kadang seorang Jenderal tidak harus mematuhi perintah Kaisar
dia hanya boleh berperang ketika kemenangan sudah pasti di genggaman
--- Sun Tzu dalam the Art of War
---- Prawacana -----
Three Kingdom, resurrection of the dragon. Film ini berlatar Tiongkok di kurun tahun 220 M – 265 M ketika dinasti Han yang dibangun Liu Bang terpecah menjadi tiga negara. Wei yang terkuat disatu sisi. Dan persekutuan Wu dan Shu di pihak lain.
Wei dipimpin oleh Cao Cao yang memerintah atas nama raja muda dinasti Han. Wu kala itu diperintah oleh Sun Quan, keturunan Sun Tzu yang sejak masa sebelum Han menguasai daerah lembah sungai Yang-Tse. Sedangkan Shu, yang terlemah diantara ketiga kerajaan itu dipimpin oleh Liu Bei keturunan ningrat kerajaan Han.
Liu Bei sendiri bukanlah orang yang istimewa. Dia tidak begitu berbakat dan cenderung bersahaja. Tapi dia dicintai oleh rakyat Shu sebagai penguasa yang adil. Sikap Liu selama terjadi perang diantara ketiga negara itu cenderung labil dan terbelah. Dia selalu jatuh dalam kegamangan dan meraba dalam mengambil setiap keputusan. Sikapnya tehadap penderiataan rakyatnya kadang berubah menjadi perasaan sentimentil dengan menganggap dirinya sebgai pangkal penderitaan bagi rakyatnya.
Inilah masa yang paling menarik bagi sejarah Tiongkok kuno. Pada zaman ini lahir tokoh-tokoh militer dan ahli perang terhebat. Mereka, Cao sendiri yang memimpin armada Wei dan Zhuge Liang, penasihat militer bagi Liu Bei yang telah mencerahkan penguasa Shu dari kegamangan sikapnya dalam menghadapi Cao di utara. Lewat Zhuge juga, Shu kemudian dapat menjalin aliansi dengan Wu untuk bersama-sama menghadapi Wei.
Cao seorang yang sangat disiplin, berbakat dan terpelajar. Dia adalah master dalam Seni Perang. Seni Perang karangan Sun Tzu untuk pertama kali di-edit oleh perdana menteri ini. Tapi dia juga orang yang angkuh dalam kepemimpinan. Dia tidak segan untuk memancung setiap orang yang dia curigai akan mengancam eksistensinya. Dialah mungkin satu-satunya orang dalam sejarah Tiongkok yang paling dipuji sekaligus dicaci. Moto hidupnya sangat mashur :
“ lebih baik aku mengkhianati seluruh dunia dari pada aku dapati dunia mengkhianati aku’’
Zhuge Liang adalah pribadi yang berbeda. Dia bukan ahli pedang ataupun master kungfu. Tapi dia dianugerahi kebijaksanaan dan pengetahuan yang mendalam dalam strategi militer. Dia belajar strategi melalui karya-karya klasik baik yang di tulis Sun Tzu, Sun Pin dan Wang Li yang dikenal dengan Master of Demon Valley, Penguasa Lembah Iblis. Selain itu Zhuge adalah ahli dalam pengetahuan cuaca, geografi dan masalah topologi tanah. Dia yang tinggal dan hidup di daerah lembah Yang-Tze mungkin adalah orang yang paling mengenal kedaan alam daerah itu pada masanya.
Pertaruhan kedua ahli itu terjadi dalam Pertempuran Tebing Merah ( sayang dalam film ini tak seujung kukupun disinggung ). Dimana Cao dengan 200.000 tentaranya saat menyeberangi Yang-Tze harus takluk dibawah siasat ”angin timur” Zhuge dan kalah dengan hanya hanya menyisakan 28 orang. Pada titik ini perimbangan kekuatan Wei, Wu dan Shu mulai terjadi.
Kembali ke Three Kingdom. Film ini cenderung menitik beratkan cerita pada masa setelah Zhuge dan Cao. Saat sosok Zhou Zilong muncul dalam masa kejayaanya sebagai salah satu dari Lima Jenderal Harimau negeri Shu. Kisah selanjutnya adalah tentang periode kemunduran Zilong yang mesti menghadapi komandan muda pasukan Wei, Cao Ying yang tak lain adalah cucu Cao Cao.
Pertempuran itu terjadi di Phoenix Height setelah Cao Ying berhasil menjebak Zilong untuk mundur kesana. Phoenix Height sendiri adalah tempat yang penuh kenangan bagi Zilong. Ditempat itu untuk pertama kalinya dia beroleh kepercayaan Liu Bei untuk untuk memimpin pasukan guna meyelamatkan Putra Mahkota Liu. Sebuah titik yang tidak disengaja sebagai akibat penebusannya terhadap kesalahan Ping An, seniornya di kesatuan yang gagal menjalankan misi ini.
Secara keseluruhan film ini memang tidak seagung Hero yang telah begitu cantik memadukan antara ilmu pedang dengan sebuah kesadaran akan pentingnya Tian Xia, tanah tumpah darah, bumi sekolong langit bagi manusia. Film ini juga tak serumit Crouching Tiger Hidden Dragon, yang sangat substil menjalin kerumitan cinta dengan semangat dan penghargaan terhadap keahlian bersilat. Tapi film ini cukup jujur untuk mewartakan cita dan keterbatasan manusia dihadapan kekuatan adi kuasa yang melingkupi segalanya. Dialah Sang Waktu yang perkasa.
Kekuatan film ini yang lain adalah dihadirkannya kenyataan bahwa dimanapun perang tidak akan menghadirkan kemenangan sejati. Bahkan perdamaian yang diidamkan setelah perang usai adalah sebuah kemuskilan. Perang yang satu hanya akan menghasilkan perang yang lain. Penguasaan satu negeri terhadap negeri yang lain hanya akan menumbuhkan benih-benih permusuhan di kemudian hari. Dan kegungan visi seorang prjurit adalah cita-cita aprioris yang hanya mengejawantah dalam ide dan cita semata. Benarlah, kedamaian tak terjangkau lentingan anak panah. Dan panjang lembing tak akan pernah menyentuh kesentosaan nurani.
Film ini disajikan secara naratif, dimana Ping An seakan bertindak sebagai sang pewiracarita. Dia yang tersisih dan tersembunyi dalam sudut-sudut kemegahan istana Shu tapi tetap melihat dan merasa.
Dalam bayangan sorga
Sang Naga melayang dengan kebesarannya
Mensasmitakan alam akan keagungan yang tiada terjangkau
Terbang melenggang..........
Memberkahi aliran sungai Yang-Tze
Menghidupi setiap yang bernafas
Para petani yang menghiasi lembah dengan bulir-bulir gandum
Dan sekumpulan prajurit yang coba tegakkan langkah
Mengambil bagiannya dalam membela
O, kiranya Sang Budha berwelas-asih
Membimbing perang menuju kesentosaan
Yang berlindung dibawah bayangan sorga
Changsan telah aku tinggalkan
Dan sampai dalam duli kegungan Kaisar
Satu titik dalam Ketinggian Phoenix
Yang hendak aku satukan dengan beribu pertempuran
Dan jika didapatkan satu kemenangan
Itulah berkah Dewa-Dewa
Yang lewat kuasanya,
Memberkahi setiap prajurit dengan keberanian
Dan satu kekuatan,
Buat enyahkan kenestapaan.............
Inilah Three Kingdom selengkapnya.
>>>><<<<
---- Three Kingdom ----
Ping An
Ping An
Keadilan dewa-dewa yang menuntun perang, membawaku dalam kesatuan tentara Shu, dibawah duli Liu yang dicinta. Satu titik telah aku tandai dalam petaku. Changsan disini, ya.......telah aku tinggalkan. Dan kini aku di garis depan pertahanan Shu.
Dialah yang aku kenal di sini, sahabat, saudara yang kelak akan aku puji dalam keagungannya. Zhou Zilong, saudara dari Changsan. Apalah yang bisa ditebak dari orang muda ini. Dia yang memasuki ketentaraan hanya dengan dalih :
”Aku hendak menepati darmaku bagi negeriku, dan berkeluarga esok setelah perang usai”
Ah, anak muda..apa yang kau tahu, betapa naifnya kau ini. Kau pandang perang ini dengan keringanan hatimu. Ya...kau yang bahkan tak tahu letak negerimu di dalam peta.
Bersamanya aku hadapi saat-saat kritis di garis depan. Tentara Cao telah datang dengan 10.000 pasukan lengkap. Sedang kami disini hanyalah 1000 orang Changsan. Yang seiring timbul dan tenggelamnya matahari hanya berusaha mempertebal dinding-dinding benteng ini. Apalah yang bisa diharapkan, dengan satu pukulan, anjing Cao sudah akan mampu menerobos. Semuanya sudah bersiap untuk menyambut sang mati. Dan dimana petaku....ah, telah aku berikan itu pada Zilong. Peta yang selalu aku simpan dalam hatiku.
Sorga, dalam misteri apa lalu kau menjejak dalam wujud seorang Zhuge Liang. Dewa penolong kami, pengatur kami dalam bidak-bidak catur pertempuran. Dia yang memanggil badai dalam gelapnya malam, menantang kami dengan keberanian yang mengalir dalam darah orang-orang Changsan.
Zilong, kau ada dalam bagian ini, disampingku dalam pasukan pemukul. Kita bersama 20 orang lainnya dengan pedang dan lembing kita hendak robohkan panji-panji pasukan Cao. Disamping kita 500 orang dalam formasi naga, 480 dalam cakar-cakar phoenix. Dan dialah pengatur kita, Zhuge yang terberkati.
Ah, apapun itu penghargaan yang kau berikan padaku kawan..?. Leher komandan tentara Cao ?. penghargaan itu, yang seandainya kau rengkuh sendiri akan memberikan kegemilangan padamu. Ya..ya..aku terima penghargaan ini, untuk mu, untuk saudara-saudara Changsan kita, untuk kejayaan Shu........
Dan kau Cao, gusarkah engkau dengan kekalahan, hingga kau sendiri mesti turun gelanggang memimpin pasukanmu?. Lawanlah kami, tebak dimana kebinasaan hendak memihak diri !.
Zilong
Guan dan Zhang mengapitku dalam pasukan. Inilah misiku untuk menebus kegagalan Ping An mengawal Putra Mahkota. Gerbang Phoenix Height sudah ditutup. Disanalah kami mengundur dalam kejaran Cao. Kami tidak akan menghadapi pasukan Wei secara frontal. Yang Mulia tidak akan membiarkan rakyatnya musnah dalam perang ini. Ah, terpujilah keagungannya, semoga sorga memberkatinya dengan umur panjang.
Kami berpisah dalam jarak jangkauan panah musuh. Guan dan Zhang mencoba memancing dan memecah pasukan musuh, aku mengambil jalan mengitari bukit menuju tempat Ping An meninggalkan rombongan Putra Mahkota.
Saudaraku, telah aku pintakan pengampunanmu di hadapan Yang Mulia Liu. Terserah, nasib hendak membawa kemana diri kita selanjutnya. Telah aku katakan dalam Keagungannya, agar tanpa menimbang keberhasilan dan kegagalan misi penebusan ini untuk memberikan hukuman padamu sepantasnya.
Putra Mahkota aku temukan, terpujilah sorga yang telah menjaga jiwanya. Anak kecil ini, penerus singgasana Shu dimana baktiku akan aku dermakan kelak di masa depan.
Aku hendak kembali dalam barisan, tapi Cao melihatku dam mengirim sepasukan tentara berkuda dan infanteri untuk memburu.
Oh prajurit... dimana keluasan nuranimu, hingga kau baktikan darmamu pada keangkuhan Cao. Lihatlah tarian lembingku.......langit menjanjikan padaku satu kejayaan. Dalam zirah baja Liu yang membungkus dadaku carilah kematianku itu. Puih, jangan harap...raga ini dilindungi kejayaan Shu. Satu tebasanmu yang luput, satu kematianmu hendak menjemput.
Aku hampiri Cao dalam ketinggian bukit cadas. Kau pemilik bidak-bidak catur pertempuran ini, yang jumawa dengan keagunganmu, lihatlah pedang perakmu telah aku renggut. Dalam kekecutanmu rasailah. Maut hendak menghampir. Bukan...bukan sekarang, kutitipkan jiwamu dalam ragamu kini. Suatu saat kembali aku tagih, dalam kejayaanku bersama Shu, keluluhanmu dalam reruntuhan Wei.
Hah..kau ancam hendak mengankapku jenderal tua?. Boleh...boleh asal umurmu cukup panjang untuk mencapai masa itu. Aku Zilong dari Changsan ingat itu kegelisahan hatimu.
Ping An
Changsan mendapati pahlawannya yang terakhir, dialah Zilong. Oh kampungku, sambutlah dia dalam kemeriahan pestamu. Dalam sutra-sutra Budha yang kau salutkan. Dan aku, Ping An, yang beperang demi menorehkan namaku dalam sejarah, biarlah kalian sisihkan dalam segala omongan.
Zilong, petaku telah ada padamu, biarkan pula keberhasilan dan keberuntunganku kau peroleh juga. Ah kawan, sejarah ternyata lebih memilihmu. Kau begitu bijaksana dan tak terkalahkan. Dan kini.....mulailah sejarah itu menulis namamu dalam tinta-tinta emas. Tengoklah kawan, dunia yang kini hendak mulai mengingatmu. Seratus, seribu tahun mungkin.
Kini kau bagian dari Lima Jenderal Harimau. Didepanmu, Guan yang perkasa, dan Zhang yang terpuja dengan 100.000 pasukan. Disampingmu, Huang dan Ma dengan masing-masing 50.000 pasukan. Kau sendiri kawanku, ah...masih layakkah kau ku sebut dengan itu, memimpin prajurit cadangan. Kemana hendak kau pimpin mereka dalam zirah baja dan jubah saljumu. Ke utarkah ?, menyongsong Cao dalam singgasananya. Bawalah...bawalah keagungan dan kebanggaan itu.... Aku disini mendengar salutmu dihadapan Yang Mulia Liu bahwa kau siap melayani dalam duli kuasanya. Disini, biar tersamar sekalipun aku bersalut:
“Ping An siap melayani dalam duli keagungannya”
Zilong
Kematian menghampiri dalam wujudnya yang tiada terungkap. Apalah bedanya, dia yang menggelepar dalam perang yang mengharu biru, dengan mereka yang meradang dalam keheningan yang membisu. Sama, dalam kehendak sorga semua menuju.
20 tahun terlewat dalam masaku sebagai bagian dari Lima Jenderal Harimau negeri Shu. Hari ini 34 tahun 4 bulan semenjak pertamaku meninggalkan Changsan. Pada hari ini tinggal aku yang tersisa. Guan, Zhang, Huang dan Ma telah tewas, menturuti baktinya demi kejayaan Shu. Bahkan Yang Mulia Liu pun telah mangkat dalam keagunganya. Putra Mahkota naik menggantikan. Dia, junjunganku yang baru, anak yang pernah aku lindungi dengan perisai dan lembingku. Dia yang pernah aku pertaruhkan jiwaku demi kesentosaannya. Oh...Yang Mulia, kesetiaanku tiada bercela, dalam duli kuasamu hendak aku baktikan raga.
Berbahagialah dia yang tak mengenal perang. Yang hidup dari bulir-bulir gandum yang mereka semai. Dan memanennya di penghujung musim panas. Bercanda, dalam kebahagiaan yang membuncah.
Hari ini aku tak lebih dari seorang Jenderal Tua, ya...mungkin seumur Cao yang dulu aku tinggalkan dalam kegusarannya di Phoenix Height. Dan kini, siapa yang akan merampas lembing dari tanganku. Sedang aku tiada terkalahkan dalam peperangan. Ya...kemegahan yang menghiasi setiap sisi kebanggan, menyusup dalam aliran darah setiap panglima perang. Tiada hilang dalam masanya, tak terenyah dalam setiap pemikulnya. Kemenangan, kejayaan menghias dikala tidur.
Tapi dalam tidur itu, datang pula mimpi-mimpi buruk. Tak terbentuk, tiada tersentuh. Hanya sosok tanpa rupa, tanpa nama. Melingkupi segala yang yang berbentuk dan berwajah. Diakah itu ?, sang waktu, sang kala yang mulai menghampir.
Oh...waktu datanglah dalam kesenjaan umurku. Apa yang hendak kau pinta?. Nasibkah?, atau umur yang sekian waktu kau titipkan. Ya...aku kini tak lebih dari seorang jenderal tua.
Mereka yang dulu berperang disampingku tiada lagi. Hanya zirah dan pedang mereka yang kini berdiri, terpajang dalam coloseum yang berpendar sinar-sinar pengagungan sang pahlawan. Guan, Huang, Zhang, Ma, entah kapan kita bersua. Bersama bersimpuh dalam alam surgawi. Menghadap junjungan kita dengan segala rasa bengga. Ya..aku tak lebih seorang Jenderala tua.
Kekalahan perang tiada pernah aku temui, akulah sang jenderal tak terkalahkan. Tapi Dia yang lebih perkasa dari armada enam negara datang juga. Sang waktu, yang membawa nasib dalam gulungan-gulungan awan. Ya...aku tak lebih seorang jenderal tua.
Oh...dewa , mengapa kau perlakukan aku seperti ini. Adakah benar bahwa inilah garis nasib itu, dimana selalu ada alasan untuk menghadir dan mengejawantah. Kini ketika kejayaan Shu hendak kembali menapakkan jalannya dalam lorong-lorong sejarah aku tak lagi diikusertakan. Ya..hanya karena aku seorang jenderal tua. Kau penguasa, pikirmu aku hanya akan melemahkan semnagat diantara seluruh prajurit. Oh penguasa, tiada nampakkah dalam matamu yang mulai menyipit, keagunganku dimasa lalu?......ah aku sadar, itu hanyalah keagungan masa yang kini terlewat. Benar, aku tak lebih seorang jenderal tua.
Tapi bijaksanalah, berikanlah kesempatanku. Biarlah ini menjadi pertempuranku yang terkhir. Untuk apa kau tanya ?. Bagiku, ” biarlah ini menjadi penyembuh dari kenangan-kenangan yang mulai memudar” . Bukan, bukan kenangan akan kejayaan yang pernah aku cecap. Tapi kenangan akan kampung halaman yang kini aku tinggalkan. Changsan, dimana aku titipkan gadisku dalam rengkuhannya.
O kasih, entah bagaimana adamu kini. Berlalu masa yang sedari dulu kita impikan,” menjalin keluarga ketika perang usai”. Insyaflah kasihku, perang tiada pernah usai. Ya..benar seperti yang selalu kau takutkan.
Dan aku kini, berada dalam titik nadzir itu. Seperti kau gambarkan dalam permainan wayang-mu, benarlah kau, kejatuhan pada akhirnya akan datang juga. Gadisku, dulu kau buatkan aku sebuah lentera putar. Kau hias padanya sajak-sajakmu:
Timur, selatan , barat , utara
Ada masanya kita bersua,
Dan hanya untuk berpisah lagi.....
Syair itu kini hidup dalam keterpurukanku. Bergema dan bersahutan, bersama puisi yang dilantunkan Xiang Yu berabad yang lampau:
Kekuatanku merengkuh gunung-gunung
Kuasaku dapat mengubah dunia
Tapi usia mengkhianatiku
Kudaku tak mampu lagi berlari kencang
Dan pedangku tak lagi kuat terayun
O, gadisku...
Bagaimana nasibmu kini
Ping An
Di tapal batas utara Zilong membuka pesan pertama dari Perdana Menteri. Ya..pada akhirnya Zilong diijinkan untuk mengikuti ekspedisi ke utara. Dia bersama Guan Kecil dan Zhang Kecil, putra jenderal Guan dan Zhang yang telah mangkat. Kini lima divisi Harimau di susutkan menjadai dua divisi, Naga dan Garuda. Zilong memimpin pasukan pendukung yang membawahi empat kesatuan.
Atas perintah Perdana Menteri sebagai Wali Agung kerajaan Shu, kami membagi kekuatan. Kami sepakati, Guan dan Zhang mengambil jalan memutar kekedua sisi, sedang aku bersama Zilong mengambil jalan tengah.
Kami bertemu dengan sepasukan tentara Wei. Tidak banyak, hanya sekitar 3000 tentara berkuda dan infanteri. Pertempuran tidak sampai terjadi, tapi Zilong berhasil membunuh empat perwira bersaudara dalam sebuah duel tunggal. Kami menyimpang dengan jalan yang berbeda. Sedangkan pasukan Wei mengundur kembali ke utara.
Kami salah duga, pasukan yang kami temui diawal ternyata hanyalah kesatuan kecil yang dimaksudkan untuk menjebak dan menjajaki kekuatan kami. Di belakang mereka pasukan besar Wei yang sebenarnya siap mengepung. Dari pengamatan Deputi Deng dan dua anak-buahnya tahulah kami, bahwa sisi utara, timur dan selatan telah ditempati pasukan musuh. Hanya sisi barat yang masih memungkinkan kami mengundurkan diri. Satu pertempuran kecil terjadi, dan kami berlalu kebarat. Menuju satu tempat yang tiada kami duga, disanalah, Phoenix Height berdiri dalam kegungan yang begitu dingin.
Zilong
Pesan kedua aku buka, inilah yang terjadi. Oh surga.. Semua telah diatur dengan memanfaatkan ego dan harga diriku. Semuanya tahu, aku tak akan mengambil sisi mudah dalam perang manapun. Ya...dengan memainkan perasaanku yang bermegah dengan pertempuran, Perdana Menteri mengiringku untuk bertemu pasukan utama Wei. Lalu memancing pasukan utama itu dalam pertempuran agar menghambat gerak mundur pasukan ini kembali ke utara. Sedang Guan dan Zhang yang mengambil sisi kanan dan kiri dimaksudkan untuk langsung menuju Wei, menguasai enam negara utara dan menolong kami pada tahap berikutnya...
Menolong kami kau bilang?.....jadi kami tak lebih tumbal bagi ekspedisi ini?.... oh.....betapa siasat telah dibabarkan. Oh...prajuritku kiranya kau tahu semua ini........
Dengan semua ini kami tak lagi menjadi prajurit Shu yang mesti berperang dengan kegagahan dan moral pejuang. Kami hanyalalah patung jerami buat menjadi sasaran bidikan panah dan sabetan pedang musuh. Penguasa, kau bahkan telah memperkirakan umur kami dalam perang ini. Enam jam, ya tak lebih.....itulah dalam pikirmu. Kau bahkan menakuti kami dengan reputasi komandan musuh yang begitu agung dan diberkati sorga dengan sejuta bakat dan kelebihan. Cao Ying cucu Cao Cao kau sebut........
Inikah penghargaan yang kau janjikan itu, penghargaan bagi Jenderal yang telah berjaya dimasa lampau. Untuk apa?, sekedar mati dalam segala kekonyolan?.
Alam, masih kurasai dinginmu dalam keagungan bangunan ini. Dan arca Budha yang masih juga berdiri di sana seakan mendelik dalam rautnya yang penuh kasih. Apalah yang Dia tawarkan dalam senyumnya yang begitu agung?. Undangan untuk kembali dalam rengkuhannya?. Menyatu dalam kebijaksanaan yang dia wahyukan ?. Oh..tiada itu akan terjadi, karma mesti berputar, dan sejuta inkarnasi masih harus dijalani.
Langit, menyatulah engkau dalam segala penyangkalan. Hiasilah keterpurukan ini, hiburlah perasaan setiap pahlawan yang ditinggalkan........
Ping An
Zilong dalam kegamangan, begitupun aku yang diberi satu lagi waktu untuk menjejak dalam gelanggang perang. Setua ini sebagai prajurit ?. Biarlah langit dan kupu-kupu mengejekku dalam kelembutan mereka.
Bentrokan awal terjadi, tak ada kemenangan bagi kedua sisi. Tapi Cao Ying cukup cerdik memanfaafkan situasi. Dia kirimkan prajurit kami yang meninggal tewas kedalam Phoenix Height, untuk apalagi selain melemahkan mental juang bagi seluruh pasukan. Ya...ya..aku dapat melihat semuanya, mesti kau berdalih bahwa yang kau lakukan sekedar untuk menghormati prajurit yang telah gugur dalam gelanggang yang tiada mereka pahami.
Gadis muda ini..... entahlah, dalam raut Kwan Im-nya yang begitu anggun ternyata mewarisi kecerdasan Cao Cao yang begitu taktis dan mengerikan.
Zilong coba membuat perimbangan. Dia utus aku dan Deputi Deng untuk menemui Cao Ying. Kami membawa pedang perak Cao Cao yang direbut Zilong 30 tahun lalu saat menyelamatkan Putra Mahkota untuk ”dihadiahkan” kembali kepada komandan pasukan Wei ini. Satu pesannya yang harus aku sampaikan :
” jagalah pedang ini dengan kekuatanmu, jangan kau turuti kelengahan kakekmu dengan menghilangkan pedang komandonya sendiri...”
Ah, Zilong.....kau coba kecutkan musuh-musuhmu dengan kehebatanmu, ya benarlah kau. Segera kudapati muka mereka yang mulai memucat. Keberuntungan , berpihaklah pada pahlawan terlupakan ini.
Deputi Deng
Cao Ying menantang Jenderal Zilong dalam sebuah pertarungan tunggal. Kami, empat deputi sudah melarangnya maju dan menyediakan diri kami untuk mewakilinya. Jenderal menolak, dan bersikeras untuk menghadapi Cao Ying sendiri.
Cao Ying beruluk salam dengan melemparkan dua gulungan kain yang disambut dengan lembing kumala Jenderal. Sorga……aku dapat melihatnya, itulah dua bendera dari divisi Naga dan Garuda yang dipimpin Guan dan Zhang.
Dua divisi itu telah hancur, tinggal divisi pendukung kami yang tetersisa. Dapat aku lihat kegetiran yang misterius dalam wajah Jenderal. Entah apa yang kini ada dalam dipikirnya. Kekecutan karena divisi ini tinggal menunggu waktu untuk sebuah kehancuran, atau kemashgulannya dengan strategi Perdana Menteri yang penuh cacat itu. Aku tahu, dia sendiri dapat mengatur perang ini sendiri dan mungkin membawa kami dalam kejayaan. Tapi entahlah, dia begitu terikat dengan janjinya untuk menjalankan perang dengan instruksi dari Perdana Menteri. Sadarlah aku akan keterbatasannya kini.
Jenderal maju menghadapi Cao Ying yang dibantu oleh dua orang perwiranya, dan berhasil menundukannya dengan uluran busur panah dari Ping An. Tapi tak urung dia mendapat serangan panah yang menembus perut kanannya. Kami memapahnya kedalam Phoenix Height. Tapi dia menolak membuka zirah bajanya untuk sekedar memudahkan kami mencabut anak panah itu. Aku tahu, dia tidak ingin melemahkan mental seluruh prajurit dengan melepas baju zirah itu. Ya, seumur hidup dia memang tak pernah melepaskan zirahnya dalam peperangan. Dia perintahkan kami untuk meninggalkannya dengan hanya ditemani Ping An.
Ketika pasukan Cao Ying bersiap menyerang, kami menghadap untuk meminta ijinnya menghadapi Cao Ying. Ya, meskipun kami tahu perlawanan ini tidak berarti apapun. Kami di hadapan Cao Ying saat ini tak lebih seekor rusa pincang di hadapan sekawanan serigala. Kami hanya menyambut sebuah kehancuran.
Tapi perang ini mesti kami lakukan. Inilah penghormatan kami kepada semua prajurit yang telah tewas sebelum kami. Mereka yang dengan darahnya telah menyuburkan bumi negeri ini dengan kegemilanhan selama lebih seperempat abad.
Inilah perintah Jenderal yang terakhir :
” aku Zilong, bila tidak bisa membawa kalian dalam kemenangan maka tak akan aku biarkan kalian mati tanpa sebuah kehormatan. Berangkatlah, dan kami kan mengikuti kalian dengan sebuah kebijaksanaan ”.
Cao Ying
Perang, dalam hadirmu sejarah berlalu. Bergantian dalam sisi-sisi sang waktu. Kemenangan yang diagungkan, lalu kekalahan yang dinistakan. Siapa sang pengatur ini?. Tiada kehendak itu pada sebuah pertempuran.
Prajurit, engkau yang dibesarkan dalam setiap gelanggang. Dengan apa kau mesti mengukur umur. Putaran roda kereta perang, ataukah panjang lentingan mata panahmu. Kau yang mengayunkan pedang tanpa kehendak yang mandiri, siapa yang kau bela?. Negerimu, rajamu, jenderalmu?. Siapalah mereka itu bagimu, selain wujud-wujud yang tak terjangkau oleh keterbatsanmu. Dan bila kau mati dalam gelanggang-gelanggang itu, tak akan ada yang mencatat nama dan perjuanganmu. Sejarah bukan milikmu parajurit. Tapi dia milik kaisar dan para jenderal yang mengaturmu dalam barisan-barisan. Dan kau mati, darahmu membasahi bumi yang akan menumbuhkan kembang-kembang yang mengharumkan nama kaisar dan jenderalmu. Kau tetap tanpa nama, tanpa sejarah. Darah yang kau tumpahkan, yang begitu kau banggakan sebagai tanda darmamu akan hilang seiring hujan yang dikirim dewa-dewa.
Inlah perang dengan segala kekejamannya. Jangan kau salahkan kaisar dan para jenderal dalam semua ini. Salahkanlah sorga dan dewa-dewa yang menyisipkan kehendak akan kuasa bagi setiap makhluk insani. Dialah yang mewujudkan ini. Dengan garis takdir dan nasib yang dia torehkan dalam keazalian yang melampau. Tegarlah dalam setiap perang prajurit, ayunan pedangmu masih tetap di butuhkan, agar kehendak-kehendak itu tetap lestari, agar sejarah tetap tertulis....ya...salahkanl
Inilah aku, perang dalam genggamanku kini. Tak beda, antara dawai kecapi yang aku petik dengan bilah pedang yang aku ayunkan. Mengalun, dalam setiap nada sumbang yang aku hasilkan, itulah satu kekalahan yang begitu ditakutkan. Dan dalam harmoni setiap dentingan, disitulah pengharapan akan kemenangan.
Dan perangku kini tak lebih sebuah penagihan, kejayaan Wei yang telah dipinjam orang-orang selatan tak lagi bisa ditangguhkan. Inilah kemenangan bagi siapa yang dibela sang waktu.
Zilong, salah satu dari Lima Jenderal Harimau yang melegenda berada dalam hadapku. Dia yang perkasa dan tiada terkalahkan dalam setiap perang. Tapi lihatlah, sang harimau telah menua. Meski ketangguhannya belum juga meninggalkannya, perjalanan waktu tak lagi mampu direngkuhanya. Dia kini udzur dan kehilangan kemandirian. Berdiri tak lebih dari bayangan jubah dia yang berkuasa, dia takluk, dan mengingkari sifat kepahlawanannya.
Jenderal inilah yang terjadi pada armada Shu. Zhang dan Guan yang langsung menuju utara telah kami siapkan upacara penyambutan. Bukan, bukan dengan pertempuran terbuka seperti yang kalian harapkan. Seperti kau, kami menyadari keterbatasan kekuatan cadangan kami yang tertinggal di utara. Kami sambut Zhang dan Guan dalam sebuah pertahanan total. Kami paksa mereka dalam pertempuran yang berlarut-larut untuk menghabiskan kesempatan mereka untuk menolongmu di tempat ini. Dengan mudah kami lakukan ini dengan medan utara yang tidak akan pernah ramah bagi orang-orang selatan. Sama, bagi kami, tanah tinggi dan bukit-bukit dapat kami manfaatkan layaknya kalian memanfaatkan aliran Yang-Tse saat menjebak kakekku di Tebing Merah.
Dan kini kau tinggal sendiri, Guan dan Zhang telah kami lumpuhkan dengan memotong perbekalan dan memecah pasukan mereka menjadi kesatuan-kesatuan yang tidak bisa saling mendukung. Dan lihatlah, bendera kedua divisimu telah aku kembalikan bersama kabar kematian teman-temanmu di utara.Kau kehilangan mereka, sama seperti aku kehilangan empat perwira utamaku.
Dan kini kau akan kehilangan seluruh pasukanmu. Lihatlah hamparan di hadapanmu. Mengisaklah jika itu akan mengurangi kepedihan. Kau teah ijinkan mereka untuk bertempur, itulah ijinmu untuk kepergian mereka dalam kematian.
Menyerahlah Jenderal, pasukanmu telah kami cerai-beraikan. Siapa yang kau andalkan kini dalam kesendirian. Kau insyaf, ini adalah perang, bukan duel tunggal seperti saat kau kalahkan aku. Tapi bila kau hendak maju dan menutup keagunganmu dengan sebuah pertempuran, majulah, akan kami sambut juga. Akan kami berikan penghargaan itu sebagai sesama prajurit yang besar dalam asuhan perang. Jika perang ini usai, akan kuingat kau sebagai lawan terbaikku. Satu kehormatan bagiku untuk menutup sejarahmu.
Jenderal, kau adalah lawan yang baik. Keluhuran cita-cita mu untuk ”kesatuan tanah ini” biarlah kami warisi, kami berguru padamu tentang banyak hal. Sayang nasib membawa kita dalam dua kutub yang berseberangan. Kita mesti saling mengalahkan untuk tujuan yang sama. Tidak mungkin ada dua bilah pedang dalam satu sarung, mustahil ada dua orang raja dalam sebuah negara kesatuan. Kau telah membawakan peranmu selama seperempat abad, kini akan kami teruskan. Gugurlah dengan segenap kemulyaanmu Jenderal, seluruh generasi, seluruh negeri akan tetap mengingatmu. Oh ternistalah seluruh peperangan..........
Zilong
Aku datang menjemput kematian. Aku menghambur menuju titik penghabisan. Seorang diri, meyusul semua yang telah pergi. Zirah bajaku telah aku tanggalkan, segala harap telah terpasrahkan. Genderang perangku tetap terdengar meski hanya satu tangan yang menalukan. Ping An, kau juga yang menyaksikan saat-saat penghabisan ini. Tetaplah hidup kau, kawan, saudara Changsan. Banyak yang mesti kau ceritakan pada saudara dan teman-teman kita, yang mana aku sendiri sudah kehabisan kata.
Tak pernah kita kira beginilah pada akhirnya. Kita mengawali dengan Phoenix Height, lalu berperang keseluruh daratan. Dan kini kita telah berada pada titik awal di Phoenix Height. Pikir kita, dengan begitu kedamaian ”seluruh daratan” akan tercipta. Bukan, ternyata kita salah duga. Kedamaian yang dulu kita idamkan masih juga belum kita jangkau. Perang dan kehendak akan kuasa telah menjauhkan ”dia” lagi. Dan kita hanya tinggal berharap atau mencoba untuk sekali lagi memulai.
Sayang kita bukan dewa-dewa yang kekal dalam usia. Kita begitu terbatas, kesempatan yang kita terima bukanlah tanpa titik akhir. Dan kita sekarang dalam titik akhir itu. Kepada siapakah kita mesti berharap akan kedamaiam ”tanah ini”?.
Ah, kawan kenapa aku mesti membebanimu dengan pertanyaan yang tiada berjawaban. Lanjutkanlah hidupmu, ceritakan ini kepada semuanya. Bahwa mati demi suatu pengharapan dan cita-cita, selamanya tak akan pernah sia-sia.
>>>><<<<
---- Purwacana -----
---- Purwacana -----
Sendiri Zilong maju menghadapi Cao Ying dan seratus ribu tentaranya. Sementara Ping An menabuh genderangnya. Sejarah mengetahui segala yang terjadi meski dia kadang terlalu sedikit bercerita.
Lalu terdengar satu suara yang tiada satupun tahu siapa yang mengucap. Suara itu datang menusuri sang waktu. Dia menjejak dari masa lampau, menghadir di masa kini dan menuju ke masa-masa yang akan datang.
Akan datang masanya,
Ketika damai melingkupi alam raya
Dan tanah ini boleh dijejak,
Tanpa seorangpun memaksakan sebuah kuasa
Akan tiba waktunya,
Ketika pedang, lembing dan anak panah tinggal tersimpan dalam gudang senjata
Sementara mata bajak melukis tanah ini dalam bentangan garis-garis
Dan setiap sabit yang terayun,
Menebas tak lebih pada rumpun-rumpun yang mencuri makanan si padi
Akan hadir sebuah zaman,
Dimana perang akan menjadi begitu asing
Sementara pertumpahan darah,
Hanya menyambangi mimpi buruk pada malam musim gugur
Akan tiba suatu ketika,
Kebangkitan kembali Sang Naga
Dia terbang dari langit utara
Jauh melintasi nebula
Saat itu setiap kita berhak mengajukan sebuah pinta dan setangkup harap
Dia akan sudi memberi
Dan mengangsurkan berkatnya kepada kita,
Lewat kuku-kukunya yang perkasa
Bersamanya akan kita dengar,
Sorga yang berhunikan dewi-dewi
Melantunkan ode tentang kepahlawan
Dan seikat pujian,
Bagi dia yang telah merintis semua ini
Itulah saatnya,
Ketika tanah ini disatukan
Dan kita tak perlu mengenal batas-batas negeri
Dan kita boleh bersalam kepada semua yang kita temui
Layaknya saudara kita sendiri
Ya......
Masa itu akan datang,
Meski bukan untuk sekarang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar