Senin, 25 Oktober 2010

Ra Tanca ( Alap-Alap Penanggungan)







13 tahun berlalu sejak penyerbuan tentaraTar-Tar ke bumi Jawa.  Majapahit, negeribaru yang lahir setelah perang itu terjadi sudah bersiap menobatkan rajanyayang ketiga. Dialah rani pertama bagi negeri yang dibangun oleh SanggramaWijaya. Mengambil abhiseka Tribuwana Tunggadewi Jayawisnuwardani, putri pertamaRajapatni Gayatri ini ditahbiskan.

Ya...air mata yang mengiringi jilatan ancala yang memperabukan jasad SriJayanagara telah mengering.  Jika adamata yang masih menitikan embun-embun nurani itu mungkin tak lebih pada sosokIndreswari , sang ibu.
Dan  yang lain?.

Bumi Majapahit tak pernah bersepakat, berapa orang yang menitikkan airmata dengan tulus?. Berapa lagi yang bergirang hati dengan kematian raja keduaMajapahit itu?. Pertanyaan-pertanyaan itu lalu saling menyambung dengan gugatankeabsahan Jayanegara untuk memegang tampuk pemerintahan negeri. Bukankahdia hanya putra seorang isteri ampean dari tanah Swarnabhumi?. Betul dia putratertua Sanggrama Wijaya, tapi bukankankah undang-undang kutura manawa hanya mengakui penisbatan tahta pada keturunan istri permaisuri saja?.Sekiranya  Tribuwana  Tunggadewi dan Dyah Wiat Rajadewi sudahdewasa ketika itu..... dan memang, pada akhirnya seluruh sesepuh dan sentanamenyetujui pengangkatan Jayanegara, tak lebih sampai Tribuwana Tunggadewidewasa

Sementara desas-desus didalam istana begitu santer mewartakan niatan Jayanegara untuk mengambilTribuwana dan Dyah Wiat sebagai istri demi membenarkan galur silsilah darahkeprabon-nya.  Kebencianpun mulai merebak,semua mata seakan mendelik kepada sang narapati.

------

Terasing  dari kemeriahan upacara penobatan Tribuwanaadalah sesosok gelap, tertekur dibawah beringin kurung yang melindungi stanaAntahpura. Sosok itu bukan lagi seorang manusia. Rambut gimbalnya terurai,menutupi sisi kiri leher yang menghitam dengan hiasan segumpal darah yang telahmengering. Apa yang dilakukan makhluk itu di makam Sanggrama Wijaya hanyalahpara dewa yang mengetahui. Sementara pandangan awas para pujangga hanya  dapat melihat keresahan dan penyangkalan darisang ruh yang terbuang.
Berjalan gontai mengitkutigalur-galur batuan gunung yang melapisi pelataran pemakaman, sang ruh menujusatu titik dimana arca Siwa-Harihara berdiri. Baginya arca itu nampak begituperkasa dengan ke-empat lengan yang menggenggam bermacam senjata perang.
"Sang pemilik segalakekuatan", begitu mungkin pikirnya. Seperkasa itukah Sanggrama Wijaya dalammasa hidupnya?. Ya......sang ruh selalu mendengar kegagahan Maharaja lewatwiracarita yang terus ditembangkan dalam kidung-kidung para emban dan dayang. Terdengarolehnya, keagungan yang mampu meluluhlantakan kekuatan Gelang-Gelang dantentara Tar-Tar. Sampai juga padanya, ketangkasan dan kebijaksanaan yangberhasil mematahkan pemberontakan Rangga Lawe dan Lembu  Sora.

Sang ruh tak lagi dikenali, sapuanangin membawanya menaiki puncak beringin kurung lalu menyungkurkannya kedalamduli telapak kaki Siwa. Tiada tampak lagi kuasa baginya, selain sorot matanya yang nyalang  memandang sekeliling. Sesekali dia kembaliterpekur dan menyembunyikan wajahnya di balik derai kasar rambut yang kiniberwarna tanah. Mulutnya tak lagi mampu mengucap. Tapi seakan menafikan segalakepayahan, satu suara  pecah sebagai sebuahgeraman yang serak parau...." ........Mada,........Mada......."
Kadang sang angin begitupemurah. Dalam jalannya menyapu serbuk sari  yang membiakkan setiap perdu dan rerumputandihampiri juga sosok penuh nestapa itu. Memberi sedikit kesegaran kepadapenyandang luka......meyibak rambut itu dari wajah pucat  yang anehnya menyiratkan sisa-sisa ketampanandi kala dia hidup. Dan siapa pun yang berkesempatan melihat kilasan wajah ituakan segera mengenalinya sebagai salah satu orang dalam istana.

Ya..wajah terasing ituadalah sosok dharmaputra Tanca..........


*****

Dua penunggang kuda keluar dari gerbang barat keraton. Empat orang prajuritpenjaga menghormat ke arah mereka dengan menundukan kepala. Matahari sudahmenyingsing setinggi tombak. Sayang kehadirannya tertutup kabut tebal yangmenyelimuti bumi Majapahit di awal bulan kasada.

Berlenggang, tak tampak keterburuan-buruan dari dua sosok yang sedangmelintasi jalan utama di kutanegara. Kekang kendali kuda hanya  diletakkan bersama genggaman tangan mereka ditengkuk kuda. Sekali mereka menoleh ke samping untuk sekedar melihat  celoteh kecil dari anak-anak yang sedangbermain perang-perangan. Dengan senjata cambuk dari janur kuning yang dililitmeyerupai sebilah keris, anak-anak itu coba menirukan gelagat orang tua merekadi medan perang.

Salah satu penunggang kuda itu menyapa sang bocah dengan sebuah senyuman.Aneh, si bocah justru merasa terancam dan segera memburu punggung ibunya buat bersembunyi.Si ibu segera mengasungkan sembah sekedar untuk memohon pengertian. Sekali lagisatu senyuman tersungging dari bibir pemuda itu.

" andika tahu maksud gusti Mada memanggil saya? "

" maaf Tuan, saya tidak diberi keterangan untuk bisa menjawab pertanyaanTuan"

Sang penanya menghembuskan nafas yang dihisapnya dalam-dalam. Sejuruskemudian dia kembali bertanya:

" terus terang saya kuwatir beliau mencurigai saya terlibat dengangerombolan Kuti"

" kiranya tak perlu kuwatir Tuan, sepanjang kita tidak pernah merasabersalah "

" ya...andika benar, tapi sayangdalam keadaan tidak menentu seperti ini setiap kemungkinan bisa terjadi. Andika  tentunya paham, panah-panah fitnah mulaimelesat sejak peristiwa itu"

" ha..ha..ha... Jika itu yang Tuan kuwatirkan....maaf...saya bisa katakanbila kekuwatiran tuan tidak perlu terjadi...."

" maksud andika..."

" siapa yang akan mencurigai  seorangtabib istana yang telah menunjukan darma bakti dan kesetiannya kepada negeriini..... Tuan sendiri bukan yang merawat gustiMada setelah luka yang beliau dapat dari ulah orang-orang Kuti?... Kalau bolehsaya menebak, undangan  ini mungkin untukmenyatakan rasa terimakasih beliau kepada Tuan "

Ucapan  itu seakan bisa menenangkan pemudayang sedikit gelisah.

" jadi bukankah benar untuk tidak meresahkan semua itu Tuan ?  "  tambahpemuda kedua

Tersenyum kecil seakan ada yang ganjil,dibalas juga pertanyaan itu:

"....ya..ya..semoga tebakan itu benar. Tapisaat ini saya justru tidak nyaman dengan sebutan " Tuan" ini padaku?.  Takperlu sungkan, Tanca hanyalah seorang dharmaputra"

" dan Rajahwesi hanyalah prajurit bhayangkari......"

Sejurus keduanya tertawa lebar seakan menginsyafi kekakuan masing-masing dalam menyapa.

" mari Tanca, gusti Mada sudahmenunggu kita"

Dengan satu anggukan ajakan tersambut. Tali kekang kuda mereka sentakan. Merasatersengat perintah, kedua kuda itu segera mengayunkan langkah dengan didahuluisatu ringkikan keras. Lalu berlari melaju, meyusuri jalan-jalan kecil di sepanjang kali Tambak Beras.Mengibaskan sisa-sisa embun pagi yang masih juga enggan terjatuh ke bumi.


----


Tanah perdikan itu berada di sisiutara bukit Penanggungan. Membelakangi sebuah hamparan luas yang sangat sesuaiuntuk tempat untuk berlatih memanah. Di puncak bukit masih tersisa reruntuhancandi untuk menyembah dewi Durga Kali. Dulu ketika bukit  ini masih menjadi kekuasaan Gelang-Gelangsering dilakukan tarung kanuragan untuk mendadar calon-calon perwira
Gelang-Gelang.

Kini sebagian tanahnya dihadiahkan kepada Mpu Mada atas jasanyamenyelamatkan keluarga raja dari pemberontakan Kuti. Mada kemudian membangun sebuah pesanggrahansebagai tempatnya berolah kanuragan. Belasan orang-orangan dari alang-alang kering berdiri berjajar di sisiselatan pelataran. Masih menancap di sana beberapa anak panah dan sebuah llembing.

Tanca dan Rajahwesi yang tiba menjelang tengah hari segera menambatkankuda-kuda mereka pada salah satu tonggak kayu asam di depan pesanggrahan.

" beliau menunggu di dalam Tanca..."

" andika tidak turut masuk"

" maaf.....aku mesti bergegas menysul teman-temanku yang sedang berlatih diatas bukit.... "

" baiklah,  terimakasih telahmengantarkan aku..."

" sudah kewajibanku..."kawan"...."

Dengan satu penekanan yang agak ganjil  dari sebutan "kawan"  Rajahwesi segera berlalu. Masih dengan mengusaptengkuk kudanya Tanca memandangi langkah Rajahwesi ke jalan setapak menujupuncak bukit.

" kawan ?" ucapnya lirih, lalu berjalan menuju  pesanggrahan setelah berhasil menenangkankudanya yang masih diburu lelah. Di depan pintu pesanggrahan nampak Mpu Madayang telah menunggunya dengan bersila diatas dipan yang beralas tikar pandan.

----

" hormat saya Gusti....."

" masuklah Tanca, tak perlu sungkan....ini hanyalah pesanggrahan seorangprajurit, bukan kedaton Majapahit."

Tanca yang tidak menyangka akandisambut dengan begitu hangat bersahabat justru merasa kikuk untuk bertingkah.Dia ragu untuk mendekati tempat Mada bersila.

" ayolah Tanca, kau kira akuhanya bermanis-manis lidah? "

" b..baik Gusti, maafkankelancangan saya"

Tanca duduk takzim dengan menundukan kepalanyadi depan Mpu Mada. Sesekali masih terlihat tingkahnya nampak belingsatan yangmemancing senyum  kegelian bagi Mpu Mada.

Semua memang sepakat jika tidak selayaknyabagi seorang dharmaputra sepertinyauntuk berendah diri  di hadapan seorangpetinggi negeri. Tapi Tanca tak bisa merasa wajar saja berhadapan denganseorang pahlawan bhayangkari  yang tengah naik pamor dengan jasa dan gelarkepahlawanannya. Seorang dharmaputradi hadapan senopati bhayangkari setelahperistiwa Kuti?. Ya, jagat memang  tidakakan mempertanyakan dua kali perasaan rendah diri itu.

" kau tahu maksud aku mengundangmu Tanca? "

" itulah yang ingin hamba ketahui Gusti.....sekiranya Gusti berkenan memberi keterangan...."

Pembicaraan itu terpotong oleh masuknyaseorang perempuan dengan mengangsurkan sebuah kendi tuak disertai dua bumbung bambu. Tanca sepintas lalumemandang perempuan muda berkain satin  ungu itu. Sehelai  sutra bercorak mega-mendung  menutup dua  buah payudaranya,  cengkir-gadingyang mulai ranum,  mekar dalam kematangan.

" silahkan Raden...."

" terima kasih Ni..."

Permpuan muda itu undur kebelakang yangdiikuti dengan lirikam liar dari ekor mata Mpu Mada.

" dia seorang prajuirt Tanca......"

" maksud Gustidia prajurit dari laskar bhayangkari?"

" prajurit dalam hal lain Tanca..." jawap MpuMada lirih dengan disertai sebuah senyum nakal yang menyungging di sudutbibirnya. Tanca yang segera menginsyafi maksud kata-kata Mada membalas dengan senyumyang disertai gelengan pelan.

" tidak saya sangka Gusti......" kata Tanca yang tidak digubris sedikitpun oleh Madaselain dengan sorot mata teduh yang berbinar cerah.

" terima kasih telah mengobati akuTanca.....tak  pernah aku kira pemudasepertimu mampu menguasai ilmu pengobatan yang demikian mumpuni"

" sudah semestinya saya menjalankan kewajibansaya sebagai seoarang tabib Gusti,meskipun tentu saja ilmu pengobatan yang saya kuasai masih jauh darisempurna.."

" tak perlu kau berendah diri, seluruhMajapahit sudah mengakuimu. Hmm..Gusti Mahapati, kejelian matanyapantas dipuji sebab bisa menemukan orang sepertimu Tanca."

Berkata demikian Mpu Mada bangkit dari duduknya. Diambilnya sebuah kotakkayu jati berukir kembang tanjung lalu diletakkan di hadapan Tanca. Ketikakotak kayu itu dibuka nampak sebuah keris yang dialasi kain sutra merah. Sebuahkeris ageman, pelengkap busanaberulir lima dengan gagang dari gading dan besarung kayu cendana berprada emas.Butiran-butiran intan putih menghiasi selutyang sebagian berwarna dasar gelap. Sebuah perhiasan yang cukup mewah bagisiapapun yang melihatnya. Mpu Mada menghunus keris itu dari sarungnya. Dapur sengkelat menghiasi bilahan yangberasal dari batu bintang itu. Dengan tangan kiri bilah keris itu dipegangnyategak lurus sejajar dengan tinggi mata

" kau bisa menilai pusaka ini Tanca"

" terus terang saya tidak begitu mahir menilai sebuah tosan aji Gusti. Tapi untuk pusaka ini saya yakinmelihat sebuah keagungan dan kemewahan yang memancar. Sebuah pusaka yang begituistimewa Gusti"

Mpu Mada mengangguk pelan membenarkan penilaian Tanca.

" aku ingin kau menerima benda ini sebagai rasa terima kasihku......bawalahini Tanca disertai penghargaanku umtuk semua yang telah kau darmakan" kata MpuMada setelah menyarungkan kembali bilah keris itu dalam warangka-nya. Lalu mengangsurkan benda itu kepda Tanca.

" untuk saya Gusti , maaf Gusti saya mersasa tidak pantas menerimapemberiaan ini " Tanca yang tidak menduga tawaran itu geragapan untuk menjawab.

" apa yang membuatmu merasa tidak pantas Tanca?, apa mungkin pemberiaan initerlalu hina buat seorang rakyan winehsuka?"

"  Gusti tahu bukan itu maksud saya...saya hanya merasa......."

" maka dari itu terimalah ini Tanca, janganbuat aku merasa gusar..."

Tanca yang merasa semakin terdesak dengantawaran Mpu Mada akhirnya mengalah.

" beribu terima kasih Gusti"  ujar  Tanca sembari menerima pusaka itu dariasungan tangan  Mada. Kemudian  Tanca selipkan pusaka itu di pinggangkirinya. Mpu Mada mengangguk pelan disertai senyuman puas di wajahnya.  Dituangkannya tuak ke dalam dua bumbung bambuyang diangsurkan perempuan berkemban sutra  tadi.  Satubumbung di asungkan kepada Tanca yang segera diterima dengan dua genggamtangannya.

" silahkan Tanca"

" terimakasih Gusti"

Mpu Mada menghabiskan tuak itu dalam sekali teguk.

'' orang Lumajang Tanca, begitu hebatnya mereka membuat minuman seperti ini....mariaku tambahkan Tanca"

'' terimakasih Gusti, sekiranyaini cukup....saya tidak biasa minum  tuakterlalu banyak...."

'' ya..ya..ya..kadang tak bisa aku mengerti orang-orang sepertimu yang bisamengesampingkan tuak, mungkin karena lingkunganmu yang tenteram dalam wismasebagai tabib istana tak membutuhkan pengusir kepenatan.....sedang kami Tanca,para prajurit ini, kadang mesti mendapatkan kekuatan dan kesegaran dari sekendituak..baiklah biar kusediakan minuman lain untuk mu.." berkata begitu Mpu Madamemanggil pelayan perempuannya yang segera diperintahkan mengambil makanan dansekendi air putih.

----


Matahari sudah mulai condong ke barat ketika dua orang punggawa Majapahit ituselesai bersantap. Kepuasan nampak bagi keduanya. Dan kekikukan itu, yang telahmembelit perasaan Tanca menguap sudah seiring  keluwesan Mpu Mada mengacarai tamunya.
Mpu Mada bangkit dari duduknya dan berjalanke serambi pesanggrahan. Tanca mengikutinya kemudian. Keduanya berdirimenyandarkan kedua pada batang kayu trembesipembatas serambi. Menerawang ke arah barat laut dimana matahari sudah mulaigontai jatuh ke cakrawala.

"tidakkah kau rasai negerimu ini begitu elok Tanca...." Mpu Mada membuka anta-wacana

" begitu adanya Gusti, semua yangdilahirkan di bumi Majapahit ini akan berpandangan yang sama. Tumbuh danberbakti, mungkin itu ujaran selanjutnya ...."

" seribu pemuda  berkata begituTanca, aku yakin tak akan pernah terjadi perang lagi di negeri ini...hmm.....kaumengawali mereka Tanca.."
" hanya mengungkap yang saya rasai Gusti,ya...meskipun saya dilahirkan di jaman perang itu...tapi nasib membawa sayabertumbuh dalam kedamaian dan keagungan negeri ini...."

" dan keagungan pribadi, bukan begitu Tanca.....seorang tabib istanakepercayaan raja.....satu dari seribu orang yang dapat beroleh kemulyaanitu.....kau punya garis dan bakatsebagai orang besar Tanca..."

" Gusti terlalu menyanjung.....bukankahseorang "pahlawan" lebih  dimulyakan dinegeri manapun Gusti?...dialahkembang  penghias sekaligus obatpenyembuh yang tak terbantahkan. Seorang "pahlawan" adalah tabib yangsebenarnya, dia tidak sekedar menyembuhkan tubuh yang menanggung mala tapi jugameramu kebanggaan bagi negeri yang dibelanya.......bukankah saya tidak salahucap Gusti.....?."

" ha...ha..ha...kau mulai pandai bermanis lidah anak muda........jangankatakan padaku  Gusti Mahapati juga yang mengajarimuberolah kata, dia guru yang baikbagimu Tanca?" Segurat semyum sinis tersungging pada bibir tebal Mpu Mada

" tak lebih sekedar jalan untuklebih bisa mencandra kehidupan Gusti,beliaulah yang mula-mula menuntun saya di lingkungan kedaton, satu tempat yang saya sendiri tak mengimpikan padaawalnya.."

" tapi kau tetap punya hak akan sebuah pendirian pribadi, tidak sekedarbersembunyi di balik bayangan jubah kemasyurannya.......terus terang Tanca,sikapnya kadang menganggu pandangan nuraniku........kau berhak melaporkanpadanya Tanca bila kau mau "

" saya tahu menempatkan diri Gusti"

" aku mempercayaimu Tanca"  Mpu Madamendesahkan nafasnya panjang-panjang dan berpaling lurus menghadapi wajahTanca.

" mencintai negeri, apakah itu berarti juga mencintai   raja, penguasa diri dan negeri mereka? "

" maksud Gusti ? "

" Lawe, Sora, Nambi.....pendiri negeri ini Tanca, mereka yang memancangkandasar-dasar Majapahit dari tanah Tarik.....tak ada yang meragukan kecintaanmereka bagi negeri yang mereka ukir, lalu kenapa mereka kemudian berbalik tingal menentang raja yang merekatahbiskan sendiri?"

Tanca diam, baginya pertanyaan ini adalah teka-teki yang tak berjawab. Menunggu dan menunggu saja diadengan ujaran Mpu Mada selanjutnya.

" penguasa, pemimpin, raja adalah gantunganpengharapan bagi setiap yang dipimpinnya..jika dia gagal memberikan pengharapanitu Tanca, bersiaplah untuk ditinggalkan oleh mereka yang dipimpinnya. Kita boleh menduga, ada ketidak-puasan dalam diri mereka yangcoba menjatuhkan penguasa mereka dari kewibawaannya.
Dan sebab-sebab ketidak-puasan itu Tanca, kadang sangat murni dan mulia......yaitu ketika keyakinan mereka akan keadilan dan kemakmuran bagi tanahpertiwi yang mereka cintai tidak mungkin diwujudkan oleh penguasa tempat merekamengabdi....itulah bila aku boleh mengira Tanca, yang terjadi pada pendalamanperasaan seorang Lawe, Sora dan mungkin juga Mpu Nambi..
sementara orang seperti Kuti adalah pribadi yang digerakkan oleh kesumatdendam akan hilangnya tanah yang telah terjarah.  Gelang-Gelang, negeri bapa-ibunya memanggildan memaksanya untuk bertindak..."

Tanca sekedar mengangguk-angguk membenarkan semua yang diucap Mpu Mada.

" kau tidak berpendapat lain Tanca?"

" saya hanya seorang tabib Gusti,urusan ketatanegaraan sangat jauh dalam jangkauan pikiran saya "

" setidaknya kau bisa berucap apa saja, ......ini hanya pembicaraan kecilantara kita berdua sekedar buat melewatkan hari "
Tanca mengawali dengan seyuman kecil,

" negeri ini mungkin sedang sakit Gusti, sakit yang disebabkan ketidakpercayaan yang mulai merasuki benak kawuladan punggawanya. Entahlah penyebab ketidakpercayaan itu Gusti, mungkin keabsahan...ee..keabasahan Baginda sendiri sudahmulai ada yang menggugat........bukankah beliau..."

" beliau hanya anak dari seorang istri ampean Tanca....begitu pikirmu, beliaubukan putra seorang permaisuri......hmmm pandanganmu cukup tajam, agaknya lingkaran kekuasaan kerajaan sudah memberitahumu  mesti dalam diam.
Dan aku harus mengakui jika aku satu pendapatdenganmu Tanca, benar sedari awal pemerintahan itulah penyebab suasana panas ini. Dulu ketika Mpu Nambi masihmemegang jabatan sebagai rakyan patihamangkubumi   suasana panas ini bisadiredam dengan kebijaksanaannya dalam memerintah dan menterjemahkan setiapputusan baginda.
Kini dia telah tiada, sayang babakandharma-baktinya mesti ditutup dengan sebuah pemberontakan yang melacurkannamanya. Dan rupanya Gusti Mahapatiyang menggantikannya bukanlah sosok yang tepat untuk memimpin....maaf Tancatentang penilaianku kepada bekas junjunganmu itu...sekali lagi aku mesti jujurdengan perasaanku sendiri"

" saya bisa memahami yang Gusti rasakan, saya sendiri tidaksepenuhnya menyetujui laku dan tidak beliau. ....ya...meskipun saya hanya bisadiam, tanpa kuasa untuk bersuara "

" diammu sudah merupakan tindak yang tepatTanca, belum saatnya kau mengekangi kendali takdir........ bukan satu hal yang mustahil akan babakanlain dimana kau sendiri mungkin yang bisa memungkasi..."

" maaf saya tidak paham yang  Gusti maksudkan? "

" hanya sebuah pengandaian Tanca, tak perlukau menaggapi dengan segusar itu. Ya, siapa yang bisa mengira jalan sebuahperadaban, selalu menjadi misteri bahwa sejarah kadang ditentukan olehorang-orang yang selalu dikesampingkan dalam kehidupannya. Kau ingat Arok,Tanca?. Tak lebih dia adalah pemuda berandalan dari kampung Pangkur, tak bedadengan pemuda-pemuda kebanyakan. Tapi siapa yang mengira, nasib kemudianmembawanya kepada kemulyaan. Dengan kekuatan yang tidak pernah diperhitungkandia bedah Kediri untuk kemudian di samping reruntuhanya dia dirikan kejayaanSingosari dan mulai mengukir wangsa Rajasa dalam lontar sejarah. Kita takpernah bisa menebak hari depan Tanca! "

" tapi jawata tak lagi mengirimkan seorang nariswari seperti Ken Dedes Gusti..."

" ha..ha...ha...Tanca..Tanca.........bukankahsetiap perempuan pada dasarnya adalah seorang nariswari  juga, sepanjangkita, kaum laki-laki tahu membentuk dan mengambil keuntungandarinya....percayalah pada ucapanku anak muda...... segala sesuatunya dapatdikejar asal kita mempunyai kelimpatan dan kegigihan pribadi. Tiada yang takmungkin dalam jagat gumelar ini,jangan kau ragukan kekuatan yang dimiliki seorang manusia. Manusia Tanca,sekiranya dia mau akan mampu mengobrak-abrik kayangan para dewa sekalipun.Bukankah Niwatakaca sudah membuktikannya?....."

Mpu Mada seperti mendapat nampan yang luasuntuk menumpahkan segala angan dan kebijaksanaan yang diyakininya. Tancamelihat keyakinan diri yang begitu besar dari bekas bekel prajurit ini. Didengarnya dengan seksama segala yang diucapMpu Mada dan  sekali-sekali diberinya  tanggapan dan jawaban. Hingga berlalulah segala ucapan itu kedalam gelap yang mulai menyelimuti tebing-tebing di seluruh persada negeri.

BERSAMBUNG ..ke Ra Tanca  ( Sangkar Kedasih Kaputren )





'
:
:
dahwi-20 juli10

1 komentar:

  1. Sangat menarik bagi saya sebagai pencinta kisah sejarah, terutama babad tanah jawa, Singosari dan Majapahit

    BalasHapus