“ secercah cahaya akan menyinari asal-usul dan sejarah kehidupan manusia “
--- Charles Darwin, dalam the Origin of Species----
Saya kadang merasa bahwa kebahagiaan tertinggi sebagai bagian dari masyarakat urban adalah saat berkesempatan menengok kampung halaman. Waktu reriungan, bercengkerama dengan seluruh keluarga dan saudara. Tapi kadang-kadang keinginan itu seakan berubah menjadi sebuah konsep yang abstrak belaka. Sang waktu, sang dana kadang begitu pelitnya untuk memberi sedikit kesempatan. Jadilah hal semacam itu menjelma sebagai sebuah privilise yang benar-benar mewah. Maka ketika kesempatan itu datang, tidak ada hal lain yang lebih bijaksana selain memanfaatkannya seefektif mungkin. Apalagi jika kesempatan memberi peluang hadirnya sanak, saudara lain dari ”pohon keluarga” yang kadang begitu rumit silsilahnya itu.
Dalam suasana kebersamaan semacam itu, kredo mangan ora mangan waton kumpul seakan menemukan sebuah titik pembenaran. Saudara yang dekat, yang jauh serasa menemukan ” ruh ” sebuah keluarga. Orang bilang semuanya sudah ” mathuk” dan ” gumathuk”, ibarat gelombang elektro-magnetic sudah ada semacam ” resonansi” diantara seluruh jaringan keluarga. Makanya jangan kaget jika dalam swasono seperti ini segalanya akan kelihatan begitu dekat dan hangat. Guyonan, obrolan bahkan rerasan pun akan menjadi begitu renyah dan seronok.
Tapi kadang-kadang isu yang dibahas dalam acara macam ini justru sangat men-descredit-kan, dan bahkan bisa memberikan semacam teror psikologis tertentu bagi saya.
” lha terus kapan iki Dik, .....aku dapat undangan mantu anakmu itu ? ” tanya Budhe saya yang waktu itu masih ”berkenan” menginap dirumah ( orang tua ) saya saat semua permili, saudara lain pulang kekandangnya masing-masing. Ya, setelah serangkaian acara arisan keluarga yang melelahkan tapi mengasyikan itu.
” ah embuh, nggak tahu itu mBakyu, wong anakmu lanang itu kayaknya nggak pernah serius memikirkan masalah itu ” ibu saya cuma tersenyum sembari ngukuti, membereskan beberapa stoples kue kering yang sudah kini ” hampa ” itu.
” piye, gimana Le ?, terus kapan ini ?., aku sudah kebelet pengin mborehi, mentasbih keponakan je’ ” seperti saya duga, second question adalah pada saya, sebagai objek penderita.
” waah.. lha ya tunggu saya siap dulu tho Budhe” jawab saya, jawaban klise tentu saja. Waktu itu saya sedang membolak-balik Max Havellar, novel kuno yang sejak saya terdampar di Jakarta tak pernah saya review lagi.
” allaah... terus yang mau kamu siapkan itu apa lagi. Umur ?, kerjaan ?...wong kayaknya udah siap betul kayak gitu kok “
” yang perlu dipersiapkan ya ” perasaan siap ” itu ....”
” yak, kok larinya terus keperasaan lho. Kalau menunggu itu, ya nggak ada siapnya Le......antepin saja, atau jangan-jangan Budhe-mu ini perlu turun tangan ?. Piye, perlu tak cariin apa ? ”
” ..boleh-boleh itu, ada kandidat apa ? ..”
” anggepmu itu Le, Enggaaak......gini, aku kan ketitipan salam dari Wuri, buat kamu .....wis ,, nggak usah pura-pura lupa sama temanmu gladen, latihan ”Gathotkoco Gandrung” itu ”
” sinten-sinten, siapa Budhe, Wuri ?...... bocah yang dulu jadi Sembodra itu ..”
” lha ya sapa meneh, siapa lagi ?, tapi jangan salah Le.. kalau dulu dia cuma maragani, memerankan Sembodra, oo.. sekarang dia sudah jadi Sembodra betulan. ”
” lho.. saestu, yang benar itu Budhe? , kayaknya nya dulu biasa saja dia itu ......”
” ... itu kan dulu..... bahkan sekarang dia itu ya Le, hampir lulus Sanata Dharma, kalau kamu lihat dia sekarang, wis aku berani taruhan kamu pasti langsung perlip deh...! ”
” apa Budhe,..... verliefd, jatuh cinta ?........ ah ya belum karuwan !.....”
Wuri, teman lama, tetangga rumah Budhe saya di Trihanggo, Gamping, Sleman itu?. Teman dulu waktu di Surodikaran bareng latihan nari dan mocopatan. Tapi masak sih dia sudah mau lulus dari Sanata Dharma ?. Kayaknya baru kemarin kami tukar-tukaran ucapan selamat lulusan. Ah, yang namanya waktu. Dan yang namanya nasib itu lho, kok ya membawa peruntungan yang berbeda pula. Dia sebentar lagi wisuda dan entah dapat pekerjaan apa. Sedang saya mesti menjalani ritual harian mengamati makhluk ”sialan” bernama bakteri, dengan gaji cuma beberapa strip diatas UMR. Tapi untung, saya masih bisa curi-curi waktu buat ngarang tulisan yang penuh ”bualan” dan tanpa mutu seprti ini.
” he,he,he.....malah ngalamun, ..hayoo…penasaran tho, penasaran …wiss..serahkan
sama Budhe saja.......”
>>>><<<<
Ah, pernikahan dengan apa saya mesti memaknai kata yang begitu angker dan sakral ini. Sebuah kata yang mungkin lebih rumit dari silogisme Aristolles ataupun Negeri Utopia-nya Plato. Tentu saja saya bisa mengambil jalan mudah dengan menyimpulkan secara aprioris, bahwa nikah adalah ibadah. Tapi jujur saya tidak siap mengantisipasi kemungkinan buruk dari kesimpulan ini.
Lho, iya kan ?. Sudah jadi kebiasaan bila kita mendasarkan sesuatu dengan dalih ibadah kita akan terjebak dengan apa yang disebut oleh Peter Stordijk sebagai ”akal yang sinis ”, sebuah kynisme. Contohnya, apa yang terjadi dengan sembahyang kita?. Toh selama ini kita melakukan sembahyang tanpa sebuah keyakinan bahwa sembahyang akan mengubah perilaku kita. Setali dua uang dengan doa kita, kita berdoa tanpa keyakinan apapun bahwa doa kita akan dikabulkan. Sama seperti saat kita memilih wakil rakyat, kita tahu mereka tidak akan mengubah keadaan atau setidaknya mewakili aspirasi kita, tapi toh kita tetap saja mendatangi tempat pemilihan dan mencoblos mereka. Intinya ”kita tahu apa yang kita lakukan itu sia-sia, tapi kita tetap melakukannya”. Jadi begitulah kynisme. Coba bayangkan jika hal seperti ini terjadi pada sebuah pernikahan, betapa terasa hampa dan tanpa taste pernikahan macam itu.
Lalu saya melihat keluarga Pakdhe-Budhe saya itu. Sebuah keluarga yang bisa dikatakan ”relatif” bahagia. Dikaruniai tiga orang putri yang begitu manis dan mangun miturut, berbakti. Kalau saya boleh membandingkan mereka itu sudah mirip keluarga Mandaraka dijaman Mahabharata dulu. Seperti Prabu Salya yang dikarunia tiga putri Erawati, Surtikanti dan Banowati. Walaupun tentu saja ketiga mbakyu sepupu saya itu tidak dipersunting ksatria segagah Kakrasana, Suryatmaja ataupun Kurupati, tapi mereka telah mendapatkan suami yang mampu membesarkan hati mereka. Atau setidaknya suami-suami mereka itu masih mau memakan nasi , bukan pemakan buku.
Kalau sudah begitu saya menjadi semakin trenyuh, prihatin melihat kedua orang tua saya. Wong dikasih anak laki-laki semata wayang saja kok tidak jelas jluntrung dan arahnya. Kalau dilihat secara morfologis sih masih bisa dimasukan golongan Homo sapiens seperti yang lainnya. Tapi entah dalam fase perkembangan somatis mana mengalami mutasi-genetic, sehingga tumbuh menjadi varian aneh dengan tingkat agitasi yang sudah menghawatirkan. Tapi yang biarin saja, wong setiap orang itu memiliki bibit, bebet dan bobot sendiri. Ya, bibit, bebet dan bobot sebuah falsafah yang sejak jaman purwa dulu sudah dijadikan standar untuk mengkalibrasi ”tingkat kepantasan” dalam mencari teman hidup.
Sekarang saya coba memberi pengertian teknis tentang bibit, bebet dan bobot ini. Dan ini memang benar-benar teknis, karena demi mencari arti kata ini saya mesti surfing di Google.
Bibit, secara harfiah berarti benih, asal-usul. Inilah faktor genetis yang mesti dirunut “dari mana “ pribadi itu berasal, siapa leluhur dan orang tuanya. Mungkin ini adalah konsekuensi logis dari pepatah Jawa, kacang ora ninggal lanjaran, bahwa buah tak- jatuh jauh dari pohonnya. Bagaimanapun sang anak diharapkan mewarisi keluhuran dan keperwiraan orang tua.
Bebet,berarti jenis. Tipe seperti apa pribadi itu?. Bagaimana lingkungan tampat dia tumbuh dan berkembang ?. Seberapa tinggi statusnya dalam lingkungan masyarakat?. Disinilah kewibawaan dan ke-jatmika-an diperhitungkan.
Bobot, berarti nilai pribadi. Melipuiti guna,wirya dan winasis, kepintaran, kekayaan dan keterampilan. Singkatnya semua nilai pribadi “unggul” yang diharapkan bisa digunakan untuk menjaga bangunan keluarga, baik secara finansial maupun sosial.
Ya, itulah orang Jawa. Segalanya mesti terukur terencana. Dan mengenai masalah ini tentu saja urusannya bukan setuju atau tidak setuju tapi bisa atau tidak bisa. Jujur ya, meskipun saya ini termasuk penganut Pan Javanisme yang menginginkan diberlakukannya syariat ke-Jawa-an ( bukan Kejawen ) di bekas imperium Mataram, toh saya tidak sependapat sepenuhnya dengan falsafah bibit, bebet, bobot ini. Bagi saya, ini terlalu PRAGMATIS.
Bahkan kalau mau lebih melihat kedalam, ini malah mirip konsep Lebenstraum, ruang hidup, yang dicanangkan Adolf Hitler ( maaf eyang Sis, bukannya saya “murtad” dari falsafah “romantisme kultural Jawa” ini ya ! ). Ingatkan ketika Hitler membuat semacam niche, relung habitat yang khusus berisi ras-ras unggul bangsa Arya dengan tujuan memurnikan keturunan Arya agar bisa menguasai dunia?. Ah, tapi ini kayaknya kok pendapat yang terlalu fasis ya?. Tapi memang kenyataanya budaya Jawa ini dalam tataran tertentu ada sisi fasis-nya juga !.
Buktinya?, itu serat Tripama karangan KGPAA. Mangkunegara IV yang sering dijadikan standar pembelajaran moral masyarakat Jawa. Coba, kurang fasis apa ?. Suwanda harus membunuh Sukasarana, adik sekaligus orang yang telah membantunya mendapat jabatan perdana menteri di Maespati. Basukarna mesti menentang perintah Kunti dan melawan adik-adiknya. Lalu Kumbakarna, ksatria-raksasa yang begitu lembut hati itu mesti mengorbankan nuraninya. Semuanya atas dasar ”dogma” nasionalisme, yang sering dimanfaatkan oleh segelintir orang yang sebenarnya tidak mempunyai perasaan nasionalisme sedikitpun. Ujung-ujungnya kynisme lagi, ”mereka tahu itu salah, tapi mereka tidak kuasa untuk mengingkarinya”.
Jadi jika kita terpaksa memakai falsafah itu, saya punya usul untuk melakukan pemahaman ulang, sebuah rethinking. Maksudnya jelas, agar disatu sisi kita tidak kuwalat, karena mengesampingkan budaya leluhur dan disisi lain kita masih bisa menjaga eksistensi sebagai pribadi dengan ”kemerdekaan” moral.
Dan ngomong-ngomong soal ”kemerdekaan” pribadi, itu kok mirip kata teman saya. Gadis Minahasa yang manis seribu-satu malam, senior saya di FBBJ yang kini aktif di ABM Bekasi itu. Suatu kali dia ngotot:
” Ah, nggak mungkin itu Bung !, aku ini perempuan yang ”masih merdeka”.....”
Baru belakangan saya ketahui jika yang dia maksud dengan ”masih merdeka” itu adalah ”belum dijajah”. Tapi yang masih belum saya tahu adalah cara saya memaknai kata ”dijajah” itu. Mestikah secara ”harfiah” ( yang berarti.....)?, ataukah mesti secara ”metaforis” ( yang berarti....)? . Kadang memang susah bakecek, berdebat dengan orang yang tiap hari berjibaku dengan logika hukum. Ok....Dicta, enjoy your ”incidental” freedom !!!
Yang jadi masalah adalah result setelah proses rethinking itu. Apa yang bisa kita simpulkan?. Dapatkah kita menemukan pemahaman baru bagi falsafah bibit, bebet dan bobot itu?. Seandainya kita telah menemukannya maka kita telah mengakhirinya dengan sebuah rediscovery. Tapi apa?.
Entahlah, saya juga buntu dalam hal ini. Saya hanya bisa menemukan sedikit ”jalan keluar” yang sebenarnya hanyalah ”akal-akalan” saja. Bagi saya falsafah itu setidaknya menghindarkan kita dari sentimen-sentimen melankolis dan romantisme rendahan. Agar kita sedikit rasional dengan mempergunakan akal sehat kita. Agar kita tidak terlalu emosional dengan pasrah-bongkokan terhadap perasaan kita. Karena apa?. Karena ketika memutuskan sebuah pernikahan, maka sebenarnya kita tidak hanya sedang ”mengawinkan” dua pribadi saja. Disana kedua keluarga juga ikut ”kawin”, dua tujuan juga ikut disatukan dan dua rencana sedang coba di sikronkan. Sehingga dalam konteks ini falsafah bibit,bobot dan bebet masih belum kadaluwarsa untuk dijadikan sebuah pertimbangan. Mungkin anda akan bilang bahwa ”pertimbangan” disini adalah pertimbangan yang pragmatis juga. Tapi setidaknya konsentrasi pragmatisme-nya masih lebih ”encer” dibanding pengertian konservatif yang dianut selama ini. Pragmatisme sempit yang hanya ngesti tuwuh, bertujuan tunggal demi proses mempertahankan dan memperbaiki keturunan saja.
>>>>><<<<<
” piye, gimana?.......kalau sudah begitu apalagi yang kamu tunggu? ”
” nggak tahu lah Budhe,........kok saya masih gamang saja jika melakukannya tanpa sebuah perencanaan dan persiapan yang matang...”
” ee.alllah, Le.. Le ....tak kasih tahu ya cah bagus........apa kamu kira keberhasilan dalam membangun keluarga itu seratus persen ditentukan oleh persiapan-persiapan itu?..we. kecele kamu kalau berpikiran seperti itu. Yang benar itu ya Le, keberhasilan itu justru ditentukan oleh “kebijaksanaan” dan keberanian kamu dalam menentukan dan mengambil pilihan-pilihan yang muncul dalam kehidupan sehari-hari....... “
Itulah pendapat orang tua, yang selalu saya hargai karena kesenioran mereka. Dan memang begitulah kedaannya. Pada titik tertentu saya sarujuk, sependapat. Tapi yang jadi masalah adalah apa yang disebut dengan “pilihan-pilihan” itu. Bagaimana jika “pilihan-pilihan” yang dihadirkan itu begitu terbatas?. Atau kalau mau lebih sadis lagi, bagaimana kalau ternyata tidak ada “pilihan” sama sekali?. Hayyoo... piye?. Apakah kita mesti terjebak dalam kynisme lagi dengan berdalih, ” lha piye, aku tidak punya pilihan lain kok!!!”.
Kalau pertanyaannya sudah menjadi begitu filosofis seperti ini kok saya ragu untuk bisa memberi penjelasan. Bahkan Budhe saya yang sudah berpengalaman punya hajat mantu tiga kali ditambah pengalaman 25 tahun jualan kain di pasar Jombor dan Beringharjo pun tidak akan mampu mewedar sebuah kesimpulan yang paripurna. Ujung-ujung nya saya mesti kembali kepada pendapat Nietzche yang agak optimis :
Kita tidak hanya mendambakan proses bertumbuh kesamping, tapi juga keatas, dan indahnya taman perkawinan akan membantumu mewujudkannya
juli....
untuk "kau"...smg kita dikukuhkan....
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar