Jumat, 09 Juli 2010
Kang Surip Memandang Urip
Mata dadu...
Semesta kemungkinan itu,
yang tiap sisi perseginya melambangkan angka-angka yang mesti kutebak
Empat bahu sawahku ludes sudah,
demi mengintip kemenangan yang disentak lewat gelodak jatuhnya
Ditangkupi cawan china dengan warna putih yang sudah mulai luruh
Tapi toh hidupku tetap lestari,
menggejolak layaknya rangsangan ciu Bekonang yang menggerayangi kerongkongan
Kemeranyas, kawan seiring tiap kali datang waktu nahas
Dan umurku juga masih utuh
Masih bisa menikmati kemasyukan hidup yang dicandui lenguh dan peluh,
dalam tiap simpuh perempuan-perempuan di plesiran Bandungan atau Sunan Kuning
Diri dan sukma ini sepenuhnya merdeka,
lepas dari segala kukungan tata
Mentuhani tubuhku sendiri yang mesti dipersembahi puji badani
Tak lagi ada penyembahan, sebab segala wujud altar sudah kusingkangkan
------
Ya,
Akulah larik-larik ganjil,
yang ditembang dalam pupuh mijil, kingkin kematian dari hidup yang terkucil
Akulah tambang sayatan bambu,
yang dipilin, dipuntir kasunyatan dalam buhul-buhul nafsu
Akulah hablur tanah pekuburan, yang mesti menampung, menyesap dan mengurai segala wujud kebusukan badan
Hanya pada waktunya datang
aku bakal jadi lidah api malam,
yang memecah gelap biar cuma sekerjapan...
--02 jul, habis jum'atan
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar