Senin, 25 Oktober 2010

Ra Tanca ( Sangkar Kedasih Kaputren )

Sebatang alang-alang akan mengombak goyah dipermainkan angin, ya.......tak beda sang badan, sang nasib yang dipermainkan garis-baris takdir yang menyertainya. Menghadapi sang hidup, sang takdir,  layaknya menghadapi bidak-bidak caturangga. Kadang diri merasa sebagai pengatur langkah-langkah, kadang diri insyaf sekedar dipermainkan oleh langkah-langkah yang sama. Kerumitan, sekali lagi kerumitan tak pernah mengibas dari pendalaman kehidupan manusia.

Tanca, siapa dia selain anak manusia hamba alam, hamba kehidupan dan hamba takdir. Pikirnya, perasaannya berubah seiring jejekan anak tangga kehidupan yang dilaluinya. Mungkin benar kata Mpu Mada, bahwa keluguan dapat berubah menjadi kelimpatan siasat. Diam memendam misteri-misteri hati yang kemudian tertumpah. Bukankah itu hanya soal waktu dan bagaimana cara alam dan kehidupan akan membentuknya kelak?.

Hanya dia yang tersisa dari tujuh pengalasan winehsuka yang dilantik mendiang Sanggrama Wijaya. Wedeng, Pangsa, Yuyu, Semi, Dyah,Banyak  dan Kuti telah tersendal-mayang gilasan nasib. Siapa sangka, punggawa istimewa seperti mereka terlibat rencana makar yang begitu bengis. Kekecewaan, diakah sang sebab itu?.

Tak juga dipahaminya perkataan Mpu Mada di sisi Penanggungan itu. Ketidaksukaannya yang tanpa tedeng aling-aling terhadap keberadaan rakyan amangkubumi  Mahapati serta persetujuan secara tersirat atas pemberontakan Lawe, Sora dan Nambi menjadi senepa mantra yang  mengusik ketenangan nuraninya. Hati, gumpalan darah itu mulai menuntut penjelasan.  " mungkinkah seorang Mada, pahlawan sekaligus penyelamat jiwa raja turut menggugat keabsahan junjungannya? "  Dan dia,Tanca  seakan telah disasmitakan untuk mengambil sebuah peranan.

Hmmm......alam, pusat dari segala kerumitan dan pertanyaan. Adakah umur manusia akan sanggup menguarai sedikit dari kerumitan-kerumitanitu.

Majapahit mungkin saja kini dalam bahaya, dalam sebuah rencana siasat untuk menggoyahkan kewibawaan rajanya. Benih-benih itu sudah nampak mulai tersemai. Siapa sang penyemai?. Mada?, sisa-sisa kekuatanKuti?,...ataukah ada kekuasaan yang mengatasi semua itu........
Ya.......angin takdir dan kehidupan mulai permainkan setiap nurani dengan sejuta pertanyaan .....

****

Waktu terus berjalan, menggulung jagat seisinya dalam  jarak-jarak nisbi. Majapahit tak luput, masuk dalam gulungan  gelombang waktu yang tak pernah manusia dapat menduga kemana arah-tujunya. Dalam kejayaan?, entahmenuju titik keterpurukan.

Seperti sudah diduga, Mpu Mada, pahlawan penyelamat raja mendapat anugerah agung dari Sri Jayanegara. Jabatan rakyan patih Doha kini dipegang. Mengembani Dyah Wiat rajadewi yang kini sudah  menginjak masa dewasa. Sedangkan Tribuwana Tungga berhak atas perwalian tanah praja Kahuripan. merrka berdualah  pewaris takhta majapahit yang sejatinya, putri Rajapatni Gayatri. Dalam penisbatan itu  Mpu Mada mendapat parap-asma "gajah". Maka Ditasbihlah bekas bekel Bhayangkari itu dengan sebutan Rakyan Patih Ring Doha sang Gajah Mada.

Dan Jayanegara, Kalagemet, siapalah dia selain wali pengemban darah Kertarajasa.  Dan kini masa singkat  bagi Sri Jayanegara itu telah menuju titikakhir. Tribuwana.....sang pewaris itu sudah saatnya menagih tahta yangdipinjamkan..

Mengisaklah Jayanegara!....singgasana yang kau bela dari rongrongan Nambi dan Kuti kini mesti kau lepas. Hendak jadi apa dirimu setelah kehilangan segala hormat dan kuasa?. Sedang melawan tak bakal kau kuasa. Kemenangan jauh daripengharapanmu. Bukan......bukan karena tiada prajurit yang bakal menyokongmu. Lebih dari itu raja, kebenaran dan kenyataan tak bakal dapat kau jinakkan. Kutura manawa , "agama" agung bagi penghirup udara Wilwatikta akan jadi penghakimmu.

Hanya satu jalan yang bisa kau tempuh putra Indreswari!. Petik kesuma yang mengandungkan madu keprabon itu. Ambil dia, jadikan kumbayoni penampung air hidupmu. Ya...ya.....hanya dengan itu  kau dan anak turunmu dapat beroleh keabsahan atas negeri yang sementara kau kekangi.

Benar.....benar....ikuti nasihat mahapatihmu. Dengarkan bisikan-bisikan licin Mahapati seperti saat kau sesap ucapannya akan Nambi dan orang-orang Lumajang. Jangan kau ragukan!....ambil Tribuwana dan Dyah Wiat  sebagai permaisurimu.

Dan kemanusiaan, dan kesusilaan, apalah semua itu selain ungkapan-ungkapan kosong yang akan menjauhkanmu dari kemasyuran.
Kekuasaan mesti direbut, bukan sekedar dipinta........Jalan tak kenal syarat dan cara, semuanya mengandung pembenaraan bagimu. Satu-satunya syarat adalah " kau mesti tetap berkuasaatas negeri dan darah Rajasa ".

---.

Sementara itu pada hari setelah diadakan pasewakan agung Saptaprabhu di mana semua sentana dan wong agung Majapahit hadir dalam penghadapan yang sama, bersingidanlah Tribuwana, Dyah Wiat dan gajah Mada dalam wisma kaputen Kuta Praja. dalam kegeraman yang mengusiki rasa, mereke mengutuki gelagat najis Jayanegara yang mereka dengar dari telinga-telinga punggawa dalem dan apa yang mereka saksikan dalam permunculan Jayanegara pribadi.

" ini sudah diluar bataskewajaran kakang Mada. Denawa mana yang membuat Kanda Prabu berkeinginan sebejat itu?..... Tingkahnya kakang, hanya satwa melata yang pantas melakukan tindakan seperti itu.........."

" hhhhh......saya mohon Gusti Dewi Tribuwana dapat menahan diri,ini semua baru kabar angin yang belum tentu benar adanya "

" menahan diri kakang ?, untuk polah yang sehina itu?.... kau sendiri sudah melihat, aku, Dinda Rajadewi, sekarang tak lebih dua ekor kedasih dalam kurungan yang sudah kehilangan kebebasan. Dikurung dalam puri kaputren-ku sendiri tanpa kekuatan untuk melihat alam luar.
Kakang, kau sendiri masih menganggap ini sekedar kabar burung belaka. Tak kau lihatkah siapa pembisik telinga rajamu itu?. Paman Mahapati......apa yang tak bisa direncanakan oleh manusia belut seperti dia?.... DindaRajadewi......cukupkah kau hanya diam menghadapi polah kandamu itu?........."

sambil mengangkat sembah Dyah Wiat menanggapi kegusaran Tribuwana:

" ampuni aku Yunda Dewi, tak kurang hati ini merasa teriris oleh keputusan Kanda yang begitu picik. Tapi kita mesti melihat, tak sekedar hanya menduga dan meraba. Benar ucapan kakang rakyan patih Mada agar kita meyekidiki lebih jauh. Serahkan padakakang Mada pemastian kebenaran berita ini."

" gusti Dewi,......sekarang juga akan saya kirim telik-sandi utuk menyaring warta...... dan untuk menjaga keselematan gusti berdua,  Rajah Wesi danadi Nala   kiranyabisa Gusti percaya......"

kemudian berwacanalah Tribuwana atas Gajah mada:

" dan bila semua ini benar kakang, apa lantas kita mesti berdiam diri? Membiarkan negeri yang telah diwariskan mendiang Ayahanda Prabu dalam kehinaan yang tak terampumi ini?"

" tentunya tiada alasan untuk berdiam diri ekiranya semua ini benar Gusti........"

" dan tempat berdirimu kakang, dimana kau akan tegakkan kakimu jika sebuah kemungkinan buruk mesti terjadi? "

" saya akan berdiri di atas kebenaran, dan sayalihat kebenaran itu kini bernaung di bawah kewibawaan Gusti Dewi berdua.......".

" kau pandai besarkan hatiku kakang Mada. Bertindaklah, purbawasesa-kusebagai pewaris sah darah Rajasa ada ditanganmu...... "

" hati dan darah dengan tulus akan saya darmakandemi keagungan negeri yang telah memulyakan saya....... dalam satu candra  saya janjikan segalanya sudah mencapai titikterang Gusti "


***


Titik-titik pembenaran mengungkap sudah. Warta itu kini tak lagi sekedar isapan kosong. Bulat tekat Jayanegara untuk mengambilTribuwana dan Dyah Wiat sebagai permaisuri. Seribu pewarta, seribu mulut,seribu telinga mulai berjinak-jinak dalam sebuah gunjingan. Menyebar,mendengungkan gemanya keseluruh penjuru negeri.

Purikaputren kediaman Tribuwana dan DyahWiat semakin kukuh tertutup. Kurungan sang kedasih itu  bahkan mulai ditutup dengan beledu hitam. Siapapun tak bisa mendekat selain orang-orang yang telah mendapat kepercyaan dari Jayanegara sendiri.

----

Di luar istana satu bergada prajuritmulai mencari sisik-melik keberadaan Cakradara dan Wijayakarsa. Keduanya, penerus darah Singasari itu dicurigai sebagai kekasih Tribuwana dan Dyah Wiat yang mesti dilenyapkan demi kelangsungan maksud Jayanegara.

Selentingan warta yang dibawa para telik-sandi  membawa para pengejar ke pesisir Tuban. Dan tiada salah berita itu. Di sanalah Cakradara dan Wijayakarsa bersingitan. Bersembunyi dalam sebuah pesanggrahan seorang tabib dari Tiongkok, bapa Wong, demikian orang-orang Tuban memanggil tabib yang telah berusia lanjut itu.

Di tempat ini juga duluTanca belajar ilmu pengobatan. Berdua dengan seorang istri mendiang  pelarian  dari Tiongkok.  Perempuan itu, yang kini setelah sekian tahun berada di bumi Jawa mengganti namanya menjadi Nyai Paricara. Mei, namapengingat bagi negeri leluhur yang ditinggalkannya tak lagi disandang.

Betapa jagat begitu sempit,betapa rajutan kisah dan sejarah yang beraneka rupa ternyata dapat dirajut dari simpulan dasar yang sama. Di sinilah sejarah bagi Majapahit, bagi Jayanegara, bagi  Gajah Mada dan bagi Tanca akan bermula. Dari titik ini babakan peyelesaian darirencana-rencana yang dulu diripta  mulaimenemukan jalannya. Tutur mulai hendak diucap.......
.
Misteri alam, pembawa benang-benang ghaib sejarah menarik para pengejar ke pesanggrahan  itu. Suara lain membisik ketelinga-telinga prajurit Majapahit untuk segera bertindak setelah memastikan keberadaan Cakradara dan Wijayakarsa. Kekerasan, itulah jalan prajurit rendahan untuk menuntaskan semua persoalan. Dan demikianlah yang terjadi.

Dengan satu kesalah pahaman penggerebegan itu memakan korban. Tiada lain, bapa Wong menutup lembaran hidup dan baktinya dengan satu kematian yang mungkin tak pernah dia ketahui musababnya. Menjadi korban dari sebuah rencana besar penguasa negeri yang dia diami. Sang pelaku tak bakal merasa. Huh, kawula,...demikian wujud nasib menyapamu......

Duka meyelimuti dua murid yang ditinggalkan. Nyai Paricara dan Tanca menunggui pekuburan guru mereka dengan sebam yang tak jua mengibas. Kenangan, permata ingatan itu kini menghias sanubari keduanya. Lalu menyibak keluar lewat bulir-bulir air mata cinta yang tak juga terkeringkan oleh panasnya hati sebab kemarahan yang timbul.

Ketika malam menghadirpersembahan segera dihaturkan kepada jiwa yang tengah menturuti jalan ke alam kelanggengan. Kepulan dupa ratus membumbung, mengantar harap dan puji. Lalucoba menyentuh telapak kaki kesucian para jawata agar sudi menerima hasil ciptanya kembali.

" kini tak ada lagi tempatkita  bertanya dan berbakti  Kak Mei,bapa  sudah meninggalkan kita"

" ya Tanca, kesendirian itu kini mulai mengusik lagi setelah sekian waktu menghilang. Jawata  tak pernah berlaku adil. Dia biarkan seorangyang mulia memungkasi kehidupan dengan jalan yang begitu menyakitkan. Sedang mereka yang berlaku hina memjemput ajal dalam puandai keagungan...."

Tanca tersenyum getirmendengar kesah Nyai Paricara. Mukanya yang bermandikan pelita bulan  begitu merah oleh endapan rasa marah dankecewa.

" dan rajaku sendiri yang menyebabkan semua ini. Junjunganku,tempat aku dharmakan semua tenaga dan ciptaku.......hhhhhhh, kesia-siaan padasegala yang aku perbuat selama ini. Uh, ampuni aku  bapa akulah peyebab tunggalsemua ini........"

" tak perlu kau sesali yang telah terjadi adikku,segalanya tak akan berubah hanya dengan penyesalan. Ya, mungkin inilah hidup,hidup yang mungkin juga diidamkan  bapa guru. Dia telah mengakhiri dharmanya di negeri asing yang begitu jauh dari tanah kelahirannya. Negeri baru yang dia cintai dengan segenap ketulusan perasaan. Kita semua telah kehilanganTanca........"

Dengan satu geraman Tanca pukulkan kepelantangannya pada landasan tangga tempat dia tertekur.

" aku mesti menutut keadilan Kak Mei, apapuncaranya.......tak akan aku biarkan orang yang telah membimbing dan mengasuhkudari kesendirian seorang sebatang kara mati tanpa sebuah pembelaan"

Nyai Paricara tersentakmendengar nada Tanca yang keras itu.

" apa yang akan kau lakukan Tanca?, berdiri melawan raja dan negerimu?, kau merasa kuasa untuk bertindak?.  Tanca, kekuatan tak pernah ada pada seorang kawula. Dan keadilan yang hendak kau tuntut tak pernah berpihak pada seorang abdi. ..............sudahlah Tanca, jangan kau bahayakan dirimu sendiri dengan pertaruhan yang tak mungkin kau menangkan."

" begitukah mestinya caraku membalas segala kebaikannya selama ini?. TidakKak Mei, aku tetap akan mencari jalan ......dan jalan itu,..... entahlah,....."

Dipegangnya kedua bahu Tancadengan kedua tangan.  Satu bisikan dicobanyauntuk melunakan amarah Tanca.

" siapakah bapa-mu Tanca?, dia adalah tabib sejati bagi siapapun yang dirundung mala.Kau lihat, pertaruhannya demi orang yang mesti dia sembuhkan Tubuhnya sendiriTanca, adalah ladang tempat dia mencoba segala kemungkinan. Tak ragu dia menanggung sakit untuk mengetahui pengaruh ramuan-ramuan baru bagi sang luka.Dia cobai semua itu adiku, dan tak ada sesal yang mengelabuhi sebuah ketulusan......Dan saat ini kau lihat juga, apa yang dia lakukan buat melindungi orang yang tengah ditimpa kesusahan,  ya,.........gusti-gusti-muitu juga. Ini adalah sebuah pilihan yang dia ambil, dia menyengaja untuk semua ini demi nilai kebenaran yang dia yakini.... Bukankah tidak pantas kaubertindak bodoh dengan menagih apa yang gurumu sendiri tak pernah berniat buat menuntut. Aku memohon Tanca, sebagai saudara yang kau tuakan, sebagai keluargayang bersisa dihadapanmu saat ini.....jangan kau nodai pengabdian yang coba diatuluskan... Kau bersedia adikku? "

" sekiranya aku bisa kak Mei,  aku tidak punya kehalusan pikir seorang wiku. Aku..aku terlalu lemah untuk bisa menahan diri......... "

" tapi kau mewarisi jiwa seorang penyembuh Tanca,tak layak seorang tabib menebar luka.. hapuskan dendamu Tanca sekiranya kaubisa. Aku yakin kau kau bisa melakukan ini.
Satu lagi Tanca, kadang aku ingin sekali mendengarkau memanggilku "kang mbok", bukankahsekarang mungkin sudah saatnya adikku?  "

Tanca sedikit terhibur mendengar ucapan Nyai Paricara. Sudah berapa lama kiranya bumi Jawa telah merengkuh permpuan itu. Ya, sisa-sisa peradaban Tiongkok sudah mengikis habis dari pribadinya. Mungkin hanya matanya yang sedikit sipit dan kulit kuning gading saja yang membedakannya dengan perempuan Majapahit kebanyakan.

" aku ingin beristirahatdulu " kang mbok "......"

Nyai Paricara menjawab dengan senyum simpul dan gelengan halus. Dengan pandangan teduh diikutinya langkah Tanca sampai masuk ke dalam pesanggrahan. Alam kembali terdiam, tapi sudut nurani perempuan itu mengucap dengan satu penyanggkalan:

"O jawata, babagan cerita apa yang hendak kau babar "

Penyangkalan,ya..penyangkalan, entah apa yang menumbuhkannya dalam hamparan hati makhlukinsani. Penolakan terhadap garis takdir yang telah terjadi, pengharapan kosongakan kemungkinan baru yang lebih sempurna. Uh, manusia... manusia....kauyang begitu berbesar hati dengan kekuatan dan kecerdasan yang diwariskan kadangmesti tersungkur dalam titik nadzir nasib.


Bersambung ke Ra Tanca (Jayanegara Pralaya )

Tidak ada komentar:

Posting Komentar