Mungkin anda sempat nonton pagelaran wayang kulit yang sering ditayangkan di TV atau dalam tanggapan instansi pemerintah dan pejabat-pejabatnya. Di sana kita akan disuguhi sebuah seni pertunjukan yang dilihat dari segi manapun bener-bener pro. Dimulai dari tata panggung, sound system dan visual effect yang benar-benar tertata. Satu set gamelan dan wayang segelar sepapan yang bolehnya begitu mengkilap karya empu-empu ternama diseantero tanah Jawa. Dalang yang dihadirkanpun tentu saja sudah kesohor dengan masing-masing senjata ampuhnya. Ada yang mengandalkan suluk, sabetan, anta wacana, atau malah ke-gendeng-an dan ke-edanan-nya. Belum lagi barisan pesinden dan penyanyi yang menghiasi sisi kanan panggung laksana barisan pager ayu itu. Sanggulnya, kebayanya, nyampingannya, riasannya tidak lagi produk self improvement sang pesinden sendiri, tapi sudah hasil kreasi para penata rias dan penata busana yang tidak kalah hebat dengan yang biasa menangani para bintang sinetron. Lalu penontonnya dan tamu undangan yang ayu-ayu, yang nggantheng-nggantheng itu duduk demes pada barisan kursi yang tertata rapi. Sambil mengumbar senyum dan sapa, mereka menikmati hidangan yang mbanyu-mili dari catering terbaik di kota. Kalau sudah begitu, hati saya bolehnya mongkog dan bangga. Begitu dihargai dan dimulyake budaya saya itu. Wisss…jan...
Tapi coba anda tengok pagelaran wayang kulit dikampung-kampung, pada acara bersih dusun atau ruwatan bumi. Di panggung sederhana yang sebagian besar konstruksinya hanya dari batangan bambu yang merupakan produk swadaya dan swakarya seluruh warga. Di sana kita akan menemukan suasana yang berbeda. Mungkin sama-sama gayeng, tapi gayengnya itu kok ya tetap beda juga. Gayengnya itu ya, jan gayeng kelas rakyat dan kaum grass-root betul. Suasannya lebih sederhana tapi begitu seronok, lebih terbuka tapi tentu saja lebih jujur.
Tempo hari dengan sisa cuti dan sisa gaji yang selalu cupet saya bela-belain buat pulang kampung. Gara-garanya ya kepengin nonton wayang kulit itu (sebenarnya ada juga urusan lain, tapi……). Wis, pokoknya waktu itu saya sudah bertekad untuk nonton sampai bubaran. Pada akhirnya saya menepati kaul itu, meski harus menahan kantuk lantaran malam sebelumnya di perjalanan saya sama sekali tidak bisa tidur.
Entah kebetulan apa takdir, pas pulang itu di mobil saya bersebelahan duduk sama seorang teoretisi Marxist betulan, yang entah dengan motifasi apa kok berani-beraninya menantang saya buat berdiskusi. Jadilah saya semalaman ngobrol ngalor- ngidul lalu ngetan bali ngulon dengan cewek asal Wedi, Klaten itu. Eh.. tahunya, ternyata dia itu anggota aktif sebuah organ Serikat Buruh di kawasan industri sebelah. Pantes, ngomongnya begitu tas-tes dan micara. Pengetahuannya tentang isu-isu kontemporer dan UU Perburuhan beberapa tingkat di atas saya. Orangnya mungkin kombinasi antara Widyawati waktu masih muda dulu dengan Anita Rodick. Lumayan charming, pinter dan luwes, pokoknya khas Solo banget deh. Sepanjang diskusi saya diam-diam berdoa “ ...mudah-mudahan saya tidak kesrimpet selendang puteri Solo...”. Saya lalu coba membandingkan dia sama "dia" ,hehe......susah juga tenyata.
Ketika pagelaran itu dimulai sekitar jam 21:30, saya dapat melihat ombyaking kawula yang begitu antusiasnya. Malam itu kebetulan terang bulan, agak menyalahi musim juga sebenarnya, wong ini baru kesanga yang seharusnya lagi getol-getolnya hujan. Saya nggak tahu apa ini efek dari ritual melempar sapu lidi yang ditancapi cabe merah, sore itu oleh Eyang Sis.
Saya hanya bisa tersenyum dan merasa marem melihat seluruh ekspresi itu. Ya, ruwatan, sedekah bumi apalah artinya bagi kaum sub-urban yang mendiami belantara metropolis macam Jakarta. Tapi bagi kami, yang besar dan hidup dari berkah sang bumi ritual ini adalah wujud rasa syukur dan harapan. Syukur karena Dewi Sri masih begitu penuh kasih mencukupi sandang, pangan dan papan bagi semuanya. Dan harapan semoga segala kelimpahan ini selalu lestari, dan semua kawula selalu diberkahi dengan keselamatan, kerukunan dan kerendahan hati. Makanya diadakan pagelaran wayang kulit, sebagai sarana refleksi dan pembelajaran tapi juga hiburan. Itu nggak salah juga, wong wayang kulit memang sudah diakui sebagai world heritage yang sarat pesan moral dan etika.
Tepat juga lakon Pertapan Kembangsore yang dibawakan oleh Ki Sukoco, dalang asal Kasihan, mBantul itu. Saya tahu lakon itu adalah cerita karangan yang jelas tidak ada dalam pakem pewayangan baik Mahabharata atau Ramayana. Bagi saya itu adalah sebuah retorica mockery (guyonan), yang mencoba menjungkir-balikan strata dan kasta sosial. Bagaimana bisa seorang Petruk yang adalah seorang rakyat kecil dan simbol akar rumput serta masayarakat tertindas tiba-tiba bisa madeg pandhito. Bukan sembarang pandhito, tapi dia adalah Sang Begawan Selowondo yang mandegani Pertapan Kembangsore. Dan muridnya, semua putra dan sentana Pendawa seperti Antasena, Gathotkaca bahkan Rsi Mayangkara. Para Kurawa-pun bersikeras untuk memboyong sang Begawan yang mengakibatkan konflik antara kedua pihak. Saya lalu mengambil pelajajaran bahwa ada saatnya untuk para pemimpin buat mendengar, belajar dan berguru kepada rakyat kecil. Bagaimanapun, rakyat adalah sumber kedaulatan dan kebanaran. “Suara rakyat adalah suara Tuhan”.
Lalu saya lihat para wiyaga, punggawa orkestra gamelan itu. Ah, lagi-lagi saya dibuat terpesona oleh semangat dan rasa seni mereka. Mereka yang sudah lebih dari separuh baya bahkan manula itu masih saja terampil ninthing notasi laras gamelan. Masih tersisa legenda hidup dunia per-wiyaga-an Temanggung Utara macam mBah Ndari ( gender ), Romo Suroto ( salentem ), Pak Sugeng ( rebab ) dan Pak Budi ( kendang ). Dengan penuh gusto mereka membimbing punggawa perangkat gamelan lain kedalam berbagai ladrangan, lancaran dan lelegon yang mengalun dalam laras pelog dan selendro. Saya masih tidak habis pikir bagaimana tangan-tangan kekar mereka yang setiap hari digunakan bekerja disawah itu tiba-tiba bisa menjelma menjadi begitu luwes dan anggun membawakan gending-gending Jawa yang aduhai lembutnya itu. Saya baru yakin bahwa rasa seni itu tidak terletak pada tangan-tangan mereka, tapi pada hati dan idealisme mereka sebagai orang Jawa. Dan nanti saat fragmen limbukan dan goro-goro dimulai mereka akan berkolaborasi dengan apiknya dengan seperangkat organ, bas gitar, ketipung dan drum dengan membawakan lagu-lagu langgam dan campur sari.
Bagi orang kebanyakan, limbukan dan goro-goro jelas sebuah fragmen yang ditunggu-tunggu. Disitulah wayang benar-benar bermakna sebagai sebuah hiburan. Semua pesinden, penyanyi dan pelawak tumplek-blek di fragmen ini. Tapi bagi saya justru sebaliknya, karena tentu saja saya tidak termasuk orang kebanyakan. Dalam hal acara nonton wayang saya termasuk seorang ortodok-konservatifl betul. Goro-goro dan limbukan bagi saya adalah sebuah fragmen tengara alias pertanda. Limbukan adalah pertanda bahwa bangunan cerita telah dimulai yang ditandai dengan fragmen jejer sebelumnya. Sedangkan goro-goro adalah pertanda titik balik dari sebuah puncak cerita. Disini cerita mulai masuk babak penyelesaian, yang ditandai dengan perang bambangan-cakil sebagai simbol pertarungan antara anasir jahat dengan simbol kehalusan budi dan kebenaran.
Tapi entah kenapa kemudian saya lalu melepaskan diri dari paham konservative yang saya anut itu. Saya lalu jadi mengakui bahwa limbukan dan goro-goro adalah sebuah fragmen sosial. Fragmen dimana tokoh-tokoh wong cilik menjadi inti adegan. Fragmen dimana wong cilik berhak untuk bersuara, mengeluarkan unek-unek dan mengemukakan pendapat. Saat dimana wong cilik merajut harapan . Ah, ternyata demokrasi juga telah merasuki dunia pewayangan.
Dan memang kemudian saya menjadi bagian dari orang kebanyakan itu. Wong kemudian setelah para penyanyi campur sari dan dangdut itu keluar saya maju ke panggung juga. Dan lalu saya melihat 5 biduan (kampung) itu dengan versi kostum mereka sendiri ( 3 berkebaya modern, 2 berpakaian terlalu ketat ). Saya kok tahu-tahu lalu bisa menikmati fragmen campur aduk yang dulu saya kritik sebagai fragmen yang merusak pakem pewayangan. Tahu-tahu saya jadi merasa enjoy dan sreg saja melihat para penyanyi yang kemudian bernyanyi sambil berdiri dan bergoyang itu ( di wayang ortodok nggak bakalan ada adegan itu) . Ah, tahunya kok ya asyik juga.
Jangan-jangan selama ini saya sudah melewatkan sisi lain dari apa yang disebut dengan seni. Bagaimana tidak, wong seni itu ternyata seni tidak melulu berarti pencarian tapi juga pelepasan. Seni tidak hanya berupa senyuman misterius ”Monalisa Florentine del Giocondo”-nya Da Vinci tapi bisa berupa detak pinggul dan senyum nakal sang penyanyi. Seni tidak selalu berupa ”Requiem”-nya Wolfgang Amadeus Mozart tapi kadang-kadang berujud versi dangdut dari ” Kemesraan” dan ”Cucak rowo”. Dan bahasa seni kadang memang harus meninggalkan dialog-dialog wuah-nya Dionysus untuk kemudian mengumandangakan dagelan ( agak ) jorok-nya Ahmad Muji. Lha wong seni–nya orang kampung kok. Kalau sudah begitu saya mesti membagi ”sikap seni” saya. Kalau lagi membaca naskah dramanya Shakespeare atau melihat kareografinya Candralekha saya akan menjadi pengamat seni yang serius. Tapi kalau sudah kepalang tanggung dengan seni cekeremen ini saya sudah bersiap untuk bermetamorphosis menjadi penonton kampungan saja. Wong dua-duanya terbukti memberikan manfaat juga kok. Kedua-duanya jelas berdosa, tapi saya masih susah mencari tahu mana yang ”kadar” dosanya lebih kecil.
Kok saya lalu jadi ngungun, merenung, kenapa sebuah dosa seakan-akan kehilangan daya terornya?, sehingga sering kali saya kehilangan rasa takut buat melakukannya. Dilain pihak, kenapa sebuah pahala mesti kehilangan daya tariknya?, sehingga kadang saya kehilangan semangat buat mengejarnya. Jangan-jangan benar juga kata Bertrand Russel saat nyandra, menilai, logika filsafatnya John Locke. Bahwa derita akan kehilangan daya terornya dan kebahagiaan akan kehilangan daya tariknya jika rentang waktu untuk mendapatkannya cenderung lama. Dan nyatanya memang hari pembalasan dan alam ngaherat itu masih lama datangnya, jadi ya masih ada waktu untuk suatu saat nanti buat bertaubat. Wah.. dosa dan pahala ternyata tidak melulu sebuah logika spiritual, tapi juga fenomena fisika yang terikat oleh dimensi waktu segala.
Lalu saya melihat para penonton yang berjubel, empet-empetan disekitar panggung itu. E...lha tahunya kok ya bermacam-macam juga mereka itu. Ada simbah-simbah yang kakung, yang putri. Mereka menonton dipinggir timur panggung, yang disela-sela kekeh tawa mereka kadanng-kadang diselingi sebuah gerakan reflek untuk membenarkan letak rokok klobot dan susur mereka.
Lalu ibu-ibu muda yang menonton sambil menimang anak-anak balita mereka, yang kadang-kadang tentu saja diributkan oleh tingkah rewel anak-anak mereka untuk meminta jajan atau mainan. Tapi mereka nggak marah itu mengadapai rewelan yang kadang-kadang sangat tidak realistis itu, hanya sedikit sewot barangkali. Wong namanya anak lho, tentu saja segala sesuatunya selalu benar dan bagus dimata orang tuanya. Mereka adalah kencana wingka, kata ibu saya dulu.
Saya juga dibuat heran oleh bapak-bapak yang kebanyakan menonton di deretan kursi undangan atau lesehan di teras rumah Pak Kadus itu, kok ya masih setianya mereka itu menyisihkan tenaga mereka setelah seharian bekerja di sawah ?. Dari mereka lamat-lamat saya mendengar obrolan- obrolan begitu seronok dan hangat. Sekali–sekali mereka menghisap rokok kretek yang dibagikan oleh panitia ( termasuk saya ). Tapi dalam suasana yang dingin- berangin begini tentu saja rokok mereka kadang-kadang mati juga. Maka sekali-sekali saya akan melihat kilatan korek bensin yang dipantik lalu disulutkan kepada rokok kretek mereka itu, kemudian lagi-lagi bulll..... nyamleng tenan kelihatannya.
Tapi yang paling menarik tentu saja nyawang, melihat penonton yang masih pemuda dan pemudi itu. Kok mereka itu malah mencari tempat menonton yang agak jauh ( dan agak gelap ) lho. Apa ya kelihatan nonton ditempat seperti itu?. Tapi saya yakin akan penghayatan mereka terhadap cerita yang disajikan. Buktinya kadang mereka sampai harus remet-remetan tangan karena mungkin saking sedihnya melihat alur cerita. Dan kadang-kadang lagi mereka saling berbisik-bisik lirih dan intim, yang mungkin saja sedang berdiskusi dan membahas adegan yang ditampilkan. Mungkin saja tho ? lha ya siapa tahu ?. Lagi-lagi saya dibuat trenyuh oleh perasaan seni mereka yang begitu komplek dan beranaka warna itu. Makanya siapa bilang orang kampung tidak memiliki penghayatan terhadap seni ?.
Pukul 05.30 pagelaran selesai. Akhir cerita ditandai dengan tarian wayang golek. Konon itu sebagai perlambang agar kita agar kita bersedia nggoleki, mencari, inti sari dari cerita yang disajikan. Yang baik katanya mesti diambil, lalu yang buruk kita gembol rapat-rapat untuk kemudian kita buang seiring perjalanan hidup dan pengalaman kita.
Semuanya menebar sesanti dan pangastuti untuk dapat memperoleh hikmah dikemudian hari. Lalu saya coba merenungkan, apa yang saya dapat dari pagelaran kali ini?. Ah, ternyata saya kemudian menyadari bahwa saya dan semua yang mangayu-bagya dalam pagelaran itu tak lebih hanya sekedar merajut harap. Berharap agar kebersamaan ini selalu terjaga, berharap agar sekali-sekali kita mengingat diri dan akar tempat kita dilahirkan. Berharap agar selalu ingat bahwa kehidupan tak ubahnya pagelaran wayang, ada “Sang Dalang Sejati” yang mengatur semua alur kehidupan. Ada “sang wayang pribadi” dengan segala keterbatasannya. Ada “pakem cerita” yang mesti dijalani.
“TANCEP KAYON”
Temanggung, beberapa waktu lalu
((post script: bersamamu mengapresiasi keanggunan dan keagungan warisan yang lampau... sekali-sekali menatapmu dari sudut pandangku di samping. sudut pandang, yang aku pelajari dari kata-kata Romo Mangunwijaya sbg "sudut pandang profile". hahaha... ya, seperti figur-figur wayang di hadapan kita itu. yang menampilkan sebuah citra dan simbolisme terjujur. rasa barang kali sama, seandainya ini adalah "Burung Burung Manyar" maka aku seperti Setadewa yang memandang Larasati dalam sudut pandang yang sama dalam "aula hikmah" dengan segala kekagumannya yang fantatif. tapi toh aku lebih beruntung juga, sebab hadirmu adalah nyata.... dalam "citra"mu itu yang siap menampung setiap karakter jagat pakeliran, Sinta, Srikandhi, Sumbadra, Kunthi, Anjani, Gendari, Durga..bahkan juga Limbuk dan Cangik sekaligus dalam waktu yg bebarengan...satu kesatuan yang utuh, satu kesatuan citra yang "ayu"... ))
Tidak ada komentar:
Posting Komentar