwamu dalam ragamu kini. Suatu saat kembali aku tagih, dalam kejayaanku bersama Shu, keluluhanmu dalam reruntuhan Wei.

Hah..kau ancam hendak mengankapku jenderal tua?. Boleh...boleh asal umurmu cukup panjang untuk mencapai masa itu. Aku Zilong dari Changsan ingat itu kegelisahan hatimu.


Ping An


Changsan mendapati pahlawannya yang terakhir, dialah Zilong. Oh kampungku, sambutlah dia dalam kemeriahan pestamu. Dalam sutra-sutra Budha yang kau salutkan. Dan aku, Ping An, yang beperang demi menorehkan namaku dalam sejarah, biarlah kalian sisihkan dalam segala omongan.

Zilong, petaku telah ada padamu, biarkan pula keberhasilan dan keberuntunganku kau peroleh juga. Ah kawan, sejarah ternyata lebih memilihmu. Kau begitu bijaksana dan tak terkalahkan. Dan kini.....mulailah sejarah itu menulis namamu dalam tinta-tinta emas. Tengoklah kawan, dunia yang kini hendak mulai mengingatmu. Seratus, seribu tahun mungkin.

Kini kau bagian dari Lima Jenderal Harimau. Didepanmu, Guan yang perkasa, dan Zhang yang terpuja dengan 100.000 pasukan. Disampingmu, Huang dan Ma dengan masing-masing 50.000 pasukan. Kau sendiri kawanku, ah...masih layakkah kau ku sebut dengan itu, memimpin prajurit cadangan. Kemana hendak kau pimpin mereka dalam zirah baja dan jubah saljumu. Ke utarkah ?, menyongsong Cao dalam singgasananya. Bawalah...bawalah keagungan dan kebanggaan itu.... Aku disini mendengar salutmu dihadapan Yang Mulia Liu bahwa kau siap melayani dalam duli kuasanya. Disini, biar tersamar sekalipun aku bersalut:

“Ping An siap melayani dalam duli keagungannya”



Zilong


Kematian menghampiri dalam wujudnya yang tiada terungkap. Apalah bedanya, dia yang menggelepar dalam perang yang mengharu biru, dengan mereka yang meradang dalam keheningan yang membisu. Sama, dalam kehendak sorga semua menuju.

20 tahun terlewat dalam masaku sebagai bagian dari Lima Jenderal Harimau negeri Shu. Hari ini 34 tahun 4 bulan semenjak pertamaku meninggalkan Changsan. Pada hari ini tinggal aku yang tersisa. Guan, Zhang, Huang dan Ma telah tewas, menturuti baktinya demi kejayaan Shu. Bahkan Yang Mulia Liu pun telah mangkat dalam keagunganya. Putra Mahkota naik menggantikan. Dia, junjunganku yang baru, anak yang pernah aku lindungi dengan perisai dan lembingku. Dia yang pernah aku pertaruhkan jiwaku demi kesentosaannya. Oh...Yang Mulia, kesetiaanku tiada bercela, dalam duli kuasamu hendak aku baktikan raga.

Berbahagialah dia yang tak mengenal perang. Yang hidup dari bulir-bulir gandum yang mereka semai. Dan memanennya di penghujung musim panas. Bercanda, dalam kebahagiaan yang membuncah.

Hari ini aku tak lebih dari seorang Jenderal Tua, ya...mungkin seumur Cao yang dulu aku tinggalkan dalam kegusarannya di Phoenix Height. Dan kini, siapa yang akan merampas lembing dari tanganku. Sedang aku tiada terkalahkan dalam peperangan. Ya...kemegahan yang menghiasi setiap sisi kebanggan, menyusup dalam aliran darah setiap panglima perang. Tiada hilang dalam masanya, tak terenyah dalam setiap pemikulnya. Kemenangan, kejayaan menghias dikala tidur.

Tapi dalam tidur itu, datang pula mimpi-mimpi buruk. Tak terbentuk, tiada tersentuh. Hanya sosok tanpa rupa, tanpa nama. Melingkupi segala yang yang berbentuk dan berwajah. Diakah itu ?, sang waktu, sang kala yang mulai menghampir.

Oh...waktu datanglah dalam kesenjaan umurku. Apa yang hendak kau pinta?. Nasibkah?, atau umur yang sekian waktu kau titipkan. Ya...aku kini tak lebih dari seorang jenderal tua.

Mereka yang dulu berperang disampingku tiada lagi. Hanya zirah dan pedang mereka yang kini berdiri, terpajang dalam coloseum yang berpendar sinar-sinar pengagungan sang pahlawan. Guan, Huang, Zhang, Ma, entah kapan kita bersua. Bersama bersimpuh dalam alam surgawi. Menghadap junjungan kita dengan segala rasa bengga. Ya..aku tak lebih seorang Jenderala tua.

Kekalahan perang tiada pernah aku temui, akulah sang jenderal tak terkalahkan. Tapi Dia yang lebih perkasa dari armada enam negara datang juga. Sang waktu, yang membawa nasib dalam gulungan-gulungan awan. Ya...aku tak lebih seorang jenderal tua.

Oh...dewa , mengapa kau perlakukan aku seperti ini. Adakah benar bahwa inilah garis nasib itu, dimana selalu ada alasan untuk menghadir dan mengejawantah. Kini ketika kejayaan Shu hendak kembali menapakkan jalannya dalam lorong-lorong sejarah aku tak lagi diikusertakan. Ya..hanya karena aku seorang jenderal tua. Kau penguasa, pikirmu aku hanya akan melemahkan semnagat diantara seluruh prajurit. Oh penguasa, tiada nampakkah dalam matamu yang mulai menyipit, keagunganku dimasa lalu?......ah aku sadar, itu hanyalah keagungan masa yang kini terlewat. Benar, aku tak lebih seorang jenderal tua.

Tapi bijaksanalah, berikanlah kesempatanku. Biarlah ini menjadi pertempuranku yang terkhir. Untuk apa kau tanya ?. Bagiku, ” biarlah ini menjadi penyembuh dari kenangan-kenangan yang mulai memudar” . Bukan, bukan kenangan akan kejayaan yang pernah aku cecap. Tapi kenangan akan kampung halaman yang kini aku tinggalkan. Changsan, dimana aku titipkan gadisku dalam rengkuhannya.

O kasih, entah bagaimana adamu kini. Berlalu masa yang sedari dulu kita impikan,” menjalin keluarga ketika perang usai”. Insyaflah kasihku, perang tiada pernah usai. Ya..benar seperti yang selalu kau takutkan.

Dan aku kini, berada dalam titik nadzir itu. Seperti kau gambarkan dalam permainan wayang-mu, benarlah kau, kejatuhan pada akhirnya akan datang juga. Gadisku, dulu kau buatkan aku sebuah lentera putar. Kau hias padanya sajak-sajakmu:


Timur, selatan , barat , utara
Ada masanya kita bersua,
Dan hanya untuk berpisah lagi.....

Syair itu kini hidup dalam keterpurukanku. Bergema dan bersahutan, bersama puisi yang dilantunkan Xiang Yu berabad yang lampau:

Kekuatanku merengkuh gunung-gunung
Kuasaku dapat mengubah dunia
Tapi usia mengkhianatiku

Kudaku tak mampu lagi berlari kencang
Dan pedangku tak lagi kuat terayun
O, gadisku...
Bagaimana nasibmu kini


Ping An


Di tapal batas utara Zilong membuka pesan pertama dari Perdana Menteri. Ya..pada akhirnya Zilong diijinkan untuk mengikuti ekspedisi ke utara. Dia bersama Guan Kecil dan Zhang Kecil, putra jenderal Guan dan Zhang yang telah mangkat. Kini lima divisi Harimau di susutkan menjadai dua divisi, Naga dan Garuda. Zilong memimpin pasukan pendukung yang membawahi empat kesatuan.

Atas perintah Perdana Menteri sebagai Wali Agung kerajaan Shu, kami membagi kekuatan. Kami sepakati, Guan dan Zhang mengambil jalan memutar kekedua sisi, sedang aku bersama Zilong mengambil jalan tengah.

Kami bertemu dengan sepasukan tentara Wei. Tidak banyak, hanya sekitar 3000 tentara berkuda dan infanteri. Pertempuran tidak sampai terjadi, tapi Zilong berhasil membunuh empat perwira bersaudara dalam sebuah duel tunggal. Kami menyimpang dengan jalan yang berbeda. Sedangkan pasukan Wei mengundur kembali ke utara.

Kami salah duga, pasukan yang kami temui diawal ternyata hanyalah kesatuan kecil yang dimaksudkan untuk menjebak dan menjajaki kekuatan kami. Di belakang mereka pasukan besar Wei yang sebenarnya siap mengepung. Dari pengamatan Deputi Deng dan dua anak-buahnya tahulah kami, bahwa sisi utara, timur dan selatan telah ditempati pasukan musuh. Hanya sisi barat yang masih memungkinkan kami mengundurkan diri. Satu pertempuran kecil terjadi, dan kami berlalu kebarat. Menuju satu tempat yang tiada kami duga, disanalah, Phoenix Height berdiri dalam kegungan yang begitu dingin.



Zilong


Pesan kedua aku buka, inilah yang terjadi. Oh surga.. Semua telah diatur dengan memanfaatkan ego dan harga diriku. Semuanya tahu, aku tak akan mengambil sisi mudah dalam perang manapun. Ya...dengan memainkan perasaanku yang bermegah dengan pertempuran, Perdana Menteri mengiringku untuk bertemu pasukan utama Wei. Lalu memancing pasukan utama itu dalam pertempuran agar menghambat gerak mundur pasukan ini kembali ke utara. Sedang Guan dan Zhang yang mengambil sisi kanan dan kiri dimaksudkan untuk langsung menuju Wei, menguasai enam negara utara dan menolong kami pada tahap berikutnya...

Menolong kami kau bilang?.....jadi kami tak lebih tumbal bagi ekspedisi ini?.... oh.....betapa siasat telah dibabarkan. Oh...prajuritku kiranya kau tahu semua ini........

Dengan semua ini kami tak lagi menjadi prajurit Shu yang mesti berperang dengan kegagahan dan moral pejuang. Kami hanyalalah patung jerami buat menjadi sasaran bidikan panah dan sabetan pedang musuh. Penguasa, kau bahkan telah memperkirakan umur kami dalam perang ini. Enam jam, ya tak lebih.....itulah dalam pikirmu. Kau bahkan menakuti kami dengan reputasi komandan musuh yang begitu agung dan diberkati sorga dengan sejuta bakat dan kelebihan. Cao Ying cucu Cao Cao kau sebut........

Inikah penghargaan yang kau janjikan itu, penghargaan bagi Jenderal yang telah berjaya dimasa lampau. Untuk apa?, sekedar mati dalam segala kekonyolan?.

Alam, masih kurasai dinginmu dalam keagungan bangunan ini. Dan arca Budha yang masih juga berdiri di sana seakan mendelik dalam rautnya yang penuh kasih. Apalah yang Dia tawarkan dalam senyumnya yang begitu agung?. Undangan untuk kembali dalam rengkuhannya?. Menyatu dalam kebijaksanaan yang dia wahyukan ?. Oh..tiada itu akan terjadi, karma mesti berputar, dan sejuta inkarnasi masih harus dijalani.

Langit, menyatulah engkau dalam segala penyangkalan. Hiasilah keterpurukan ini, hiburlah perasaan setiap pahlawan yang ditinggalkan........


Ping An


Zilong dalam kegamangan, begitupun aku yang diberi satu lagi waktu untuk menjejak dalam gelanggang perang. Setua ini sebagai prajurit ?. Biarlah langit dan kupu-kupu mengejekku dalam kelembutan mereka.

Bentrokan awal terjadi, tak ada kemenangan bagi kedua sisi. Tapi Cao Ying cukup cerdik memanfaafkan situasi. Dia kirimkan prajurit kami yang meninggal tewas kedalam Phoenix Height, untuk apalagi selain melemahkan mental juang bagi seluruh pasukan. Ya...ya..aku dapat melihat semuanya, mesti kau berdalih bahwa yang kau lakukan sekedar untuk menghormati prajurit yang telah gugur dalam gelanggang yang tiada mereka pahami.

Gadis muda ini..... entahlah, dalam raut Kwan Im-nya yang begitu anggun ternyata mewarisi kecerdasan Cao Cao yang begitu taktis dan mengerikan.

Zilong coba membuat perimbangan. Dia utus aku dan Deputi Deng untuk menemui Cao Ying. Kami membawa pedang perak Cao Cao yang direbut Zilong 30 tahun lalu saat menyelamatkan Putra Mahkota untuk ”dihadiahkan” kembali kepada komandan pasukan Wei ini. Satu pesannya yang harus aku sampaikan :


” jagalah pedang ini dengan kekuatanmu, jangan kau turuti kelengahan kakekmu dengan menghilangkan pedang komandonya sendiri...”


Ah, Zilong.....kau coba kecutkan musuh-musuhmu dengan kehebatanmu, ya benarlah kau. Segera kudapati muka mereka yang mulai memucat. Keberuntungan , berpihaklah pada pahlawan terlupakan ini.


Deputi Deng


Cao Ying menantang Jenderal Zilong dalam sebuah pertarungan tunggal. Kami, empat deputi sudah melarangnya maju dan menyediakan diri kami untuk mewakilinya. Jenderal menolak, dan bersikeras untuk menghadapi Cao Ying sendiri.

Cao Ying beruluk salam dengan melemparkan dua gulungan kain yang disambut dengan lembing kumala Jenderal. Sorga……aku dapat melihatnya, itulah dua bendera dari divisi Naga dan Garuda yang dipimpin Guan dan Zhang.

Dua divisi itu telah hancur, tinggal divisi pendukung kami yang tetersisa. Dapat aku lihat kegetiran yang misterius dalam wajah Jenderal. Entah apa yang kini ada dalam dipikirnya. Kekecutan karena divisi ini tinggal menunggu waktu untuk sebuah kehancuran, atau kemashgulannya dengan strategi Perdana Menteri yang penuh cacat itu. Aku tahu, dia sendiri dapat mengatur perang ini sendiri dan mungkin membawa kami dalam kejayaan. Tapi entahlah, dia begitu terikat dengan janjinya untuk menjalankan perang dengan instruksi dari Perdana Menteri. Sadarlah aku akan keterbatasannya kini.

Jenderal maju menghadapi Cao Ying yang dibantu oleh dua orang perwiranya, dan berhasil menundukannya dengan uluran busur panah dari Ping An. Tapi tak urung dia mendapat serangan panah yang menembus perut kanannya. Kami memapahnya kedalam Phoenix Height. Tapi dia menolak membuka zirah bajanya untuk sekedar memudahkan kami mencabut anak panah itu. Aku tahu, dia tidak ingin melemahkan mental seluruh prajurit dengan melepas baju zirah itu. Ya, seumur hidup dia memang tak pernah melepaskan zirahnya dalam peperangan. Dia perintahkan kami untuk meninggalkannya dengan hanya ditemani Ping An.

Ketika pasukan Cao Ying bersiap menyerang, kami menghadap untuk meminta ijinnya menghadapi Cao Ying. Ya, meskipun kami tahu perlawanan ini tidak berarti apapun. Kami di hadapan Cao Ying saat ini tak lebih seekor rusa pincang di hadapan sekawanan serigala. Kami hanya menyambut sebuah kehancuran.

Tapi perang ini mesti kami lakukan. Inilah penghormatan kami kepada semua prajurit yang telah tewas sebelum kami. Mereka yang dengan darahnya telah menyuburkan bumi negeri ini dengan kegemilanhan selama lebih seperempat abad.

Inilah perintah Jenderal yang terakhir :

” aku Zilong, bila tidak bisa membawa kalian dalam kemenangan maka tak akan aku biarkan kalian mati tanpa sebuah kehormatan. Berangkatlah, dan kami kan mengikuti kalian dengan sebuah kebijaksanaan ”.


Cao Ying


Perang, dalam hadirmu sejarah berlalu. Bergantian dalam sisi-sisi sang waktu. Kemenangan yang diagungkan, lalu kekalahan yang dinistakan. Siapa sang pengatur ini?. Tiada kehendak itu pada sebuah pertempuran.

Prajurit, engkau yang dibesarkan dalam setiap gelanggang. Dengan apa kau mesti mengukur umur. Putaran roda kereta perang, ataukah panjang lentingan mata panahmu. Kau yang mengayunkan pedang tanpa kehendak yang mandiri, siapa yang kau bela?. Negerimu, rajamu, jenderalmu?. Siapalah mereka itu bagimu, selain wujud-wujud yang tak terjangkau oleh keterbatsanmu. Dan bila kau mati dalam gelanggang-gelanggang itu, tak akan ada yang mencatat nama dan perjuanganmu. Sejarah bukan milikmu parajurit. Tapi dia milik kaisar dan para jenderal yang mengaturmu dalam barisan-barisan. Dan kau mati, darahmu membasahi bumi yang akan menumbuhkan kembang-kembang yang mengharumkan nama kaisar dan jenderalmu. Kau tetap tanpa nama, tanpa sejarah. Darah yang kau tumpahkan, yang begitu kau banggakan sebagai tanda darmamu akan hilang seiring hujan yang dikirim dewa-dewa.

Inlah perang dengan segala kekejamannya. Jangan kau salahkan kaisar dan para jenderal dalam semua ini. Salahkanlah sorga dan dewa-dewa yang menyisipkan kehendak akan kuasa bagi setiap makhluk insani. Dialah yang mewujudkan ini. Dengan garis takdir dan nasib yang dia torehkan dalam keazalian yang melampau. Tegarlah dalam setiap perang prajurit, ayunan pedangmu masih tetap di butuhkan, agar kehendak-kehendak itu tetap lestari, agar sejarah tetap tertulis....ya...salahkanl
ah sorga dan dewa-dewamu.

Inilah aku, perang dalam genggamanku kini. Tak beda, antara dawai kecapi yang aku petik dengan bilah pedang yang aku ayunkan. Mengalun, dalam setiap nada sumbang yang aku hasilkan, itulah satu kekalahan yang begitu ditakutkan. Dan dalam harmoni setiap dentingan, disitulah pengharapan akan kemenangan.

Dan perangku kini tak lebih sebuah penagihan, kejayaan Wei yang telah dipinjam orang-orang selatan tak lagi bisa ditangguhkan. Inilah kemenangan bagi siapa yang dibela sang waktu.

Zilong, salah satu dari Lima Jenderal Harimau yang melegenda berada dalam hadapku. Dia yang perkasa dan tiada terkalahkan dalam setiap perang. Tapi lihatlah, sang harimau telah menua. Meski ketangguhannya belum juga meninggalkannya, perjalanan waktu tak lagi mampu direngkuhanya. Dia kini udzur dan kehilangan kemandirian. Berdiri tak lebih dari bayangan jubah dia yang berkuasa, dia takluk, dan mengingkari sifat kepahlawanannya.

Jenderal inilah yang terjadi pada armada Shu. Zhang dan Guan yang langsung menuju utara telah kami siapkan upacara penyambutan. Bukan, bukan dengan pertempuran terbuka seperti yang kalian harapkan. Seperti kau, kami menyadari keterbatasan kekuatan cadangan kami yang tertinggal di utara. Kami sambut Zhang dan Guan dalam sebuah pertahanan total. Kami paksa mereka dalam pertempuran yang berlarut-larut untuk menghabiskan kesempatan mereka untuk menolongmu di tempat ini. Dengan mudah kami lakukan ini dengan medan utara yang tidak akan pernah ramah bagi orang-orang selatan. Sama, bagi kami, tanah tinggi dan bukit-bukit dapat kami manfaatkan layaknya kalian memanfaatkan aliran Yang-Tse saat menjebak kakekku di Tebing Merah.

Dan kini kau tinggal sendiri, Guan dan Zhang telah kami lumpuhkan dengan memotong perbekalan dan memecah pasukan mereka menjadi kesatuan-kesatuan yang tidak bisa saling mendukung. Dan lihatlah, bendera kedua divisimu telah aku kembalikan bersama kabar kematian teman-temanmu di utara.Kau kehilangan mereka, sama seperti aku kehilangan empat perwira utamaku.

Dan kini kau akan kehilangan seluruh pasukanmu. Lihatlah hamparan di hadapanmu. Mengisaklah jika itu akan mengurangi kepedihan. Kau teah ijinkan mereka untuk bertempur, itulah ijinmu untuk kepergian mereka dalam kematian.

Menyerahlah Jenderal, pasukanmu telah kami cerai-beraikan. Siapa yang kau andalkan kini dalam kesendirian. Kau insyaf, ini adalah perang, bukan duel tunggal seperti saat kau kalahkan aku. Tapi bila kau hendak maju dan menutup keagunganmu dengan sebuah pertempuran, majulah, akan kami sambut juga. Akan kami berikan penghargaan itu sebagai sesama prajurit yang besar dalam asuhan perang. Jika perang ini usai, akan kuingat kau sebagai lawan terbaikku. Satu kehormatan bagiku untuk menutup sejarahmu.

Jenderal, kau adalah lawan yang baik. Keluhuran cita-cita mu untuk ”kesatuan tanah ini” biarlah kami warisi, kami berguru padamu tentang banyak hal. Sayang nasib membawa kita dalam dua kutub yang berseberangan. Kita mesti saling mengalahkan untuk tujuan yang sama. Tidak mungkin ada dua bilah pedang dalam satu sarung, mustahil ada dua orang raja dalam sebuah negara kesatuan. Kau telah membawakan peranmu selama seperempat abad, kini akan kami teruskan. Gugurlah dengan segenap kemulyaanmu Jenderal, seluruh generasi, seluruh negeri akan tetap mengingatmu. Oh ternistalah seluruh peperangan..........



Zilong


Aku datang menjemput kematian. Aku menghambur menuju titik penghabisan. Seorang diri, meyusul semua yang telah pergi. Zirah bajaku telah aku tanggalkan, segala harap telah terpasrahkan. Genderang perangku tetap terdengar meski hanya satu tangan yang menalukan. Ping An, kau juga yang menyaksikan saat-saat penghabisan ini. Tetaplah hidup kau, kawan, saudara Changsan. Banyak yang mesti kau ceritakan pada saudara dan teman-teman kita, yang mana aku sendiri sudah kehabisan kata.

Tak pernah kita kira beginilah pada akhirnya. Kita mengawali dengan Phoenix Height, lalu berperang keseluruh daratan. Dan kini kita telah berada pada titik awal di Phoenix Height. Pikir kita, dengan begitu kedamaian ”seluruh daratan” akan tercipta. Bukan, ternyata kita salah duga. Kedamaian yang dulu kita idamkan masih juga belum kita jangkau. Perang dan kehendak akan kuasa telah menjauhkan ”dia” lagi. Dan kita hanya tinggal berharap atau mencoba untuk sekali lagi memulai.

Sayang kita bukan dewa-dewa yang kekal dalam usia. Kita begitu terbatas, kesempatan yang kita terima bukanlah tanpa titik akhir. Dan kita sekarang dalam titik akhir itu. Kepada siapakah kita mesti berharap akan kedamaiam ”tanah ini”?.

Ah, kawan kenapa aku mesti membebanimu dengan pertanyaan yang tiada berjawaban. Lanjutkanlah hidupmu, ceritakan ini kepada semuanya. Bahwa mati demi suatu pengharapan dan cita-cita, selamanya tak akan pernah sia-sia.



>>>><<<<


---- Purwacana -----


Sendiri Zilong maju menghadapi Cao Ying dan seratus ribu tentaranya. Sementara Ping An menabuh genderangnya. Sejarah mengetahui segala yang terjadi meski dia kadang terlalu sedikit bercerita.

Lalu terdengar satu suara yang tiada satupun tahu siapa yang mengucap. Suara itu datang menusuri sang waktu. Dia menjejak dari masa lampau, menghadir di masa kini dan menuju ke masa-masa yang akan datang.

Akan datang masanya,
Ketika damai melingkupi alam raya
Dan tanah ini boleh dijejak,
Tanpa seorangpun memaksakan sebuah kuasa

Akan tiba waktunya,
Ketika pedang, lembing dan anak panah tinggal tersimpan dalam gudang senjata
Sementara mata bajak melukis tanah ini dalam bentangan garis-garis
Dan setiap sabit yang terayun,
Menebas tak lebih pada rumpun-rumpun yang mencuri makanan si padi

Akan hadir sebuah zaman,
Dimana perang akan menjadi begitu asing
Sementara pertumpahan darah,
Hanya menyambangi mimpi buruk pada malam musim gugur

Akan tiba suatu ketika,
Kebangkitan kembali Sang Naga
Dia terbang dari langit utara
Jauh melintasi nebula

Saat itu setiap kita berhak mengajukan sebuah pinta dan setangkup harap
Dia akan sudi memberi
Dan mengangsurkan berkatnya kepada kita,
Lewat kuku-kukunya yang perkasa

Bersamanya akan kita dengar,
Sorga yang berhunikan dewi-dewi
Melantunkan ode tentang kepahlawan
Dan seikat pujian,
Bagi dia yang telah merintis semua ini

Itulah saatnya,
Ketika tanah ini disatukan
Dan kita tak perlu mengenal batas-batas negeri
Dan kita boleh bersalam kepada semua yang kita temui
Layaknya saudara kita sendiri

Ya......
Masa itu akan datang,
Meski bukan untuk sekarang.








Djoko Pekik dan Ideologi "celeng"



Orang tidak akan terkejut bila ada seekor kuda, burung langka atau beberapa jenis ikan hias sampai dihargai sebesar Rp. 1.000.000.000. Tapi orang akan tersentak kaget jika mendengar ada seekor celeng yang dihargai sampai Rp.1.000.000.000. Dan begitulah kenyataanya, di Djogja ada “celeng” yang dihargai sebesar itu. Tapi tentu saja itu bukan celeng beneran yang biasanya diburu pak tani gara-gara suka merayah ladang jagung dan palawija mereka. Ini adalah tentang lukisan karya Djoko Pekik yang berjudul “ Berburu Celeng” yang dia lukis di tahun 1998.

Saya juga tidak habis pikir, terus siapa orang bodo yang mau membeli lukisan semahal itu?. Ing atase “cuma’’ lukisan karya pelukis lokal lho. Terus kok ya kurang kerjaan amat eyang Djoko Pekik melukis binatang semacam itu?. Wong kayaknya di bumi ini masih tersedia banyak spesies binatang yang lebih eksotic dan lebih lumrah untuk dijadikan model sebuah lukisan. Tapi ya namanya juga seniman. Kalau nggak aneh dan nyeleneh ya bukan seniman namanya. Atau jangan-jangan memang hanya jenis binatang ini yang masih tersisa di belantara tanah Ngayogyakarta Hadiningrat?. Tapi memangnya masih ada sisa hutan di Djogja ?. Ah, paling-paling ada sedikit di Gunung Kidul, Menoreh atau di lereng Merapi sana. Dan memang yang tersisa dihutan-hutan itu kayaknya hanya tinggal sebangsa monyet dan celeng saja. Tapi toh saya yakin, bukan dengan pertimbangan ini eyang Djoko Pekik itu melukis dengan tema ini. Lha terus apa ?.

Bagi saya terlalu sayang untuk melewatkan sejarah, lakon kehidupan pelukis kelahiran Grobogan, 71 tahun lalu itu. Dan namanya itu lho, kok ya bolehnya provokatif, Djoko Pekik. Djoko berarti pemuda , sedang Pekik berarti tampan. Tentu saja akan terlalu sulit mencari sisa “ketampanan” dia di usianya yang sudah terlanjur uzur. Tapi saya masih bisa melihat sorot matanya yang menyiratkan kewaskitaan.

Lalu menengok kampung kelahirannya di Grobogan, saya langsung teringat komunitas masyarakat Samin yang mendiami daerah itu sampai Pati dan Bojonegoro. Sebuah komunitas yang dibangun oleh sempalan kaum priyayi-prajurit dari kraton Mentaram yang emoh tunduk pada hegemoni kekuasaan feodal dan kolonial. Soal kepercayaan pantheis yang kemudian mereka anut, saya hanya bisa mengulang kredo simbah-simbah dahulu, bahwa agama pada titik tertentu mesti dipandang tak lebih dari ” agemaning ati”, pakaian bagi hati. Hati tanpa agama adalah ”ketelanjangan moral”. Yang jelas mereka adalah tipikal masyarakat yang begitu menjunjung tinggi kejujuran dan kerendahan hati. Kerasnya tanah kapur sisi utara Muria dan lebatnya alas Randu Blatung telah mengajari mereka tentang arti kebersahajaan.

Tak banyak yang saya ketahui tentang kehidupan dia di kampung halamannya. Yang jelas dia sempat sekolah di SR Purwodadi ( tidak lulus ) dan tahu-tahu dia sudah belajar melukis di Akademi Seni Rupa Indonesia, ASRI Djogja (ya Allah, tiga tahun lalu nyaris Kau kirim aku kesana ). Tapi konon bukan di ASRI dia mematangkan kemampuan melukisnya. Justru di sanggar Bumi Tarung dia kemudian menemukan jati-diri melukisnya dengan mengusung mazhab realis-ekspresionis. Ya, Bumi Tarung, yang menurut para punggawanya merupakan othak-athik-mathuk dari kata buruh dan tani. Dari bahasanya saja jelas kita dapat menebak, kemana mereka ini ber-afiliasi pada zaman revulusi di medio 60-an?. Ya...kemanalagi kalau bukan ke Lekra, Lembaga Kebudayaan Rakyat yang sering dianggap sebagai ounderbouw-nya PKI. Dan gara-gara keikutsertaannya di Lekra ini, Djoko Pekik mesti menjadi pesakitan dipenjara Wirogunan, Djogja dari tahun 1965 sampai 1972.

Saya jadi mikir, kenapa ideologi komunis menjadi sebegitu menariknya bagi para seniman, buruh dan petani kala itu?. Entah ini ada kaitannya dengan posisi mereka yang selalu tertindas atau karena sistem propaganda komunis yang berhasil memikat rakyat. Apa yang ditawarkan oleh kaum komunis pada mereka ?. Apresiasi karya komunal, upah yang layak, atau kebijakan land-reform yang lebih adil ?. Lalu bagaimana masyarakat Jawa yang katanya berkepribadian halus itu lalu bisa menerima ideologi sosaialis-komunis-marxist yang cenderung radikal-revolusioaner. Apakah orang Jawa telah kehilangan kehalusannya ?. Apakah ada kesamaan ”tertentu” antara ideologi Jawa dengan ideologi komunis ?.

Tempo hari saya rampung membaca History of Western Philosopy karya Bertrand Russel. Satu hal yang menarik ketika Bertrand Russel membandingkan hubungan antara nilai-nilai komunis yang dikembangkan Marx dengan nilai-nila Kristen yang dikembangkan St. Agustinus. Karena saya orang Jawa dan yang sedang saya bicarakan juga soal orang Jawa, maka saya lalu mencoba membuat perbandingan antara hubungan ideologi Kejawen dengan nilai-nilai komunis kala itu. Saya tahu ini bukan penemuan orisinil, tapi ya biarin saja tho. Wong saya juga cuma ngawur. Inilah versi saya:

Ratu adil----------------------
---------------------------dialektika Marxist
Satriya Piningit------------------------------------------Karl Marx
Keraton---------------------------------------------------Partai Komunis
Pribadi Kinasih------------------------------------------kaum Proletar
Centhini, Wedhatama-----------------------------------Das Capital, Comunist Manifest
Asmaradana, Dandang-Gendhis----------------------Internationale, Nasakom Bersatu
Bharatayudha-------------------------------------------Revolusi
Swarga---------------------------------------------------persemakmuran komunis

Tentu saja analisa saya itu tidak mencakup orang Jawa secara umum. Masih banyak golongan Jawa lain yang tentunya memilih orientasi politik sesuai selera mereka sendiri-sendiri. Yang golongan priyayi dan ningrat memilih ikut PNI. Kaum santri dan pesisiran tentu saja memilih Masyumi . Terus yang ikut PKI ?. Ya...rakyat-rakyat kecil itu. Mereka itu petani yang tanahnya hanya ada diangan-angan mereka. Buruh yang gajinya hanya cukup buat ”sekedar” hidup saja. Nelayan yang bukannya tidak punya ”laut”, tapi tidak punya ”perahu". Dan akhirnya tentu saja kaum intelektual dan seniman yang memiliki rasa dan kepekaan sosial yang tinggi. Contohnya ?. Banyak dong, salah satunya, ya eyang Djoko Pekik yang sedang jadi tokoh kita ini.

Trilogi lukisannya yaitu Susu Raja Celeng ( 1996 ), Berburu Celeng ( 1998 ) dan Tanda Bunga & Telegram Duka Cita ( 2000 ) dianggap ”puncak” dari lelaku seninya. Ketiganya mungkin sebuah usaha ” menyimpulkan” semua ideologi, kepercayaan dan perjalanan hidupnya. Meskipun karya-karya sebelum triloginya justru dipandang oleh sebagian kritikus sebaga karya yang lebih kreatif dan mempunyai gagasan ”cogito” yang lebih kuat, tapi lewat triloginya itu kemudian dia benar-benar mendapat kamulyan. Ya, kamulyan, penghargaan , baik secara intelektual maupun finansial.

Tapi saya lalu bertannya lagi. Kenapa ya mesti celeng lho?. Apa jangan-jangan celengnya Djoko Pekik ini sebenarnya adalah sebuah simbol belaka?. Kalau begitu dia menyombolkan apa?. Atau jangan-jangan pertanyannya mesti diganti dengan , itu menyimbolkan siapa?.

Saya kemudian mengamati detail lukisan Berburu Celeng ( 1998) itu. Disana digambarkan seekor celeng yang diikat dengan sebuah pikulan yang diarak masa. Di sekelilingnya saya lihat euforia masa yang tengah berang dengan aneka penampilan dan ekspresi. Semuanya seakan meneriaki, menghujat sang celeng. Sang celeng kelihatan begitu tak berdaya dan pupus. Entahlah mungkin saat itu sang celeng telah mati. Dari situ saya coba mengingat, celeng apa yang diburu dan dihujat di tahun 1998?.

Setalah saya pikir-pikir...Ya ampun.....celeng yang itukah?. Waduh, kalau begitu itu bukan sak baene, bukan sembarang celeng. Tapi itu adalah jenis yang sangat besar, sakti dan ampuh. Celeng yang dengan satu mantra...” ya tho”....akan mampu membunuh semua aktifis, pejuang pro-demokrasi, pembela syariat agama dan seniman idealis yang dianggap “kiri”. Dia adalah makhluk yang telah membasahi culanya dengan darah kaum Muslim di Talangsari-Lampung dan Tanjung Priok. Dia adalah spesies super yang sudah merampok tanah leluhur saya di Gajah Mungkur-Wonogiri sana.

Tapi ngomong-ngomong, ah, bukan juga barangkali. Itu mungkin hanya buah pikiran saya saja yang terlalu berprasangka. Lagian mana ada sih makhluk seperti itu di negeri ini. Ini adalah Indonesia, dimana seluruh warganya selalu rukun dan bertepaselira karena dalam hidupnya selalu berpedoman dengan moral luhur Pancasila. Pejabat dan pemimpinnya juga tidak mungkin sekejam itu. Mereka semua adalah orang-orang pilihan dan terpuji, bahkan sudah lulus penataran P4 semua.

Jadi kemudian saya mengambil kesimpulan, bahwa sang celeng itu mungkin tak lebih sekedar simbologi mental saja. Mental dan moral celeng, “sebuah ideologi celeng”. Itulah ideologi perusak (siapapun dia), tapi merusaknya itu lho, kok ya pilih-pilih juga. Dan yang dirusak kok ya lagi-lagi rakyat kecil dan kaum marjinal. Ujung-ujungnya sepeti celeng beneran saja, maunya cuma ngrusak tanamannya petani kecil macam singkong dan jagung saja. Tidak pernah sekalipun merusak tanaman perkebunan dengan kapita modal besar punya konglomerat-konglomerat itu. Walaupun tidak lucu juga kalau ada binatang macam itu iseng makan karet dan pinus. Tapi tebu dan kakao boleh juga kan?. Atau jangan-jangan para konglomerat itu teman-temannya sang celeng ?. Ah, saya tak boleh berprasangka buruk. Lagian ini kan lagi ngomongin soal lukisan.

Tapi bicara soal ideologi celeng agaknya saya tidak sendiri. Pertengahan 2007 lalu Pemred Tempo, Goenawan Moehammad merayakan ulang tahun. Anehnya acara ini diadakan di kediaman Djoko Pekik. Ada semacam saresehan dan pentas seni teatrikal yang di beri tajuk “ Sang Celeng Telah Mati”. Keseluruhan acaranya sendiri saya kurang tahu, tapi kemudian saya baca di Kedaulatan Rakyat liputannya. Satu hal menarik ketika tampilnya Drs. Susilo Nugroho yang dulu di TVRI Djogja dikenal sebagai den baguse Ngarso di acara populer Bangun Desa. Menurut dia bahwa manusia itu selain mempunyai bapak secara biologis, juga mempunyai bapak secara ideologis, dan dalam kontek ini tentu saja yang dia maksud adalah ideologi celeng. Saya juga tidak begitu paham bagaimana sang celeng menitiskan ideologi ke-celengan-nya itu kepada ras-ras manusia. Apakah seperti yang digambarkan Djoko Pekik dalam lukisan pertama dari Triloginya, yaitu dengan “Susu Raja Celeng”?. Padahal setahu saya susu itu tidak membawa faktor genetis. Tapi seandainya saja iya, betapa berbahayanya penyebaran ideologi itu. Anggap saja sang Raja Celeng menyusui 12 ras manusia. Lalu perdana menterinya, sentana-nya, prajuritnya dan seluruh rakyatnya dari bangsa celeng masing-masing menyusui 12 ras manusia juga. Terus berapa ras manusia yang akan terpangaruh dan ketularan ideologi ini?. Wah, jika teori ini benar, saya yakin 65.3% populasi rakyat Indonesia akan tertular paham ini. Jelas ini adalah bahaya latent yang lebih berbahaya dari komunisme. Agaknya pemerintah mesti segera membuat perangkat hukum untuk mengantisipasi penyebaran ideologi ini.

Akhirnya saya sadar bahwa sebuah lukisan ternyata bisa melahirkan penafsiran yang begitu beragam. Lalu saya ngaca, siapa sih saya ini?, kok berani-beraninya cumantaka, lancang menilai sebuah karya besar dari seorang seniman besar macam Djoko Pekik.

”Anggepmu kamu itu kritikus seni apa?”.

Tapi bagaimanapun ada aturan umum untuk sebuah karya seni yang telah dipublikasikan. Sebuah karya, apapun itu, setelah di lepas ke tangan khalayak maka menjadi hak khalayak untuk menilai, manafsirkan dan mengkritisinya. Ibaratnya sang seniman telah menjual gagasan dan ideanya, sedangkan khalayak membeli dengan apresiasi dan timbangannya. Eloknya, kadang kita tidak melihat tawar-menawar dalam transaksi macam ini.

Dan bagi saya inilah yang saya tangkap dari karya-karya Djoko Pekik. Saya menakar dan menimbang apa yang telah dia lakukan dan hasilkan. Saya coba mengerti dan mengapresiasi. Bagi saya Djoko Pekik adalah ”orang besar” yang telah mengabdikan dirinya untuk idealisme yang dia yakini. Tapi di sisi lain kebesarannya, saya melihat kerandahan hatinya. Dengan penuh kejujuran dia mengakui keterbatasannya ajan ide dan teknik melukis. Dia mengakui bahwa teknik melukisnya sendiri telah ketinggalan zaman.

” Bila orang menilai lukisan saya itu unik dan berbeda, itu bukan karena teknik melukis saya lebih maju dibanding yang lain. Akan tetapi itu karena saya telah ketinggalan dalam hal teknik dibandingkan pelukis modern lainnya ” , inilah kata-kata Djoko Pekik yang telah sumeleh, terhadap kemampuannya sendiri.

Kalau saya mesti memilih karya Djoko Pekik yang paling ”berarti”, maka saya tidak akan memilih satupun dari Trilogi puncaknya. Saya justru akan memilih karya patungnya yang berjudul ” Memanah Matahari”. Saya melihat ada kejujuran yang benar-benar manusiawi. Saya melihat harapan dari karya itu. Harapan untuk menghentikan matahari di ufuk timur. Matahari di saat pagi, di saat harapan dan kebahagiaan tumbuh.

Saat ini Djoko Pekik sudah mulya. Ibarat orang labuh , menanam, dia sekarang telah ngunduh, memanen apa yang dia perjuangkan dan usahakan. Rumah besarnya di desa Sembongan , kecamatan Kasihan, Bantul, dia sulap menjadi semacam pesanggrahan, pondokan yang begitu hijau dan asri. Setiap hari dia bercengkerama dengan binatang-binatang ternaknya ( tapi tentu saja dia tidak memelihara celeng, dia Muslim yang taat ). Dan dengan bus pribadi ( yang digambari dengan lukisan airbrush bermotif celeng ) dia kelilingi jalan-jalan di Djogja dan dikumpulkannya seniman dan anak-anak jalanan untuk diajak kerumahnya. Ya, apalagi kalau tidak diajak untuk bersama menikmati ke-mulya-annya itu. Ah, seandainya saja semua seniman seberuntung dia. Tentu saja saya iri dengan kehidupan dan pencapaian seorang Djoko Pekik. Tapi yang paling membuat saya iri ada dua hal :

Pertama, dia berkesempatan ”menikmati” zaman yang penuh kebebasan dan ”warna”. Zaman dimana semua ideologi dan aliran boleh berkembang dan bersaing. Yang kanan-liberal-agamis, yang kiri-sosalis-komunis semua tinggal pilih, mana yang sesuai dengan “kelas” dan idealisme kita. Walaupun pada akhirnya ke ikut -sertaan mereka dengan golongan “kiri” mesti dibayar dengan sangat mahal, tapi menurut saya itu sebuah harga yang pantas untuk satu kebebasan ideologis.

Kedua, dia oleh Gusti Allah diberi kanugrahan seorang perempuan re-inkarnasi wara Srikandhi , bernama CH.Tri Purwaningsih, yang dia nikahi di tahun 1970. Seorang perempuan yang benar-benar menempatkan diri sebagai “ garwa ”. Ya, garwa, sigaraning nyawa, belahan jiwa . Istri yang benar-benar bisa “mengerti”, dan mau mendampingi dalam susah maupun senang. Bahkan bisa “memahami” perjuangan dan idealisme yang kadang-kadang di mata orang lain dianggap sinthing”


Saya tahu perempuan macam itu oleh Gusti Allah “dicipta” sebagai edisi khusus dan terbatas. Saya bahkan ragu, apakah dijaman “saya” ini perempuan macam itu masih ada dan “exist”.
Tapi kadang-kadang saya merasa telah menemukan perempuan macam itu. Diakah itu..........?. Ah, seandainya saja spekulasi saya benar, maka saya tidak akan ragu untuk mengulang-ulang syair yang telah diajarkan Zarathustra :
” dihari-hari itu aku mencintai gadis-gadis timur dan kerajaan-kerajaan surga biru lainnya, yang di atasnya tidak ada awan-awan dan pikiran yang melayang-layang”



Gusti Ora Sare...Allah Tidak Tidur

Berapa usia bumi ini?. Sebagian teolog akan menjawab tanpa ragu “ 6000 tahun !”. Sedangkan para paleontog akan menjawab “ 4.500.000.000 tahun !”. Ada yang janggal?, wah ini sih bukan janggal lagi, tapi ini sudah sebuah paradok, nggak nyambung. Lalu kira-kira siapa yang benar?, teolog yang mendapat pengetahuan melalui sumber-sumber pewahyuan, oracle ataupun sekedar wangsit?. Ataukah para paleontolog yang mendapat pengertian dengan jalan penelitian dengan mengemukakan bukti-empiris yang masih saja lemah konsistensinya ?.

Bingung ?, ya sudah kita ganti saja tebak-tebakannya. Apa yang yang pertama diciptakan Tuhan di alam semasta ini ?. Ada yang bilang “ether” sebagai cikal bakal materi. Tanpa bermaksud lancang, saya kira yang pertama kali dicipta adalah ”matahari”. Ah , ngawur, tapi ya nggak masalah, ini kan tulisan fiktif!!. Wong, kitab suci sendiri yang bilang bahwa ”alam dicipta dalam enam hari”. Lalu bagaimana menghitung jumlah hari tanpa mendasarkannya dengan timbul dan tenggelamnya matahari ?. Apa kata ”hari” itu hanyalah sebuah kiasan untuk suatu ”fase” penciptaan saja?, bisa jadi. Lalu berapa durasi waktu tiap-tiap fase itu ?...sekali lagi tetap tak ( atau belum ) terjawab.

Itu baru dua pertanyaan ”sepele” tantang ciptaan-ciptaan Tuhan. Dan ternyata itu sudah cukup untuk meledakkan kepala. Tapi ada saja orang yang cumantaka, lancang bertanya tentang eksistensi dan asal-usul Tuhan. Bahkan ada yang saking nekatnya sampai mengarang buku dengan judul The History of God, Sejarah Tuhan. Saya malah mikir, terus bagaimana cara sang penulis itu melakukan riset sehingga mendapat bukti-bukti yang paripurna untuk mendukung gagasannya. Apakah dia lalu bertanya kepada tetangga-tetangga Tuhan?. Apa lalu dia mendapat family tree, pohon silsilah tentang leluhur-leluhur Tuhan ?. Naudzubillah……

Yang lain sok tahu tentang iradah, kekuasaan Tuhan. Mereka menyamakan free will, kebebasan berkehendak Tuhan dengan kebebasan berkehendak insani. Mereka pikir Tuhan mengatur alam ini dengan sebuah dalil ” suka-suka Dia”. Seperti anak-anak memainkan mainan, atau seperti dalang memainkan anak wayang. Apa mereka itu lupa, bahwa kebebasan berkehendak-Nya tentu dilandasi ke-Maha Bijaksanaan dan ke-Maha Luasan ilmu-Nya. Sedangkan kebebasan berkehendak manusia hanya dilandasi nafsu, kecerobohan dan kesempitan nalar mereka. Ah, manusia, ……bagaimana dari species macam ini bisa menjelma pribadi-pribadi unggul, para nabi dan orang suci yang integritas spiritualnya melebihi para malaikat sekalipun.

Tapi dunia ini tidak juga akan kekurangan manusia-manusia yang mengenal dan memahami Tuhan dengan kebeningan hati. Mereka mengenal Tuhan tanpa harus membaca bukunya Karren Amstrong ( - The History of God ). Tuhan mereka kenali atas dasar ayat-ayat kauniyah-Nya. Alam semesta yang tergelar di hadapan mereka dengan segala pesona dan misterinya. Dan alam yang mereka pahami berbeda dengan apa yang di pelajari oleh para ilmuwan yang telah memecah-mecah alam secara parsial atas nama spesialisasi sains. Mereka menerima alam sebagai etintas universal yang tak terpisahkan. Dimana setiap sisi dari yang kasat mata sampai yang tak terindera saling berhubungan dalam keteraturan masing-masing. Alam yang digerakkan dan diatur dengan sebuah tujuan.

Orang-orang seperti ini mengakui kekuasaan Tuhan tanpa harus mengetahui besarnya energi yang ditimbulkan dalam sebuah reaksi fusi atau pengaruh gravitasi intra bintang yang menyebabkan bintang-bintang dan benda langit tidak bertabrakan saat ber-thawaf pada orbit masing-masing. Mereka cukup melihat benih-benih padi yang mereka semi dalam 21 hari telah menumbuhkan tunas-tunas yang kelak mereka tanam dalam petak-petak sawah mereka yang kebanyakan tidak begitu luas. Mereka begitu mensyukuri jika 120 hari kemudian padi yang mereka tanam telah menumbuhkan bulir-bulir baru yang penuh padat berisi. Itulah kekuasaan Tuhan bagi mereka. Kekuasaan Tuhan yang menghidupi.

Mereka itu, petani-petani penggarap, pedagang kecil, buruh dan mungkin juga seniman-seniman jalanan. Mereka itu yang biasa kita kenal sebagai wong cilik, rakyat kecil. Ada-ada saja orang-orang itu bikin istilah. Ya sudah jelas dong , kalau tidak ”kecil” ya tidak bakalan jadi ”rakyat” mereka itu.

Tak usah malu mengakui mereka sebagai hamba-hamba yang paling dekat dengan Tuhan. Bagaimana tidak, wong sembahyang dan dzikir mereka itu benar-benar tidak kenal waktu. Tidak terbatas lima kali sehari, tapi bisa 24 jam full time. Dan itu beralasan juga, kalau tidak kepada Gusti Allah sendiri terus kepada siapa lagi mereka menggantungkan harapan. Wong satu-satunya yang mereka miliki mungkin ”tinggal” Tuhan semata. Yang lain ?, jangan tanya, semuanya sudah dirampok oleh sistem kapitalisme, postmodernisme dan neokolonialisme.

Demi menyelami kehidupan wong cilik ( padahal saya sendiri juga wong cilik, tapi wong cilik yang sok sastrais ) saya mateg aji Halimun dan menyambangi pasangan petani di lembah Sindoro yang sedang rolasan, rehat menikmati santap siang di gubug kecil mereka. Pak Karyotani dan istrinya sedang bergunjing tentang kahanan, keadaan yang tidak menentu akhir-akhir ini. Saya nguping dari balik koangan, payung lebar mereka yang terbuat dari slumpring bambu itu.:

>>><<<

” kok alam ini kayaknya semakin nggak bersahabat ya Bune?, sekarang dia itu jadi agak kemayu, susah di tebak dan semaunya sendiri. Yang harusnya hujan malah panas. Giliran jatahnya musim panas malah nggejeh, hujan terus...”

” alamnya sudah tua kali Pakne....”

” kamu itu ya ada-ada saja, wong alam kok disamakan sama manusia..mengenal umur segala..”

” lha sampeyan itu ya aneh, masak tanya masalah perubahan alam kok sama aku...wong Pakne ya tahu...aku ini nggak makan bangku sekolahan, ngertinya cuma masalah dapur, sumur dan........”

” dan apa Bune........ ? ”

” dan balik kemasalah dapur dan sumur lagi to yo...anggepmu itu apa...”

” terus gimana nasib wong cilik, para tani itu, kalau musim jadi tidak menentu seperti ini ?....”

” ya jangan dipikir terlalu dalam begitu Pakne, malah mumet, pusing nanti sampeyan.Gusti Allah ora sare, serahkan saja pada Dia. Sudah itu didahar¸ dimakan sayur lodehnya. Tak bikinin sambel trasi bakar kesukaanmu ini...kemarin aku diolehi-olehi trasi sama mBakyu Pariyem yang baru pulang menengok besannya di Cilacap...”

” wong yang salah merusak alam itu cuma segelintir orang je...... kok yang menanggung harus semuanya lho... coba Bune sambel trasinya itu...lomboknya kamu bakar juga to?, kurang sedep kalau nggak sekalian dibakar........”

” ini-ini, mana piringnya... jangan-jangan ini teguran dari Gusti Allah ya Pakne,? Orang-orang sekarang ini kan tambah serakah, tanpa mau etung, berhitung jika alam itu bisa duka, marah ...”

” lha iya, tapi yang layak didukani, dimarahi sama alam itu kan seharusnya orang-orang yang merusak itu to?. Yang membabat hutan, yang ngeduk menambang batu dan pasir di kali dan di ereng-ereng, tebing tanpa ampun itu..........wah sedep tenan sambel trasimu iki, coba kalau ada wader goreng...”

” ya ambil hikmahnya saja...idep-idep, hitung-hitung prihatin. Orang Jawa itu kan mesti gentur, rajin bertapa to. siapa tahu dengan dibarengi prihatin seperti ini Gusti Allah berkenan meluluskan ujian ini...”

” kok ya Maha Kreatif bener Dia itu, menguji umat-Nya dengan bermacam cara ..”

” huss..jangan sembrana, sembarangan ...tapi toh kita mesti yakin Pak, bahwa Gusti Allah ora sare, Dia selalu terjaga dan memberikan segala yang dibutuhkan kawula, hamba-Nya. Kita saja mungkin yang salah tanggap dan salah tampa, pikir kita ”keingginan” itulah ”kebutuhan” kita. Sedang menurut ilmu-Nya boleh jadi yang kita inginkan bukanlah yang kita butuhkan. Mata manusia itu kan sering sisip ing pandulu , salah dalam melihat persoalan to Pakne ?.”

” aku ini heran Bu ?, kok kamu itu kadang-kadang bisa jadi ngintelek juga lho ”

” alaah ngintelek apane,.... sudah ayo, itu dilanjutkan..kalau ngeciwis, ngomong terus kapan selesainya ini. Siapa tahu besok hujan, minggu depan kan sudah bisa mulai tandur, ditanam benih-benih itu..!!”

” mengko disik, sebentar to, tak habisin dulu ini...kamu itu senengnya kesusu, terburu-buru. Orang Jawa itu mesti alon waton kelakon, biar lambat asal ”nikmat” ....”

Setelah menyelesaikan makanannya yang ditutup dengan doa paling jujur dan ekspresif ”HHHaaaiikk” bersendawa , pak Karyotani kembali masuk ke ler-leran, lautan lumpur dengan membawa cangkulnya. Bu Karyotani mengikuti sesaat setelah membereskan bakulnya dengan membawakan caping yang agaknya dilupakan oleh sang suami :

” ini lho diagem, dipakai Pakne, tambah keling nanti sampeyan..”

Dan dimulailah kerja mereka. Waktu istirahat yang tidak lebih dari setengah jam itu telah mengembalikan tenaga dan semangat mereka. Pak Karyotani sibuk membuat galengan, pematang. Istrinya mencoba menguatkan pagar bambu yang mengelilingi persemaian benih padi itu dengan bilahan bambu yang baru. Sekali-kali mereka tertawa bareng, bercanda dan saling ledek. Ah, itulah bumbu rumah tangga yang membuat mereka semakin rekat saja.

Sawah mereka sebenarnya tidak benar-benar kering karena letaknya yang persis di sebelah kali Progo masih bisa terairi dengan mengalirkan air kali itu dengan pipa bambu. Tapi tetap saja mereka kuwatir, hujan yang tak kunjung turun sampai akhir November 2009 membuat mereka mangu-mangu, ragu untuk mulai menanam. Benih padi yang sudah berumur 11 hari itulah yang memaksa mereka untuk segera mulai menanamnya. Lagi-lagi mereka harus berjudi dengan alam. Mungkin mereka menang, bisa juga mereka kalah. Tapi mereka tetap percaya, bahwa Gusti Allah ora sare, di surga sana Dia pasti pirsa, melihat keringat dan usaha mereka.

Saya mengikuti mereka sampai kerumah, masih dengan aji Halimun saya agar mereka tidak melihat ( Tapi karena ini hanya sekedar cerita fiktif maka tiba-tiba saya memasuki dimensi paralel dan dengan menafikan waktu saya telah berada di pertengahan bulan Juni 2010 ). Mereka tinggal berdua. Anak laki-laki semata wayang mereka kini mbebara, merantau ke Jakarta setelah lulus dari sebuah STM pertanian di Temanggung.

Kira-kira jam setengah tujuh, pak Karyotani iseng menyalakan TV hitam putih merk Intel-Nenggala yang ada gambar Baladewanya itu. Dia memilih siaran berita disalah satu TV suasta. Betapa terkejutnya Pak Karyotani ketika dalam salah satu segmen mbak reporter yang ayu itu membacakan berita tentang rencana pemerintah yang akan menaikan Tarif Dasar Listrik. Dia langsung desperate, kalut dan memanggil istrinya yang waktu itu sedang menyiapkan makan malam :

” Aduh iki piye, gimana ini Bune ?...Bune...”

Bu Karyotani datang tergopoh-gopoh, tangan kirinya masih memegang piring basah, sedang tangan kanannya membawa serbet biru yang rupanya ( kalau tidak salah ) terbuat dari potongan handuk lama.

” ada apa sih Pakne, bikin kaget saja ...apa..apa ? ”

” itu berita itu lho...coba-coba ! “

“ apa sih, ada orang mati dipotong-potong lagi ?, apa ada perawan yang diperkosa sama paklik-nya ? .... ah, males aku melihat berita kayak gitu...”

“ bukan itu Bune, ini lebih gawat lagi. Lihat itu pemrentah mau menaikan listrik lagi. Waduh mana nyampai 10 persen ... ujung-ujungnya kan harga kebutuhan pokok naik lagi kan ini ?, kita kan belum beli pupuk je....”

Bu Karyotani yang segera mencium efek domino dari rencana kenaikan lisrtik itu menjadi tercenung. Mereka berdua sementara diam, menyimak penjelasan dari Tim menteri EKUIN yang tentu saja tak satupun yang mereka kenal. Para menteri itu bilang bahwa kenaikan listrik kali ini dilakukan dengan ”terpaksa” demi menyelamatkan anggaran yang telah disabotase oleh beban subsidi yang tak lagi tertanggungkan. Mereka juga meminta masyarakat tidak panik dan memastikan bahwa harga kebutuhan pokok tidak akan melonjak karena kenaikan ini. Tidak lupa bapak-ibu menteri itu minta partisipasi seluruh rakyat demi mengendalikan keadaan.

” Pakne, kok aku ini jadi bingung sama itung-itungannya orang-orang pintar di Jakarta itu. Memang menurut ngelmu gunggung-sungsun dan para-gapet yang bagai mana ya Pakne, yang bisa menyatakan kalau kenaikan harga listrik tidak bakal menaikkan harga-harga..."

” jelas itu ngelmu tingkat tinggi Bune, kita nggak bakalan mudeng, ngetungnya saja konon pake kompiyuter yang segede lemari itu ”

” apa ya nggak salah ya?.....dan itu coba dengar Pak!... Kita masih disuruh parsitipasi segala, njur istilah apalagi itu?. Padahal kita sudah di suruh mbayar PAR-SITI-SAPI sama Pak Sosial tiap pertemuan selapanan itu. 500 untuk sawah dan 750 untuk satu ekor sapi. Kok masih nggak cukup ya Pakne. Jan pemerintah itu kersane, maunya macem-macem ?

” yo salahmu sendiri to Bu, kamu dulu milih persiden dengan dasar paling ganteng saja....”

“ terus mau milih yang bagaimana Pak?, wong aku ya nggak kenal sama pak calon-calon itu dulu. Ya sudah tak pilih yang paling nggantheng saja, biar gambarnya pantes dipasang di ruang tamu...”

“ untung anakmu itu sudah lulus ya Bune, kalau belum apa ya bisa kita ngasih sangu tiap pagi buat ongkos bis?... wong subsidi kok ya pakai dicabut segala...... ”

” alaah mbok ya biarin saja Pakne, kita ngrundel sampai pegel juga nggak bakal an didengerin gerundelan kita. Gusti Allah ora sare, tidak dikasih subsidi sama pemrentah ya kita nyuwun, meminta subsidi sama sing Kuwoso, mosok ya nggak dikasih “

“sebentar Bune!! Kamu itu dari tadi ngomong Gusti Allah ora sare-Gusti Allah ora sare terus itu memang benar-benar YAKIN apa cuman ngayem-ayemi, mendinginkan hati to? “

“ waah ya piye ya. Dianggap yakin ya sebenarnya nggak begitu yakin, dibilang nggak yakin ya ... memang nggak yakin sih.......tapi memang ada pilihan lain selain “ yakin” itu Pak? ”


” tapi setidaknya kan ada alasan untuk pernyataan YAKIN-mu itu Bu .?”

” ya itu Pakne, paling tidak dengan pawitan, modal YAKIN itu kita lalu mempunyai pangarep-pangarep, PANGHARAPAN. Itu modalnya Pak..kalau sudah tidak punya pengharapan ya sudah, tumpes, musnah alasan kita untuk terus bertahan hidup. Dan kalau miturut Bu Nyai Norkalimah waktu pengajian Kemis-pon-nan itu, memang Allah itu akan ngudaneni, mengabulkan keinginan kita kalau disertai pengharapan yang tulus kok”

Pak Karyotani benar-benar gedeg-gedeg, kagum mendengar istrinya yang begitu micara, tangkas berolah kata. Seandainya saja Pak Karyotani adalah Zig Ziglar, dia pasti akan segera hampiri istrinya lalu mencium kening istrinya itu sambil berbisik manis ” oh My sugar baby....” . tapi karena dia cuma Pak Karyotani, maka dia cukup bilang :

” kamu hari ini kok jadi ceriwis banget to Bune ”

” wong sampeyan sendiri yang mancing-mancing aku buat ceriwis kok. tapi nggak apa-apa kan Pak sekali-kali ceriwis ?. Cuma didepan suami sendiri saja lho...”

” ya karepmu, terserah to . Tapi Bune, ini seumpama lho. Misalnya saja lalu Gusti Allah berbaik kati memberikan semua yang kau inginkan dan kamu disabda, ditakdirkan jadi orang yang mulya, kaya, apa kamu akan tetap ngrantes, kukuh dalam pengaharapan dan keyakinanmu itu? ”

”oalah Pak..Pak..sampeyan itu lho....yang namanya pengharapan dan keyakinan itu ya tantu saja tetap dan harus ada , cuma mungkin wujudnya menjadi lain. Kalau belum disembadani, dikabulkan, itu namanya PENGHARAPAN. Tapi ketika itu di kabulkan maka pengharapan itu berubah menjasi rasa SUKUR, terima kasih kepada Yang Kuasa.......... ”

Sekarang giliran saya yang terkesima. Oo s..jadi ini inti dari falsafah Gusti ora sare itu, jika ditimbang dalam sudut pandang insani, sebagai objek dari Sang Subjek Sejati. Ya..ya...ya, intinya adalah sebuah metamorfosa kontekstual, empan golek papan. Ada saatnya mengharap, ada saatnya mensyukuri, tergantung dimana posisi kita saat itu.

Ah.........saya tinggalkan Pak Karyotani yang masih tercengang dalam keheranan. ” bisa-bisanya lho”. Saya malah jadi penasaran buat melihat anggota keluarga yang lain. Entah anak macam apa yang bisa dihasilkan oleh pasangan yang begitu luar biasa itu.

Saya menemukan anak itu yang ternyata karyawan sebuah pabrik minuman di daerah Bekasi, Jawa-Barat. Saya segera menginsyafi tampang anak ini yang begitu pas untuk dikatakan sebagai potret umum buruh di Indonesia. Badan kurus, tinggi 165 cm dengan berat mungkin tak lebih dari 53 kg. Dari caranya jalan dapat saya simpulkan jika uang yang terselip di dompetnya tak lebih dari Rp.17.500 (awalnya Rp.20.000, lalu dikurangi angkos bis dan ”sedekah” buat orang ngamen ). Soal wajah lebih baik tidak usah saya ceritakan, nggak baik ngomongin keburukan orang lain.

Tapi yang sangat provokatif adalah buku yang di bawa waktu dia berangkat kerja pagi itu. Edaaaan, Das Kapital,Vol.1 dan seri kedua tetralogi Buru-nya Pramoedya, Anak Semua Bangsa. Saya ikuti dia sampai masuk ruangan kerjanya. Begitu sampai dia langsung menyalakan komputer dan membuka sebuah file yang ternyata berisi sebuah karangan ( entah tentang apa ) yang agaknya belum lengkap. Ah.... suka menulis juga anak ini... Saya mendekat dan coba cari tahu judul karangan itu. Karangan itu berjudul “ Gusti Ora Sare”.

Lho ?

Bebet, Bibit, Bobot...rethinking and rediscovery

“ secercah cahaya akan menyinari asal-usul dan sejarah kehidupan manusia “
--- Charles Darwin, dalam the Origin of Species----


Saya kadang merasa bahwa kebahagiaan tertinggi sebagai bagian dari masyarakat urban adalah saat berkesempatan menengok kampung halaman. Waktu reriungan, bercengkerama dengan seluruh keluarga dan saudara. Tapi kadang-kadang keinginan itu seakan berubah menjadi sebuah konsep yang abstrak belaka. Sang waktu, sang dana kadang begitu pelitnya untuk memberi sedikit kesempatan. Jadilah hal semacam itu menjelma sebagai sebuah privilise yang benar-benar mewah. Maka ketika kesempatan itu datang, tidak ada hal lain yang lebih bijaksana selain memanfaatkannya seefektif mungkin. Apalagi jika kesempatan memberi peluang hadirnya sanak, saudara lain dari ”pohon keluarga” yang kadang begitu rumit silsilahnya itu.

Dalam suasana kebersamaan semacam itu, kredo mangan ora mangan waton kumpul seakan menemukan sebuah titik pembenaran. Saudara yang dekat, yang jauh serasa menemukan ” ruh ” sebuah keluarga. Orang bilang semuanya sudah ” mathuk” dan ” gumathuk”, ibarat gelombang elektro-magnetic sudah ada semacam ” resonansi” diantara seluruh jaringan keluarga. Makanya jangan kaget jika dalam swasono seperti ini segalanya akan kelihatan begitu dekat dan hangat. Guyonan, obrolan bahkan rerasan pun akan menjadi begitu renyah dan seronok.

Tapi kadang-kadang isu yang dibahas dalam acara macam ini justru sangat men-descredit-kan, dan bahkan bisa memberikan semacam teror psikologis tertentu bagi saya.

” lha terus kapan iki Dik, .....aku dapat undangan mantu anakmu itu ? ” tanya Budhe saya yang waktu itu masih ”berkenan” menginap dirumah ( orang tua ) saya saat semua permili, saudara lain pulang kekandangnya masing-masing. Ya, setelah serangkaian acara arisan keluarga yang melelahkan tapi mengasyikan itu.

” ah embuh, nggak tahu itu mBakyu, wong anakmu lanang itu kayaknya nggak pernah serius memikirkan masalah itu ” ibu saya cuma tersenyum sembari ngukuti, membereskan beberapa stoples kue kering yang sudah kini ” hampa ” itu.
” piye, gimana Le ?, terus kapan ini ?., aku sudah kebelet pengin mborehi, mentasbih keponakan je’ ” seperti saya duga, second question adalah pada saya, sebagai objek penderita.

” waah.. lha ya tunggu saya siap dulu tho Budhe” jawab saya, jawaban klise tentu saja. Waktu itu saya sedang membolak-balik Max Havellar, novel kuno yang sejak saya terdampar di Jakarta tak pernah saya review lagi.

” allaah... terus yang mau kamu siapkan itu apa lagi. Umur ?, kerjaan ?...wong kayaknya udah siap betul kayak gitu kok “

” yang perlu dipersiapkan ya ” perasaan siap ” itu ....”

” yak, kok larinya terus keperasaan lho. Kalau menunggu itu, ya nggak ada siapnya Le......antepin saja, atau jangan-jangan Budhe-mu ini perlu turun tangan ?. Piye, perlu tak cariin apa ? ”

” ..boleh-boleh itu, ada kandidat apa ? ..”

” anggepmu itu Le, Enggaaak......gini, aku kan ketitipan salam dari Wuri, buat kamu .....wis ,, nggak usah pura-pura lupa sama temanmu gladen, latihan ”Gathotkoco Gandrung” itu ”

” sinten-sinten, siapa Budhe, Wuri ?...... bocah yang dulu jadi Sembodra itu ..”

” lha ya sapa meneh, siapa lagi ?, tapi jangan salah Le.. kalau dulu dia cuma maragani, memerankan Sembodra, oo.. sekarang dia sudah jadi Sembodra betulan. ”

” lho.. saestu, yang benar itu Budhe? , kayaknya nya dulu biasa saja dia itu ......”

” ... itu kan dulu..... bahkan sekarang dia itu ya Le, hampir lulus Sanata Dharma, kalau kamu lihat dia sekarang, wis aku berani taruhan kamu pasti langsung perlip deh...! ”

” apa Budhe,..... verliefd, jatuh cinta ?........ ah ya belum karuwan !.....”

Wuri, teman lama, tetangga rumah Budhe saya di Trihanggo, Gamping, Sleman itu?. Teman dulu waktu di Surodikaran bareng latihan nari dan mocopatan. Tapi masak sih dia sudah mau lulus dari Sanata Dharma ?. Kayaknya baru kemarin kami tukar-tukaran ucapan selamat lulusan. Ah, yang namanya waktu. Dan yang namanya nasib itu lho, kok ya membawa peruntungan yang berbeda pula. Dia sebentar lagi wisuda dan entah dapat pekerjaan apa. Sedang saya mesti menjalani ritual harian mengamati makhluk ”sialan” bernama bakteri, dengan gaji cuma beberapa strip diatas UMR. Tapi untung, saya masih bisa curi-curi waktu buat ngarang tulisan yang penuh ”bualan” dan tanpa mutu seprti ini.

” he,he,he.....malah ngalamun, ..hayoo…penasaran tho, penasaran …wiss..serahkan
sama Budhe saja.......”

>>>><<<<

Ah, pernikahan dengan apa saya mesti memaknai kata yang begitu angker dan sakral ini. Sebuah kata yang mungkin lebih rumit dari silogisme Aristolles ataupun Negeri Utopia-nya Plato. Tentu saja saya bisa mengambil jalan mudah dengan menyimpulkan secara aprioris, bahwa nikah adalah ibadah. Tapi jujur saya tidak siap mengantisipasi kemungkinan buruk dari kesimpulan ini.

Lho, iya kan ?. Sudah jadi kebiasaan bila kita mendasarkan sesuatu dengan dalih ibadah kita akan terjebak dengan apa yang disebut oleh Peter Stordijk sebagai ”akal yang sinis ”, sebuah kynisme. Contohnya, apa yang terjadi dengan sembahyang kita?. Toh selama ini kita melakukan sembahyang tanpa sebuah keyakinan bahwa sembahyang akan mengubah perilaku kita. Setali dua uang dengan doa kita, kita berdoa tanpa keyakinan apapun bahwa doa kita akan dikabulkan. Sama seperti saat kita memilih wakil rakyat, kita tahu mereka tidak akan mengubah keadaan atau setidaknya mewakili aspirasi kita, tapi toh kita tetap saja mendatangi tempat pemilihan dan mencoblos mereka. Intinya ”kita tahu apa yang kita lakukan itu sia-sia, tapi kita tetap melakukannya”. Jadi begitulah kynisme. Coba bayangkan jika hal seperti ini terjadi pada sebuah pernikahan, betapa terasa hampa dan tanpa taste pernikahan macam itu.

Lalu saya melihat keluarga Pakdhe-Budhe saya itu. Sebuah keluarga yang bisa dikatakan ”relatif” bahagia. Dikaruniai tiga orang putri yang begitu manis dan mangun miturut, berbakti. Kalau saya boleh membandingkan mereka itu sudah mirip keluarga Mandaraka dijaman Mahabharata dulu. Seperti Prabu Salya yang dikarunia tiga putri Erawati, Surtikanti dan Banowati. Walaupun tentu saja ketiga mbakyu sepupu saya itu tidak dipersunting ksatria segagah Kakrasana, Suryatmaja ataupun Kurupati, tapi mereka telah mendapatkan suami yang mampu membesarkan hati mereka. Atau setidaknya suami-suami mereka itu masih mau memakan nasi , bukan pemakan buku.

Kalau sudah begitu saya menjadi semakin trenyuh, prihatin melihat kedua orang tua saya. Wong dikasih anak laki-laki semata wayang saja kok tidak jelas jluntrung dan arahnya. Kalau dilihat secara morfologis sih masih bisa dimasukan golongan Homo sapiens seperti yang lainnya. Tapi entah dalam fase perkembangan somatis mana mengalami mutasi-genetic, sehingga tumbuh menjadi varian aneh dengan tingkat agitasi yang sudah menghawatirkan. Tapi yang biarin saja, wong setiap orang itu memiliki bibit, bebet dan bobot sendiri. Ya, bibit, bebet dan bobot sebuah falsafah yang sejak jaman purwa dulu sudah dijadikan standar untuk mengkalibrasi ”tingkat kepantasan” dalam mencari teman hidup.

Sekarang saya coba memberi pengertian teknis tentang bibit, bebet dan bobot ini. Dan ini memang benar-benar teknis, karena demi mencari arti kata ini saya mesti surfing di Google.

Bibit, secara harfiah berarti benih, asal-usul. Inilah faktor genetis yang mesti dirunut “dari mana “ pribadi itu berasal, siapa leluhur dan orang tuanya. Mungkin ini adalah konsekuensi logis dari pepatah Jawa, kacang ora ninggal lanjaran, bahwa buah tak- jatuh jauh dari pohonnya. Bagaimanapun sang anak diharapkan mewarisi keluhuran dan keperwiraan orang tua.

Bebet,berarti jenis. Tipe seperti apa pribadi itu?. Bagaimana lingkungan tampat dia tumbuh dan berkembang ?. Seberapa tinggi statusnya dalam lingkungan masyarakat?. Disinilah kewibawaan dan ke-jatmika-an diperhitungkan.

Bobot, berarti nilai pribadi. Melipuiti guna,wirya dan winasis, kepintaran, kekayaan dan keterampilan. Singkatnya semua nilai pribadi “unggul” yang diharapkan bisa digunakan untuk menjaga bangunan keluarga, baik secara finansial maupun sosial.

Ya, itulah orang Jawa. Segalanya mesti terukur terencana. Dan mengenai masalah ini tentu saja urusannya bukan setuju atau tidak setuju tapi bisa atau tidak bisa. Jujur ya, meskipun saya ini termasuk penganut Pan Javanisme yang menginginkan diberlakukannya syariat ke-Jawa-an ( bukan Kejawen ) di bekas imperium Mataram, toh saya tidak sependapat sepenuhnya dengan falsafah bibit, bebet, bobot ini. Bagi saya, ini terlalu PRAGMATIS.
Bahkan kalau mau lebih melihat kedalam, ini malah mirip konsep Lebenstraum, ruang hidup, yang dicanangkan Adolf Hitler ( maaf eyang Sis, bukannya saya “murtad” dari falsafah “romantisme kultural Jawa” ini ya ! ). Ingatkan ketika Hitler membuat semacam niche, relung habitat yang khusus berisi ras-ras unggul bangsa Arya dengan tujuan memurnikan keturunan Arya agar bisa menguasai dunia?. Ah, tapi ini kayaknya kok pendapat yang terlalu fasis ya?. Tapi memang kenyataanya budaya Jawa ini dalam tataran tertentu ada sisi fasis-nya juga !.
Buktinya?, itu serat Tripama karangan KGPAA. Mangkunegara IV yang sering dijadikan standar pembelajaran moral masyarakat Jawa. Coba, kurang fasis apa ?. Suwanda harus membunuh Sukasarana, adik sekaligus orang yang telah membantunya mendapat jabatan perdana menteri di Maespati. Basukarna mesti menentang perintah Kunti dan melawan adik-adiknya. Lalu Kumbakarna, ksatria-raksasa yang begitu lembut hati itu mesti mengorbankan nuraninya. Semuanya atas dasar ”dogma” nasionalisme, yang sering dimanfaatkan oleh segelintir orang yang sebenarnya tidak mempunyai perasaan nasionalisme sedikitpun. Ujung-ujungnya kynisme lagi, ”mereka tahu itu salah, tapi mereka tidak kuasa untuk mengingkarinya”.
Jadi jika kita terpaksa memakai falsafah itu, saya punya usul untuk melakukan pemahaman ulang, sebuah rethinking. Maksudnya jelas, agar disatu sisi kita tidak kuwalat, karena mengesampingkan budaya leluhur dan disisi lain kita masih bisa menjaga eksistensi sebagai pribadi dengan ”kemerdekaan” moral.
Dan ngomong-ngomong soal ”kemerdekaan” pribadi, itu kok mirip kata teman saya. Gadis Minahasa yang manis seribu-satu malam, senior saya di FBBJ yang kini aktif di ABM Bekasi itu. Suatu kali dia ngotot:
” Ah, nggak mungkin itu Bung !, aku ini perempuan yang ”masih merdeka”.....”
Baru belakangan saya ketahui jika yang dia maksud dengan ”masih merdeka” itu adalah ”belum dijajah”. Tapi yang masih belum saya tahu adalah cara saya memaknai kata ”dijajah” itu. Mestikah secara ”harfiah” ( yang berarti.....)?, ataukah mesti secara ”metaforis” ( yang berarti....)? . Kadang memang susah bakecek, berdebat dengan orang yang tiap hari berjibaku dengan logika hukum. Ok....Dicta, enjoy your ”incidental” freedom !!!
Yang jadi masalah adalah result setelah proses rethinking itu. Apa yang bisa kita simpulkan?. Dapatkah kita menemukan pemahaman baru bagi falsafah bibit, bebet dan bobot itu?. Seandainya kita telah menemukannya maka kita telah mengakhirinya dengan sebuah rediscovery. Tapi apa?.
Entahlah, saya juga buntu dalam hal ini. Saya hanya bisa menemukan sedikit ”jalan keluar” yang sebenarnya hanyalah ”akal-akalan” saja. Bagi saya falsafah itu setidaknya menghindarkan kita dari sentimen-sentimen melankolis dan romantisme rendahan. Agar kita sedikit rasional dengan mempergunakan akal sehat kita. Agar kita tidak terlalu emosional dengan pasrah-bongkokan terhadap perasaan kita. Karena apa?. Karena ketika memutuskan sebuah pernikahan, maka sebenarnya kita tidak hanya sedang ”mengawinkan” dua pribadi saja. Disana kedua keluarga juga ikut ”kawin”, dua tujuan juga ikut disatukan dan dua rencana sedang coba di sikronkan. Sehingga dalam konteks ini falsafah bibit,bobot dan bebet masih belum kadaluwarsa untuk dijadikan sebuah pertimbangan. Mungkin anda akan bilang bahwa ”pertimbangan” disini adalah pertimbangan yang pragmatis juga. Tapi setidaknya konsentrasi pragmatisme-nya masih lebih ”encer” dibanding pengertian konservatif yang dianut selama ini. Pragmatisme sempit yang hanya ngesti tuwuh, bertujuan tunggal demi proses mempertahankan dan memperbaiki keturunan saja.
>>>>><<<<<

” piye, gimana?.......kalau sudah begitu apalagi yang kamu tunggu? ”
” nggak tahu lah Budhe,........kok saya masih gamang saja jika melakukannya tanpa sebuah perencanaan dan persiapan yang matang...”
” ee.alllah, Le.. Le ....tak kasih tahu ya cah bagus........apa kamu kira keberhasilan dalam membangun keluarga itu seratus persen ditentukan oleh persiapan-persiapan itu?..we. kecele kamu kalau berpikiran seperti itu. Yang benar itu ya Le, keberhasilan itu justru ditentukan oleh “kebijaksanaan” dan keberanian kamu dalam menentukan dan mengambil pilihan-pilihan yang muncul dalam kehidupan sehari-hari....... “
Itulah pendapat orang tua, yang selalu saya hargai karena kesenioran mereka. Dan memang begitulah kedaannya. Pada titik tertentu saya sarujuk, sependapat. Tapi yang jadi masalah adalah apa yang disebut dengan “pilihan-pilihan” itu. Bagaimana jika “pilihan-pilihan” yang dihadirkan itu begitu terbatas?. Atau kalau mau lebih sadis lagi, bagaimana kalau ternyata tidak ada “pilihan” sama sekali?. Hayyoo... piye?. Apakah kita mesti terjebak dalam kynisme lagi dengan berdalih, ” lha piye, aku tidak punya pilihan lain kok!!!”.
Kalau pertanyaannya sudah menjadi begitu filosofis seperti ini kok saya ragu untuk bisa memberi penjelasan. Bahkan Budhe saya yang sudah berpengalaman punya hajat mantu tiga kali ditambah pengalaman 25 tahun jualan kain di pasar Jombor dan Beringharjo pun tidak akan mampu mewedar sebuah kesimpulan yang paripurna. Ujung-ujung nya saya mesti kembali kepada pendapat Nietzche yang agak optimis :
Kita tidak hanya mendambakan proses bertumbuh kesamping, tapi juga keatas, dan indahnya taman perkawinan akan membantumu mewujudkannya



juli....
untuk "kau"...smg kita dikukuhkan....





























































wayang Kulit Kampung Riwayatmu Kini




Mungkin anda sempat nonton pagelaran wayang kulit yang sering ditayangkan di TV atau dalam tanggapan instansi pemerintah dan pejabat-pejabatnya. Di sana kita akan disuguhi sebuah seni pertunjukan yang dilihat dari segi manapun bener-bener pro. Dimulai dari tata panggung, sound system dan visual effect yang benar-benar tertata. Satu set gamelan dan wayang segelar sepapan yang bolehnya begitu mengkilap karya empu-empu ternama diseantero tanah Jawa. Dalang yang dihadirkanpun tentu saja sudah kesohor dengan masing-masing senjata ampuhnya. Ada yang mengandalkan suluk, sabetan, anta wacana, atau malah ke-gendeng-an dan ke-edanan-nya. Belum lagi barisan pesinden dan penyanyi yang menghiasi sisi kanan panggung laksana barisan pager ayu itu. Sanggulnya, kebayanya, nyampingannya, riasannya tidak lagi produk self improvement sang pesinden sendiri, tapi sudah hasil kreasi para penata rias dan penata busana yang tidak kalah hebat dengan yang biasa menangani para bintang sinetron. Lalu penontonnya dan tamu undangan yang ayu-ayu, yang nggantheng-nggantheng itu duduk demes pada barisan kursi yang tertata rapi. Sambil mengumbar senyum dan sapa, mereka menikmati hidangan yang mbanyu-mili dari catering terbaik di kota. Kalau sudah begitu, hati saya bolehnya mongkog dan bangga. Begitu dihargai dan dimulyake budaya saya itu. Wisss…jan...

Tapi coba anda tengok pagelaran wayang kulit dikampung-kampung, pada acara bersih dusun atau ruwatan bumi. Di panggung sederhana yang sebagian besar konstruksinya hanya dari batangan bambu yang merupakan produk swadaya dan swakarya seluruh warga. Di sana kita akan menemukan suasana yang berbeda. Mungkin sama-sama gayeng, tapi gayengnya itu kok ya tetap beda juga. Gayengnya itu ya, jan gayeng kelas rakyat dan kaum grass-root betul. Suasannya lebih sederhana tapi begitu seronok, lebih terbuka tapi tentu saja lebih jujur.

Tempo hari dengan sisa cuti dan sisa gaji yang selalu cupet saya bela-belain buat pulang kampung. Gara-garanya ya kepengin nonton wayang kulit itu (sebenarnya ada juga urusan lain, tapi……). Wis, pokoknya waktu itu saya sudah bertekad untuk nonton sampai bubaran. Pada akhirnya saya menepati kaul itu, meski harus menahan kantuk lantaran malam sebelumnya di perjalanan saya sama sekali tidak bisa tidur.

Entah kebetulan apa takdir, pas pulang itu di mobil saya bersebelahan duduk sama seorang teoretisi Marxist betulan, yang entah dengan motifasi apa kok berani-beraninya menantang saya buat berdiskusi. Jadilah saya semalaman ngobrol ngalor- ngidul lalu ngetan bali ngulon dengan cewek asal Wedi, Klaten itu. Eh.. tahunya, ternyata dia itu anggota aktif sebuah organ Serikat Buruh di kawasan industri sebelah. Pantes, ngomongnya begitu tas-tes dan micara. Pengetahuannya tentang isu-isu kontemporer dan UU Perburuhan beberapa tingkat di atas saya. Orangnya mungkin kombinasi antara Widyawati waktu masih muda dulu dengan Anita Rodick. Lumayan charming, pinter dan luwes, pokoknya khas Solo banget deh. Sepanjang diskusi saya diam-diam berdoa “ ...mudah-mudahan saya tidak kesrimpet selendang puteri Solo...”. Saya lalu coba membandingkan dia sama "dia" ,hehe......susah juga tenyata.

Ketika pagelaran itu dimulai sekitar jam 21:30, saya dapat melihat ombyaking kawula yang begitu antusiasnya. Malam itu kebetulan terang bulan, agak menyalahi musim juga sebenarnya, wong ini baru kesanga yang seharusnya lagi getol-getolnya hujan. Saya nggak tahu apa ini efek dari ritual melempar sapu lidi yang ditancapi cabe merah, sore itu oleh Eyang Sis.

Saya hanya bisa tersenyum dan merasa marem melihat seluruh ekspresi itu. Ya, ruwatan, sedekah bumi apalah artinya bagi kaum sub-urban yang mendiami belantara metropolis macam Jakarta. Tapi bagi kami, yang besar dan hidup dari berkah sang bumi ritual ini adalah wujud rasa syukur dan harapan. Syukur karena Dewi Sri masih begitu penuh kasih mencukupi sandang, pangan dan papan bagi semuanya. Dan harapan semoga segala kelimpahan ini selalu lestari, dan semua kawula selalu diberkahi dengan keselamatan, kerukunan dan kerendahan hati. Makanya diadakan pagelaran wayang kulit, sebagai sarana refleksi dan pembelajaran tapi juga hiburan. Itu nggak salah juga, wong wayang kulit memang sudah diakui sebagai world heritage yang sarat pesan moral dan etika.

Tepat juga lakon Pertapan Kembangsore yang dibawakan oleh Ki Sukoco, dalang asal Kasihan, mBantul itu. Saya tahu lakon itu adalah cerita karangan yang jelas tidak ada dalam pakem pewayangan baik Mahabharata atau Ramayana. Bagi saya itu adalah sebuah retorica mockery (guyonan), yang mencoba menjungkir-balikan strata dan kasta sosial. Bagaimana bisa seorang Petruk yang adalah seorang rakyat kecil dan simbol akar rumput serta masayarakat tertindas tiba-tiba bisa madeg pandhito. Bukan sembarang pandhito, tapi dia adalah Sang Begawan Selowondo yang mandegani Pertapan Kembangsore. Dan muridnya, semua putra dan sentana Pendawa seperti Antasena, Gathotkaca bahkan Rsi Mayangkara. Para Kurawa-pun bersikeras untuk memboyong sang Begawan yang mengakibatkan konflik antara kedua pihak. Saya lalu mengambil pelajajaran bahwa ada saatnya untuk para pemimpin buat mendengar, belajar dan berguru kepada rakyat kecil. Bagaimanapun, rakyat adalah sumber kedaulatan dan kebanaran. “Suara rakyat adalah suara Tuhan”.

Lalu saya lihat para wiyaga, punggawa orkestra gamelan itu. Ah, lagi-lagi saya dibuat terpesona oleh semangat dan rasa seni mereka. Mereka yang sudah lebih dari separuh baya bahkan manula itu masih saja terampil ninthing notasi laras gamelan. Masih tersisa legenda hidup dunia per-wiyaga-an Temanggung Utara macam mBah Ndari ( gender ), Romo Suroto ( salentem ), Pak Sugeng ( rebab ) dan Pak Budi ( kendang ). Dengan penuh gusto mereka membimbing punggawa perangkat gamelan lain kedalam berbagai ladrangan, lancaran dan lelegon yang mengalun dalam laras pelog dan selendro. Saya masih tidak habis pikir bagaimana tangan-tangan kekar mereka yang setiap hari digunakan bekerja disawah itu tiba-tiba bisa menjelma menjadi begitu luwes dan anggun membawakan gending-gending Jawa yang aduhai lembutnya itu. Saya baru yakin bahwa rasa seni itu tidak terletak pada tangan-tangan mereka, tapi pada hati dan idealisme mereka sebagai orang Jawa. Dan nanti saat fragmen limbukan dan goro-goro dimulai mereka akan berkolaborasi dengan apiknya dengan seperangkat organ, bas gitar, ketipung dan drum dengan membawakan lagu-lagu langgam dan campur sari.

Bagi orang kebanyakan, limbukan dan goro-goro jelas sebuah fragmen yang ditunggu-tunggu. Disitulah wayang benar-benar bermakna sebagai sebuah hiburan. Semua pesinden, penyanyi dan pelawak tumplek-blek di fragmen ini. Tapi bagi saya justru sebaliknya, karena tentu saja saya tidak termasuk orang kebanyakan. Dalam hal acara nonton wayang saya termasuk seorang ortodok-konservatifl betul. Goro-goro dan limbukan bagi saya adalah sebuah fragmen tengara alias pertanda. Limbukan adalah pertanda bahwa bangunan cerita telah dimulai yang ditandai dengan fragmen jejer sebelumnya. Sedangkan goro-goro adalah pertanda titik balik dari sebuah puncak cerita. Disini cerita mulai masuk babak penyelesaian, yang ditandai dengan perang bambangan-cakil sebagai simbol pertarungan antara anasir jahat dengan simbol kehalusan budi dan kebenaran.

Tapi entah kenapa kemudian saya lalu melepaskan diri dari paham konservative yang saya anut itu. Saya lalu jadi mengakui bahwa limbukan dan goro-goro adalah sebuah fragmen sosial. Fragmen dimana tokoh-tokoh wong cilik menjadi inti adegan. Fragmen dimana wong cilik berhak untuk bersuara, mengeluarkan unek-unek dan mengemukakan pendapat. Saat dimana wong cilik merajut harapan . Ah, ternyata demokrasi juga telah merasuki dunia pewayangan.

Dan memang kemudian saya menjadi bagian dari orang kebanyakan itu. Wong kemudian setelah para penyanyi campur sari dan dangdut itu keluar saya maju ke panggung juga. Dan lalu saya melihat 5 biduan (kampung) itu dengan versi kostum mereka sendiri ( 3 berkebaya modern, 2 berpakaian terlalu ketat ). Saya kok tahu-tahu lalu bisa menikmati fragmen campur aduk yang dulu saya kritik sebagai fragmen yang merusak pakem pewayangan. Tahu-tahu saya jadi merasa enjoy dan sreg saja melihat para penyanyi yang kemudian bernyanyi sambil berdiri dan bergoyang itu ( di wayang ortodok nggak bakalan ada adegan itu) . Ah, tahunya kok ya asyik juga.

Jangan-jangan selama ini saya sudah melewatkan sisi lain dari apa yang disebut dengan seni. Bagaimana tidak, wong seni itu ternyata seni tidak melulu berarti pencarian tapi juga pelepasan. Seni tidak hanya berupa senyuman misterius ”Monalisa Florentine del Giocondo”-nya Da Vinci tapi bisa berupa detak pinggul dan senyum nakal sang penyanyi. Seni tidak selalu berupa ”Requiem”-nya Wolfgang Amadeus Mozart tapi kadang-kadang berujud versi dangdut dari ” Kemesraan” dan ”Cucak rowo”. Dan bahasa seni kadang memang harus meninggalkan dialog-dialog wuah-nya Dionysus untuk kemudian mengumandangakan dagelan ( agak ) jorok-nya Ahmad Muji. Lha wong seni–nya orang kampung kok. Kalau sudah begitu saya mesti membagi ”sikap seni” saya. Kalau lagi membaca naskah dramanya Shakespeare atau melihat kareografinya Candralekha saya akan menjadi pengamat seni yang serius. Tapi kalau sudah kepalang tanggung dengan seni cekeremen ini saya sudah bersiap untuk bermetamorphosis menjadi penonton kampungan saja. Wong dua-duanya terbukti memberikan manfaat juga kok. Kedua-duanya jelas berdosa, tapi saya masih susah mencari tahu mana yang ”kadar” dosanya lebih kecil.

Kok saya lalu jadi ngungun, merenung, kenapa sebuah dosa seakan-akan kehilangan daya terornya?, sehingga sering kali saya kehilangan rasa takut buat melakukannya. Dilain pihak, kenapa sebuah pahala mesti kehilangan daya tariknya?, sehingga kadang saya kehilangan semangat buat mengejarnya. Jangan-jangan benar juga kata Bertrand Russel saat nyandra, menilai, logika filsafatnya John Locke. Bahwa derita akan kehilangan daya terornya dan kebahagiaan akan kehilangan daya tariknya jika rentang waktu untuk mendapatkannya cenderung lama. Dan nyatanya memang hari pembalasan dan alam ngaherat itu masih lama datangnya, jadi ya masih ada waktu untuk suatu saat nanti buat bertaubat. Wah.. dosa dan pahala ternyata tidak melulu sebuah logika spiritual, tapi juga fenomena fisika yang terikat oleh dimensi waktu segala.

Lalu saya melihat para penonton yang berjubel, empet-empetan disekitar panggung itu. E...lha tahunya kok ya bermacam-macam juga mereka itu. Ada simbah-simbah yang kakung, yang putri. Mereka menonton dipinggir timur panggung, yang disela-sela kekeh tawa mereka kadanng-kadang diselingi sebuah gerakan reflek untuk membenarkan letak rokok klobot dan susur mereka.

Lalu ibu-ibu muda yang menonton sambil menimang anak-anak balita mereka, yang kadang-kadang tentu saja diributkan oleh tingkah rewel anak-anak mereka untuk meminta jajan atau mainan. Tapi mereka nggak marah itu mengadapai rewelan yang kadang-kadang sangat tidak realistis itu, hanya sedikit sewot barangkali. Wong namanya anak lho, tentu saja segala sesuatunya selalu benar dan bagus dimata orang tuanya. Mereka adalah kencana wingka, kata ibu saya dulu.

Saya juga dibuat heran oleh bapak-bapak yang kebanyakan menonton di deretan kursi undangan atau lesehan di teras rumah Pak Kadus itu, kok ya masih setianya mereka itu menyisihkan tenaga mereka setelah seharian bekerja di sawah ?. Dari mereka lamat-lamat saya mendengar obrolan- obrolan begitu seronok dan hangat. Sekali–sekali mereka menghisap rokok kretek yang dibagikan oleh panitia ( termasuk saya ). Tapi dalam suasana yang dingin- berangin begini tentu saja rokok mereka kadang-kadang mati juga. Maka sekali-sekali saya akan melihat kilatan korek bensin yang dipantik lalu disulutkan kepada rokok kretek mereka itu, kemudian lagi-lagi bulll..... nyamleng tenan kelihatannya.

Tapi yang paling menarik tentu saja nyawang, melihat penonton yang masih pemuda dan pemudi itu. Kok mereka itu malah mencari tempat menonton yang agak jauh ( dan agak gelap ) lho. Apa ya kelihatan nonton ditempat seperti itu?. Tapi saya yakin akan penghayatan mereka terhadap cerita yang disajikan. Buktinya kadang mereka sampai harus remet-remetan tangan karena mungkin saking sedihnya melihat alur cerita. Dan kadang-kadang lagi mereka saling berbisik-bisik lirih dan intim, yang mungkin saja sedang berdiskusi dan membahas adegan yang ditampilkan. Mungkin saja tho ? lha ya siapa tahu ?. Lagi-lagi saya dibuat trenyuh oleh perasaan seni mereka yang begitu komplek dan beranaka warna itu. Makanya siapa bilang orang kampung tidak memiliki penghayatan terhadap seni ?.

Pukul 05.30 pagelaran selesai. Akhir cerita ditandai dengan tarian wayang golek. Konon itu sebagai perlambang agar kita agar kita bersedia nggoleki, mencari, inti sari dari cerita yang disajikan. Yang baik katanya mesti diambil, lalu yang buruk kita gembol rapat-rapat untuk kemudian kita buang seiring perjalanan hidup dan pengalaman kita.

Semuanya menebar sesanti dan pangastuti untuk dapat memperoleh hikmah dikemudian hari. Lalu saya coba merenungkan, apa yang saya dapat dari pagelaran kali ini?. Ah, ternyata saya kemudian menyadari bahwa saya dan semua yang mangayu-bagya dalam pagelaran itu tak lebih hanya sekedar merajut harap. Berharap agar kebersamaan ini selalu terjaga, berharap agar sekali-sekali kita mengingat diri dan akar tempat kita dilahirkan. Berharap agar selalu ingat bahwa kehidupan tak ubahnya pagelaran wayang, ada “Sang Dalang Sejati” yang mengatur semua alur kehidupan. Ada “sang wayang pribadi” dengan segala keterbatasannya. Ada “pakem cerita” yang mesti dijalani.


“TANCEP KAYON”



Temanggung, beberapa waktu lalu



((post script: bersamamu mengapresiasi keanggunan dan keagungan warisan yang lampau... sekali-sekali menatapmu dari sudut pandangku di samping. sudut pandang, yang aku pelajari dari kata-kata Romo Mangunwijaya sbg "sudut pandang profile". hahaha... ya, seperti figur-figur wayang di hadapan kita itu. yang menampilkan sebuah citra dan simbolisme terjujur. rasa barang kali sama, seandainya ini adalah "Burung Burung Manyar" maka aku seperti Setadewa yang memandang Larasati dalam sudut pandang yang sama dalam "aula hikmah" dengan segala kekagumannya yang fantatif. tapi toh aku lebih beruntung juga, sebab hadirmu adalah nyata.... dalam "citra"mu itu yang siap menampung setiap karakter jagat pakeliran, Sinta, Srikandhi, Sumbadra, Kunthi, Anjani, Gendari, Durga..bahkan juga Limbuk dan Cangik sekaligus dalam waktu yg bebarengan...satu kesatuan yang utuh, satu kesatuan citra yang "ayu"... ))