Senin, 25 Oktober 2010

Kali Ini Tentang Sawang Sinawang

Dalam salah satu naskah dramanya William Shakespeare pernah ngomong begini:

Terdapat bahasa dimatanya, pipinya, bibirnya
Sekarang kakinya berbicara dan rohnya yang cabul memilih-milih
Di setiap persendian dan motif didalam tubuhnya.  ( Trolius and Cressida, babak IV adegan V )

Itulah konsep body language, saat bicara tidak melulu melibatkan mulut. Semua kata diwakili dengan ekspresi, dan bahasa cukup diwakili dengan citra. Nah, sekarang kita coba buat penafsiran dari dialog Shakespeare itu ( tentu saja menurut versi saya sendiri ).

Secara berurutan dia sebut pengelihatan, pipi ( kita tafsirkan saja sebagai wajah ya!!!), bibir, dan persendian ( anggap saja sebagai gesture alias gerak tubuh). Anehnya itu ya, kok dia sebutkan “ pengelihatan” pada urutan pertama dalam mengungkapkan bahasa, dan justru menyungkurkan “bibir“ pada urutan ketiga. Sedangkan dalam pengertian tradisional kita bibirlah lambang ekspresi bahasa, iya kan ??.

Saya juga nggak menuduh Skakespeare menafikan fungsi bibir sebagi ekspresi bahasa, cuman sekedar menganggap dia ingin menunjukan bahwa ” mata” mempunyai kemampuan untuk mengungkapkan sesuatu, dengan derajat yang ( kadang–kadang ) lebih tinggi. Dalam perumpamaan yang berlebihan ( dan sedikit norak ) bahkan ada yang bilang bahwa mata adalah cermin jiwa, semua isi jiwa dari yang nampak dan segala jerohan yang coba di sembunyikan akan bisa dilihat jika kita berhasil mengintip mata mereka.

Bagi kita yang pernah menonton film semi-animasi ( bukan semi yang lain ) The Voyage Of The Unicorn tentu akan ingat slogan yang terkenal dalam film itu, “ Credendo Videz”. Kalau diterjemahkan kata itu kira-kira berarti “ melihat adalah percaya / siapa yang percaya dia akan melihat”. Dengan kata lain bisa dikatakan jika kepercayaan kita bisa dikatakan afdhal jika dibuktikan dengan melihat. Atau mungkin hanya cukup dengan melihat kita bisa mempercayai sesuatu.

Dalam pengertian yang lebih luas melihat dapat berarti sebagai pengetahuan, pemahaman atau malah sebuah kekuasan. Orang-orang Barat misalnya, dia akan bilang ” yes I see ” jika dia telah memahami sebuah subjek yang sedang dibahas ( bukan ” yes I hear” atau ”yes I feel” ).

Kaitannya dengan kekuasaan ada sebuah etimologi ( seperti diucapkan oleh Michel Foucault ) antara sebuah visi ( ”melihat” dalam pengertian lebih inten ), pengetahuan dan kekuasaan ( voir, savoir and pouvoir ).

Dalam logat Jawa pun ada kemiripan, dimana jika mereka tidak mengetahui suatu masalah mereka akan bilang ” wah... ora weruh aku” atau mungkin ” embuh ora weruh, yo..”( bukanya ”embuh ora krungu” atau ”embuh ora kroso” ). Dan bila mereka menanyakan sesuatu yang belum mereka pahami mereka akan bilang ” menawi kepareng kulo nyuwunn pirsa bilih ... ”

Dengan begitu seakan-akan kita menemukan imanensi antara melihat dan mengetahui, antara mata dan otak ( baca : rasio ). Dan walaupun ada aliran filsafat yang menafikan akurasi ”mata” sebagai sebuah sumber pengetahuan tapi bagaimanapun juga kita tetap membutuhkan ”mata” untuk menguji suatu postulasi menjadi empiris dan mencapai derajat pengetahuan praktis.

Sampai disini kok seakan-akan ”mata” itu mereka perlakukan sebagaimana usus buntu lho. Sampai sekarang orang tidak tahu apa tho guna bagian itu, tapi toh kalau ada masalah padanya kok ya seluruh badan ikut merasakan juga. Jangan-jangan itu sebabnya dia disebut appendix, yaitu sekedar ”tambahan ” saja.

Dalam hitung-hitungan sosial kita mengenal fenomena ”sawang-sinawang” sebagai wujud interaksi. Nyawang ( melihat ) adalah sebuah aksi lalu disawang (dilihat ) adalah sebuah reaksi. Nah ”kesalingan” antara nyawang dan disawang itu kita sebut sebagai sawang- sinawang. Agak susah juga mencari padanan arti kata itu dalam bahasa Indonesia, yang agak mirip mungkin adalah kata “ saling tatap”. Tapi sebenarnya nggak juga sih, sebab “saling tatap” adalah aktifitas “melihat” dimana kedua belah pihak ( yang nggak mesti dua orang ) melakukannya secara inten dan sengaja. Sedangkan “ sawang-sinawang“ jelas nggak menyaratkan kedua pihak buat melakukannya secara “ sengaja “, jadi cukup satu pihak yang melakukannya secara sadar ( biasanya si subjek ) sedangkan pihak lain ( biasanya si objek ) nggak perlu menyadari. Lho, kalau nggak menyadari terus apa yang dia lakukan ???. He.he.he ternyata dia cuma perlu buat ” nyawang” pihak yang lain lagi.

Jadi kesimpulan dari kata ” sawang-sinawang” yang cenderung mbulet dan nggak jelas itu adalah : interaksi sosial dimana kita ini disawang tapi kita nggak mesti tahu siapa yang menyawang kita, tapi disaat yang sama kita juga nyawang orang lain dimana orang itu boleh jadi nggak menyadari sawangan kita, demikian lah seterus nya..

Tapi kok bisa-bisanya lho konsep itu ada. Usut-punya-usut ee lha kok, ternyata itu adalah semacam jalan keluar bagi suatu jebakan filsafat yang ada dimasyarakat nJowo ini. Umar Kayam pernah bilang bila masyarakat nJowo ini adalah masyarakat yang cenderung untuk menghindari sebuah konfrontasi langsung sebab itu akan merusak sebuah ” keharmonisan”.

Ini juga berlaku bagi budaya menatap, tatapan yang langsung dan vulgar tentu saja sangat riskan buat menimbulkan sebuah konfrontasi atau malah-malah konflik ( bayangkan saja jika tiba-tiba ada orang mentheleng didepan kita, emosi kan ?? ). Nah dengan sekedar nyawang yang bisa dilakukan dari tempat yang jauh ( sebuah titik netral tentu saja ) dan tanpa sepengetahuan si dia maka kita dapat menilai tanpa menyinggung dia yang dinilai itu dan akhirnya konfrontasi dan konflik itu nggak akan terjadi, peribahasanya itu : dijupuk iwake nanging ojo nganti buthek banyune, terambil iknnya tanpa harus kerug airnya ( gimana apa nggak hebat bangsa nJowo ini ).

Tentu saja itu yang dulu saya lakukan kepada Djeng Lis (tentu saja bukan nama sebenarnya ), dulu mungkin saya cuma berani menatapnya dari jauh saja, mencuri-curi mungkin. Tapi itu dulu lho, lha sekarang ??,. wallah mbok saling tatap empat puluh hari empat puluh malam tanpa kedip, dan tanpa dopping wedang kopi atau minuman isotonik pun OK saja lah.....jika ada konfrontasi ???. Ya jelas nggak masalah dong lha wong kadang-kadang memang konfrontasi itu tujuanya kok. Tapi bukan konfrontasi yang negatif lho itu sih melanggar wewaler dari Gusti Allah, bisa kualat nanti.

Terus konfrontaasi yang positif itu yang kayak apa??. O... ada, itu adalah semacam debat super ilmiah yang melibatkan dua kubu yang saling berlawanan dalam memandang persoalan kehidupan ( lha wong persoalan kok dipandang.. diatasi dong ). Salah satu versi-nya kayak gini nih :

” Piye, gimana pantes nggak disawang ?”. katanya sambil mengepas baju terusan yang baru selesai dari taylor itu.

” Panteees,...” jawab saya serampangan saja, sebenarnya itu jawaban yang nggak teknis sih, Wong seumur- umur saya ini nggak pernah mudeng soal fesyen kok.

” Serius ini, awas lho nek nJenengan bohong, bisa disawang nggak tahu meng-adibusana saya nanti sama ibumu itu”

” Lho memang nya aku pernah bohong??”

” Ya ampun, bukannya pernah lagi, tapi ........”

“ Tapi kamu sendiri tho yang sering bilang jika bohong itu bukan masalah boleh atau nggak boleh tapi masalah perlu nggak perlu”

“ Iya.. tapi tetap dosa juga kan ??”

” waaah, Ya nggak tahu ya, wong kalau menurutku bohong itu bukan masalah spiritual tapi sebuah fenomena sosial saja ”

” Ah, embuh lah.. bodo..”

Kalau sudah kayak gitu saya kan melihat ekspresinya yang sedang anyel itu dengan senyum kemenangan ( touch , kena lu ). Tapi dia nggak akan marah kok. Sebentar lagi juga dia akan feel alright lagi, lalu memamerkan senyumnya yang bernuansa continental itu, mirip The Illusionist Girl from Viena tapi dia bukan illusionist cuma sedikit euthinist saja.

” Memangnya sepenting apa tho sawangan orang itu ??” tanya saya sesudah dia sudah bisa lepas dari desperate-nya itu

” Lho, piye tho, gimana, lha ya penting banget..., itukan masalah citra kita dimata orang lain, apalagi didepan ibumu , woo bisa dikritik habis-habisan aku nanti, wong kadang-kadang ibu itu bisa bersikap sebegitu kritisnya kok !!” ....

( wuaah.. kok dia masih ingat kejadian waktu dia diprotes sama ibu saya gara-gara salah pakai motif kain nyampingan saat resepsi pernikahan sepupu perempuan saya yang di ngGunung Kidul itu. Gila, waktu itu dia pakai batik motif parang rusak kayak Duryudana mau pergi perang saja, paling tidak pakai sido mukti apa semen cemokiran lah )

” Tuuu kan, lagi-lagi kan cuma perkara citra saja, mbok ya sekali-sekali hilangkan politik citra itu lho, be yourself gitu !!”

” Be yourself ya be yourself..., tapi memang harus begini ini yang namanya perempuan, kalau nggak modis ya malah disanggka aneh nanti “

”Lho malah keren tho dianggap aneh, wong menurut ngelmu yang aku pelajari itu memang syarat buat menjadi perempuan itu adalah harus aneh, kalau nggak aneh ya nggak perempuan namanya”

Mendengar saya ngomong gitu kok dia tiba-tiba mak cep, diam seribu kata, jangan-jangan tersinggung,, tapi nggak juga wong habis itu dia malah nggleges dan ngomong gini:

”nJenengan itu ya ada-ada saja, lha kalau aku jadi ikut-ikutan aneh lalu mau jadi kayak apa bangsa ini ??. Wong dengan satu orang aneh macam nJenengan saja negeri ini sudah menanggung beban sosial yang begitu berat kok !”

”Iyak ngarang..., memangnya aku ini menderita kelainan neurosis apa, ...Maksuku itu, mbok ya kasih dong penjelasan yang sedikit ilmiah tentang alasan kamu yang bolehnya getol banget ngurusin sawangan orang itu !”

”Begini , yang namanya perempuan itu dari lahir ya memang harus manis kalau disawang, lalu dididik secara manis juga, dan kalau besar ya mesti tampil manis juga. Yang lain itu nggak penting, setidaknya sampai umur 25-an lah ”

“ Lha, terus fungsi penampilan manis itu terus apa?”

” Mosok nJenengan nggak bisa menebak sih, katanya pinter....... ”

” Pinter ya pinter, tapi kalau masalah budaya tampil manis ??? waaah, ya nggak mudeng tho aku ..”

” Gini..gini..lho , itukan sebenarnya juga karena bangsamu itu tho, yang selalu nyawang kaum Hawa dengan pandangan sedikit merendahkan. Makanya biar sedikit mengangkat derajat ya.. dengan meluweskan diri itu.....jadi mereka itu bisa sedikit menghargai. Dan kami yang selalu kalian anggap sebagai second sexual orientation ini bisa sedikit lebih pe-de ”

” waduh....kok aku baru tahu kalau sawang-sinawang itu hubungannya dengan relasi gender segala, gek sejak kapan itu ?”

” Sejak kapan- sejak kapan..... lha ya sejak peradaban itu lahir tho..... dari dulu yang namanya sawang- sinawang itu ya selalu melibatkan masyarakat dan kelas yang berbeda dan berseberangan. Kelas ”perempuan” vs kelas ”laki-laki”, kelas ”kaya” vs kelas ” miskin ”, kelas ”penguasa” vs kelas ”jelata”, kelas ”buruh” vs kelas ”pemegang uang” ,,, sampai kelas-kelas yang cenderung nggak berkelas itu...” katanya dengan nada yang meninggi

(Kok dia jadi ngomongin pertentangan kelas, kayak Karl Marx saja )

Biar agak relax saya goda dia begini:

” lho?, lho mengko disik tho, kok malah melebar dari konsep tho ini..., jangan-jangan nanti kamu juga mau bilang kalau sawang-sinawang itu ada hubungannya dengan global warming, regulasi anggaran, ekonomi makro, index saham, atau malah kebijakan moneter segala...... wong aku cuma takon kenapa kamu kok begitu khawatir sama penampilan kamu itu saja... ”

” Habis nJenenan itu nganyelake tenan kok, wong saya njelasin serius-serius kayak gini kok malah klecam-klecem, pringisan kayak gitu..... ”

(Ah, dia nggak tahu saja kalau saya senyum-senyum itu bukannya saya menyepelekan tapi saya malah terkesima dengan artikulasi dan pemahamannya yang khas itu ( jan sudah mirip aktifis feminis beneran ). Cara dia membangun logika dan memberi contoh konkret boleh juga).

Karena agak kasihan akhirnya saya ngaku juga:

“ Jujur nih ya... terlepas dari semua tetek-bengek itu..... kamu pantes kok pakai baju itu.. wiis,.. nggak usah kuwatir kamu sudah kelihatan bella figura betul kok..“


Dan mendengar pujian saya itu dia malah jadi semu kemerahan pipinya, tersipu... ah tahunya, jadi dia itu cuma lagi mau "disawang" saja tho.




dahwi,
akhir september 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar