Kamis, 29 Juli 2010
Purwacana...( sebuah prolog)
“Kasmmai devaya havisa vidhema”
Kepada dewa siapa kita mesti menghaturkan persembahan ?
---dari Satapatha Brahmana---
Berfantasi tentang segala yang memfirasati orang-orang dari anak benua. Awalnya tidak terungkap, tidak terdefinisikan. Melingkupi segala sesuatu. Sang svasambhu yang melahirkan dirinya sendiri. Adi kuasa, yang memaknai dirinya sendiri, yang dimaknai oleh dirinya sendiri, bahkan mungkin sang makna itu sendiri. Yang azali ini sering dianggap sebagai nafas kehidupan.
Kemudian mempribadikan dirinya sendiri, menjadi dikenal dan mulai terpahami. Kuasa meng-ada. Yang mencipta, memelihara dan meleburkan semesta raya dalam kuasanya.
Penciptaanya adalah waktu yang telah lampau dimana pengetahuan mendampinginya. Memelihara di masa yang tengah berjalan dengan menyandingkan kesuburan, kelimpah ruahan dan keberpijakan pada anasir-anasir yang padat. Kemudian meleburkan segalanya kelak dimasa depan. Perang, penghancuran dan mungkin juga kiamat menghadir di sisinya.
Pernah juga percaya akan segala yang bersembunyi dari segala misteri. Menghuni angkasa luar, mendiami jagat atmosferik dan tumbuh dalam bumi. Ya, yang luar angkasa, jagat atmosferik dan bumi konon berasal dari nafas kehidupan yang mempribadi. Dari kepalanya angkasa luar menghadir, lewat pusarnya jagat atmosferik meluas dan bumi menghampar dari telapak kakinya.
Lagi, tentang misteri-misteri alam. Yang menggerakkan segalanya adalah ruh suci yang tiada kasat mata. Ada yang bilang ruh suci mempribadi. Konon berwujud layaknya makhluk insani. Tapi mereka lebih brilian, kuat dan bijaksana.
Sang ruh suci tinggal dalam tiga petala jagat. Di angkasa luar mereka menguasai langit siang, langit malam, fajar, petang, matahari pagi dan matahari senja. Sementara yang mendiami jagat atmosferik mengendalikan angin, hujan, awan badai, taufan, pergantian gelap dan terang, petir dan mendung. Yang menduduki bumi menggembalakan api, tetumbuhan pangan, sang bumi sendiri serta kematian makhluk insani.
Ruh suci yang tidak mengendalikan misteri-misteri alam benda akan mengendalikan alam jiwa dan pengetahuan. Dia menguasai cinta, kehendak indria, kekayaan bendawi, gita, sastra, ilmu perang, sihir dan perbintangan.
Tapi bagaimanapun para ruh suci itu tak lebih sebagai pancaran dari nafas kehidupan semata. Dia tak beda dengan makhluk insani dan seluruh alam raya. Mereka hanya diberi keutamaan dengan diberikan tubuh ruhani yang kekal. Seperti makhluk insani, kadang mereka cukup bodoh untuk mengetahui hakikat nafas kehidupan sekalipun sadar sepenuhnya bila mereka berasal dari sumber itu.
Bersepakatlah para ruh suci untuk mengutus bangsa mereka menemui sang-guru yang tak lain adalah hakikat nafas kehidupan yang telah mempribadi, ber-tubuh, dan berujud. Mereka mengutus penguasa hujan dan raja denawa untuk bertanya tentang hakikat nafas kehidupan.
Sang-guru meminta dua ruh suci yang menghadapnya untuk bertapa selama 32 tahun agar bisa menerima wejangannya. Setelah masa bertapa itu selesai, sang-guru berkenan mewedar pengetahuan :
” siapakah nafas kehidupan itu guru ?”
” anakku, dia adalah bayangan dirimu. Yang kau lihat di mata orang yang tengah memandangmu, yang kau perhatikan saat kau menghadapi setangkup air dan yang kau saksikan saat kau menghadapi sebuah cermin”
Mendengar jawaban sang-guru, raja denawa segera berlalu pergi, dia merasa tidak puas dan sia-sia saja bertanya. Sementara penguasa hujan, sekalipun tidak puas tetap bergeming dan bahkan bertanya lagi.
“ guru, bagaimana nafas kehidupan bisa meyerupai semua itu?. Bagaimana mungkin dia begitu senafas dan bergantung kepada kita?, bukankah dia sang sumber?. Lihatlah guru sang bayang-bayang itu. Dia akan nampak cantik ketika aku menghias diriku. Lalu dia akan menjadi buruk ketika aku menghinakan diriku saat ber-adisarira. Dia akan hancur ketika aku sendiri menghancur. Kenapa dia berubah-ubah, bukankah dia sang tetap ?”
sang-guru tersenyum lalu menimpali:
‘’ benarlah kau anakku. Kalau begitu nafas kehidupan adalah sosok yang melayang bebas dalam mimpimu. Dia tidak bergantung terhadap dirimu. Dia tidak terhancurkan aleh kehancuran siapa yang memimpikan. Dan dia mendiami alamnya dengan kuasa yang tidak mampu kau kendalikan ”
” tapi guru, bukankah sosok yang melayang bebas dalam mimpi itu bisa merasakan ketakutan, kegelisahan dan kepedihan. Mereka juga bisa merasa dikejar dan bisa merasa hendak disakiti dengan suatu pukulan. Bagaimana nafas kehidupan yang dipenuhi dengan kebaikan mesti merasakan itu semua ?. Bukankah tidak ada suatu kebaikan dari pencitraan-pencitraan tentang kegelisahan itu ?’’
” terpujilah dirimu dengan kecerdasan ini, kau benar. Tidak mungkin ada pencitraan-pencitraan yang dapat menciderai kebaikan sang nafas kehidupan. Dengarlah anakku, nafas kehidupan itu adalah dia yang berada dalam keterlelapan-mu. Dimana dia tidak lagi dipengaruhi oleh pencitraan-pencitraan inderawi maupun derita-derita psikis. Dia diam dalam ketidakmerasaan-nya”
Terdiam sang penguasa hujan. Dia coba resapi kakikat nafas kehidupan yang menjelma sebagai keterlelapan dalam diri itu. Sejenak dia terpuaskan dengan penjelasan sang-guru. Tapi cahaya pencerahan kembali memasuki alam sadarnya. Dia segera melihat satu cacat lagi dalam penjelasan sang-guru.
“ ampuni aku guru, bagaimana mungkin keterlelapan menjadi hakekat sejati dari nafas kehidupan. Bukankah dengan begitu nafas kehidupan berarti menyusut dan meyederhanakan dirinya sendiri menjadi unsur yang tidak berkesadaran. Apalah bedanya dengan benda mati dengan keadaan seperti ini?”.
“ kau telah tercerahkan anakku. Benar nafas kehidupan mustahil berada dalam ketidak-bersadaran menyeluruh layaknya sebuah wujud bendawi. Sekarang ketahuilah anakku hakikat nafas kehidupan itu. Dia adalah unsur yang mendasari ketiga hal yang telah aku ajarkan dimuka. Dialah yang mendasari kesadaran tubuh inderawi, kesadaran sosok yang melayang bebas dalam mimpi dan kesadaran dalam sebuah keterlelapan. Bahkan dia pula yang mendasari tingkatan ke-empat yang tak tersifati yang boleh kamu sebut sebagai suatu turiya. Sang dasar ini memang mustahil untuk disifati, karena dia terbebas dari ukuran bentuk dan ruang. Dia tidak terjebak dengan sesuatu yang disebut dengan tubuh. Kita hanya bisa mengetahuinya hanya melalui pengelihatan ruhani yang bebas dari pencitraan-pencitraan inderawi”.
Sejenak sang-guru terdiam, kemudian dia meneruskan ujarannya:
” kini setalah kau mengetahui jalan ini, maka dapatilah usahamu untuk menuju sang nafas kehidupan. Dengan pengetahuanmu kau layak memimpin kaummu untuk mencapai titik itu. Sekarang terwisudalah dirimu sebagai pemimpin jagat atas yang dihuni para ruh suci. Sedangkan raja denawa yang telah meninggalkan pengetahuan karena ketidak-sabarannya aku turunkan ke alam jagat bawah, dia akan memimpin para makhluk kegelapan. Jagat tengah telah disiapkan untuk makhluk insani. Kau pengasa hujan, aku ijinkan untuk menjadi perantara antara aku dengan mereka. Bimbinglah mereka, hukum dan berkahi mereka berdasarkan kebijaksanaanmu”
Bersamaan dengan sabda sang-guru terdengarlah suara petir yang memecah keheningan anak benua. Da....Da...Da...
Semua penghuni tiga dunia tersentak dalam keterkejutan. Penghuni jagat atas, tempat para ruh suci yang diberkahi dengan kebijaksanaan dan kekekalan badani memaknai ”DA” suara petir itu sebagai dama, pengendalian diri. Jagat tengah tempat makluk insani bertinggal menginsyafi ”DA” sebagai dana, pemberian kepada sesama. Sedangkan para makhluk kegelapan yang berkembangbiak di jagat bawah menganggap ” DA” sebagai daya, belas kasihan.
>>>><<<<
Berjalanlah waktu dalam asuhan sang kala, wiracarita jagat tengah dimulai. Tiba saatnya bagi makhluk insani mulai menemukan bahasa dan pengetahuan. Dalam bahasa itu mereka mulai membuat penamaan tentang segala yang ada dalam diri dan lingkungan mereka.
Mereka menamai sang nafas kehidupan yang takterpahami sebagai Atman, sang Ruh Azali. Nafas kehidupan yang telah mempribadi mereka sebut sebagai Brahman, sang pencipta.
Brahman dalam penciptaanya dimasa lampau mereka sebut sebagai Brahma, shakti-nya yang berupa ilmu pengetahuan mereka namai Sarashvati. Esensi Brahman sebagai pelindung alam raya kemudian dinamai dengan Vishnu yang didampingi oleh Laksmi penguasa kesuburan dan kelimpahruahan. Siva mereka tahbiskan kepada Brahman sebagai sang pelebur alam raya yang harus kembali kedalam esensi sebenarnya sebagai nafas kehidupan. Sedangkan pendamping sang pelebur yang berupa perang kelak disebut sebagai Uma Durga Mahesasuramardini.
Mereka juga memberi nama bagi para ruh suci yang mereka puja sebagai kekuatan yang menggerakkan seluruh misteri alam. Sang-guru yang telah mengajarkan mereka pengetahuan tentang hakekat nafas kehidupan mereka sebut sebagai Prajapati. Sang pengusa hujan mereka sebut sebagai Indra. Penguasa angin ditahbis sebagai Vayu, penguasa matahari sebagai Surya, penguasa api sebagai Agni, penguasa bumi sebagai Prathivi, penguasa kematian sebgai Yama, pengusa cinta sebagai Kama, penguasa kekayaan sebagai Kuwera dan seterusnya. Secara keseluruhan para ruh suci itu mereka sebut sebagai daiva yang berarti ”mereka yang bersinar laksana bintang di angkasa”.
Kemudian makhluk insani itu menamai dirinya sendiri sebagai manusa, entahlah, mungkin itu berasal dari kata manas dan asu, pikiran dan jiwa. Sedangkan makhluk kegelapan mereka sebut asura, yang tersembunyi. Pemimpin asura yang telah meninggalkan Prajapati saat berujar tentang nafas kehidupan mereka namai Vairachona.
>>>><<<<
Alam raya pun berputar dengan karma masing-masing. Sesuai perintah Prajapati kaum manusa dan asura menjadikan para daiva sebagai perantara antara diri mereka dengan sang pencipta.
Sebagai penghormatan kepada pemimpin daiva, Indra, mereka menamai anak benua tempat tinggal mereka sebagai Industan, Negeri Hujan. Jagat atas, tempat tinggal para daiva mereka sebut Indraloka, lalu menempatkan altar para daiva itu di puncak tertinggi Industan yang disebut sebagai Puncak Gauri Sangkar jauh di atap dunia, tanah salju Himachala.
Bumi anak benua kini semarak dengan kehidupan berfilsafat. Mereka mencoba menyibak lapis demi lapi selubung ghaib yang telah menutupi segala misteri alam. Didirikanlah ashrama-ashrama sebagai tempat pembelajaran bagi setiap pemuda anak benua. Mereka dibimbing para brahmana, sadhu dan orang-orang suci yang dalam pemujaannya kepada Indra telah diberkati pengelihaan ruhani tentang nafas kehidupan.
Ditulislah segala pengetahuan itu dalam sutra, mantra, bhasa yang terangkum dalam Veda. Lalu mereka menyenandungkannya dalam gita agung yang disakralkan. Disiplin diri melalui yoga kemudian dikembangkan untuk mengatur tubuh- jagat alit menjadi selaras dengan alam raya- jagat gumelar.
Keheningan menjadi dambaan bagi setiap shiswa untuk membatasi diri dari pencitraan-pencitraan inderawi yang selalu menipu kebenaran sejati. Mereka melakukan tapa dengan mengistarahatkan kerja panca-indria. Menyatulah manas, pikiran dengan kehendak-kehendak yang azali. Lelaku pensucian, via-purguvita dimulai, lalu dambaan untuk menggapai via-illuminativa tercapai dengan menyatukan diri dengan maujud sejati nafas kehidupan yang berupa cinta dan kearifan yang mengambang dan meliputi diri.
Sebagian shiswa itu kemudian melakukan pengembaraan melintasi hutan dan lautan. Bertebaranlah mereka dalam setiap hamparan dan sudut-sudut anak benua dengan mencoba menebarkan darma dan pengetahuan kepada seluruh penghuni anak benua yang sebagian masih tergelapkan. Diajarkanlah pengetahuan Veda bagi mereka.
Pengetahuan tentang nafas kehidupan-pun menyebar sampai jauh melintasi anak benua. Ke selatan sampai ke pulau Alengka, tempat orang-orang Dravida mengungsi setelah kalah dari bangsa Arya dari utara berabad lampau. Ke utara pengajaran Veda menjangkau negeri gurun yang penduduknya menyembah api abadi di Persia.
Semuanya insyaf, hanya dengan pengetahuan, vidya, setiap manusa akan mampu menemukan jalan kembali dan moksa, menyatu dengan nafas kehidupan yang menjadi asal-cipta-nya.
Inilah masa-masa penuh berkat di bumi anak benua, seluruh penghuninya berlomba dalam darma. Negeri ini begitu tenteram dengan kedamaian di antara seluruh suku yang mendiaminya. Setiap purnama dilakukan pensucian diri di sungai-sungai yang disakralkan. Berhamburan mereka menuju muara pertemuan tiga sungai, Gangga, Yamuna dan Sarashvati. Ya... dengan berkat para daiva sungai-sungai itu tidak hanya melimpahi anak benua dengan kesuburan, tapi juga mensucikan jiwa setiap manusa yang menghampirinya.
Masa-masa itu kelak akan selalu dikenang putra-putra anak benua dalam puja-gita mereka:
Kau penguasa pikiran semua manusia,
yang menentukan nasib tanah anak benua
Namamu bangkitkan hati orang Punjab,Gujarat dan Martha,
orang-orang Dravida, Orisa dan Benggala
Ia bergema di gunung Vidya dan Himalaya
berpadu dengan musik sungai Jamuna dan Gangga,
lalu dilagukan oleh gelombang Lautan Lavana-Undadhi
Mereka memuja anugerahmu dan menyanyikan pujianmu
penyelamatan seluruh manusia menunggu ditanganmu
Kau menentukan nasib negeri anak benua.........
---
Akhirnya datanglah masa-masa yang penuh ujian di anak benua. Ketika penyembahan kepada nafas kehidupan mulai ditinggalkan. Mereka kemudian cenderung hanya memuja kepada para daiva belaka. Indra yang ditunjuk oleh Prajapati sekedar sebagai jalan sekarang ditahbiskan sebagai tujuan. Maujud Brahman dan Atman yang azali sudah dilupakan. Titik puncak filsafat mereka hanya sampai pada Brahma, Vishnu dan Siva yang mereka sebut sebgai trimurti. Diantara para penganut ketiga daiva itu acap kali terjadi perang yang membuat tanah anak benua menjadi memerah karena darah.
Sejarah mencatat perang-perang besar itu. Dimulai dengan penyerbuan penganut Vishnu yang dipimpin Rama dari Pancavati terhadap penduduk pulau Alengka yang menyembah Siva. Kubu Pancavati dibantu orang-orang primitif yang mendiami hutan Kiskenda, disepanjang tanah tinggi Malyavan. Pembantaian besar-besaran terhadap sisa-sisa suku Dravida terjadi. Bahkan pemimpim suku Dravida yang bernama Rahuvana mesti dikubur hidup-hidup karena enggan melepaskan keyakinannya yang dianggap bernuansa mistik dan sihir. Sisa-sisa suku Dravida yang selamat sekali lagi mesti terusir dan kini mendiami pesisir anak benua bagian selatan yang berbatasan dengan lautan Lavana-undadhi.
Perang besar kedua terjadi antara kedua sekte peyembah Vishnu. Yaitu antara orang-orang Indraphrasta yang memuja Vishnu lewat Dharma dengan penguasa Astina yang mengikuti jalan Agni. Perang yang didahului dengan sengketa perebutan separo Astina yang merupakan hak bagi
kedua pihak sebagai penyambung wangsa Bharata itu lalu menjalar menjadi perang besar yang melibatkan nagara lain dengan dalih solidaritas keagamaan. Astina dibantu Awangga, Cedi, Mandaraka, Trajutrisna dan puluhan negara kecil pemuja Agni. Sedang Indraphrasta didukung Viratha dan Dwaravati yang berkeyakinan Vaishnava Ortodok dan memuja Dharma. Kemenangan pada akhirnya berada di pihak Indraphrasta yang kemudian menguasai Astina seluruhnya dan menerapkan agama tunggal Dharma di seluruh wilayah kekuasaannya.
Ya..masa damai itu telah berlalu. Dibelakang perang besar itu menyusul perang-perang lain yang semkin menyesakan dada tiap orang yang menghirup udara Industan. Sementara laku filsafat dalam mencari pencerahan ruhani kini tinggal menjadi ritual-ritual yang kering akan makna.
Kemudian bid’ah-bid’ah mulai muncul terhadap ajaran suci Veda. Timbulah aliran-aliran kepercayaan yang mengingkari kebenaran sruti, kitab suci. Para bida’ah itu bahkan mulai mengingkari keberadaan sang pencipta. Timbulah aliran carvaka, jaina dan mimasa.
Sementara itu para brahmana menjadi terlalu mengasingkan diri meninggalkan kehidupan ramai yang mereka anggap rendah karena keterkaitannya dengan keduniaan. Klaim atas Veda mereka pegang tanpa keinginan untuk menyebarkan pengetahuan dan kebijaksanaan kepada yang lain. Kesombongan itu lalu memuncak ketika mereka membenarkan pembedaan kasta di anak benua sekaligus mengangkat diri mereka menduduki kasta teringgi diatas para bangsawan, pedagang, petani dan kaum budak.
Munculah penentangan terhadap pembedaan harkat kemanusiaan ini melalui seorang pangeran dari klan Sankya yang bernama Sidharta. Dia yang tinggal di lembah gunung Himachala tempat diletakan altar agung para daiva begitu risih melihat penistaan ini. Lalu mengikuti orang-orang jaina dan carvaka yang mengingkari Veda, sang pencipta dan sekaligus menuntut penghapusan terhadap pembedaan kasta. Ajaranya yang dikenal sebagai “jalan tengah” dia kumpulkan dalam sebuah buku yang diberinya nama tripitaka, tiga keranjang pengetahuan.
Dari pikirannya muncul filsafat budha yang kemudian tumbuh subur di derah atap benua, Nepal dan Bhutan. Kepercayaan baru ini kelak terpecah menjadi dua sekte besar, hinayana dan mahayana disamping puluhan sekte lain yang hidup dari remah-remah peradaban anak benua yang mulai hilang. Hinayana yang mendasarkan diri pada tripitaka, berkembang di bagian tengah anak benua dan ketimur sampai Burma, Kamboja dan Syiam. Semantara mahayana yang menitik-tolakkan filsafatnya pada aku pemikiran pribadi tumbuh ke timur laut sampai Tibet dan Tiongkok.
Dan bumi anak benua tetap menjadi panggung segala perang dan permusuhan........
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar