Senin, 25 Oktober 2010
Jawa vs Senyum ( The Night Call )
Seandainya saja The Night Call adalah judul film horor Hollywood, maka film itu pasti akan menceritakan sekelompok orang yang diteror oleh dering telefon ditengah malam. Telefon itu mungkin dari arwah penasaran berandalan yang meninggal dijalanan Brooklyn atau bahkan dari alien yang kesasar masuk kedalam orbit bumi. Tapi karena itu bukan judul film Hollywood, maka kita tidak akan menemukan arwah penasaran atau alien. Paling banter kita hanya akan menemukan manusia yang semakin ter-alienasi dalam alam globalisasi ini.
Malam kamis lalu saya dikejutkan oleh The Night Call itu. Malam itu kok saya bisa-bisanya mecicenen alias nggak bisa tidur sampai lewat tengah malam. Tapi ini jelas bukan karena saya teganggu oleh pikiran-pikiran rumit yang biasanya mengganggu waktu istirahat orang-orang besar nan sukses itu. Yang saya alami pure, murni karena terganggu dengungan nyamuk yang sliwar-sliwer diatas kepala, disamping kuping, di dlamakan kaki dan tempat-tempat lain yang entah kenapa kok bisa sebegitu menariknya bagi kawanan “drakula” penghisap darah itu. Dan ndilalahnya obat semprot nyamuk saya kok ya pas habis juga. Maka jadilah malam yang sumpek dan gerah itu. Saya bagaikan Tentara Merah-nya Stallin yang mesti bersembunyi di bunker-bunker lembab dan ampek sementara diatas mereka anggota Luftwaffe-nya Hitler wira-wiri sambil menghamburkan bom-bom napalm yang suaranya begitu mbrebegi itu.
Disaat setengah sadar, seperempat capek dan seperempat anyel itu tiba-tiba phone-cell saya berdering dengan nyaringnya. Iya, HP saya yang berisi pulsa hanya dari tanggal 1 sampai 20 saja itu. Maklum buruh pabrik Mas.., kenaikan gaji saja sering di-rapel.
Tapi .... njur siapa malam-malam begini ?. Inikan sudah melanggar aturan protokoler dimana diatas jam 10 malam tidak dibenarkan seorangpun boleh menggangu waktu istirahat saya yang begitu berharga itu. Dengan geragapan saya samber HP saya itu. Setelah ucek-ucek mata sebentar saya lihat siapa yang brani-braninya mengusik macan turu ini. Ketika saya baca: edaan Djeng Lis malam-malam begini ……??. Waduh njur ada masalah besar apa lagi ini ? Nggak sari-sarinya dia telefon malam-malam. Jangan-jangan burung nuri kesayangannya itu kabur lagi ?. Atau mungkin si Keli kucing kembang asem-nya itu masuk angin lagi ?. ah tapi nggak mungkin, wong tanggal-tanggal segini dia pasti ada di Magelang , apa lagi besok liburan.
Setelah diawali dengan sedikit basa-basi, maka dimulailah interograsinya yang cenderung mendominasi itu. Tapi itu bukan karena saya kalah dalam improvisasi dan amunisi kata-kata, tapi karena saya masih harus memulihkan diri dari rasa kantuk dan letih . Sedangkan dia walaupun mungkin sedang ada masalah, tapi secara fisik dalam kondisi yang ( barangkali ) cukup prima.
Dia mulai:
“ Lho kok njanur gunung, tumben nJenengan belum tidur ini ….? “
“Ya… Aku kan cuma mengikuti dawuhe mBah Kakung suwargi tho Djeng…….. dimana saya mesti rialat, prihatin, dengan cegah lek, tidak tidur terlalu sore…ya biar semuanya diparingi keselamatan sama Yang Kuasa tho !! “
“ alaah……. prihatin apa memang nggak bisa tidur gara-gara mikirin aku………? apa jangan-jangan diteror sama nyamuk-nyamuk Jakarta yang nggegilani itu ….? “
lho kok dia tahu..? Kadang-kadang saya mesti mengakui jika perempuan itu sama Gusti Allah dikaruniai insting dan naluri yang lebih peka.
” kok bolehnya ge-er lho,…wong dipikirin apa tidak tetep saja kamu itu jadi pikiran kok…….so …there are something for discuss ..? “
” jadi sudah siap bener tak ajak diskusi ini….? “
“ sepanjang itu tidak terlalu memerlukan pemikiran …. Jadi soal apa tho yang bikin kamu begitu mruput dan galau ini…..?.. “
“ sebenarnya itu soal senyum…kok…”
“ apa…apa…apa…..senyum...……?”
Dia lalu menceritakan apa yang terjadi. Entah kenapa lalu dia merasa bahwa seluruh dunia menjadi begitu tak peduli padanya. Dari ibu kost-nya sampai teman-temannya satu kos-kosan itu kok tiba-tiba bersikap tidak begitu simpatik padanya. Gara-garanya ya soal senyum itu. Pagi kemarin dia lupa pamitan sama ibu kost-nya waktu mau berangkat ke tempat kerja. Padahal biasanya setiap dia berangkat, dia akan menyapa ibu kost-nya yang lagi srag-sreg nyapu dihalaman depan dengan senyum pagi yang cerah pula.
Dan entah kenapa sang ibu itu jadi merasa lain, dan dia menganggap Liestyar sekarang jadi agak sombong. Ndilalah-nya lagi, saat pulang kerja, dia nggak mendengar saat ibu kost-nya menegur dia, dan lagi-lagi dia nggak sempat untuk sekedar senyum. Wong dia itu sudah benar-benar kecapekan. Merasa mendapat sebuah legitimasi yang semakin kuat, maka ibu kost-nya itu lalu menceritakan kepada teman-teman dia. Maka jadilah teman-temannya itu ikut-ikutan meng-embargo setiap sapaan dan salam dia.
” Wong mereka itu nggak tahu kalau aku ini lagi begitu ewuh lho..”. keluhnya kemudian. Lalu dia melanjutkan:
” Mosok setiap saat kita itu mesti selalu senyum dan ramah. Kan kadang-kadang kita bisa terbentur masalah yang bisa membikin kita lupa untuk sekedar senyum?. Kok susah lho jadi anggota komunitas sosial itu, apalagi komunitas sosial Jawa. Seakan-akan segalanya mesti terlihat edi, peni dan luwes saja. Perasaan pribadi biar bagaimanapun kok ya mesti di pendam dan diredam, sementara etika dan sopan-santun mesti diutamakan. Kalau begini terus bagaimana kita bisa mengungkapkan diri dan bersikap sedikit terbuka ?. Giliran susah saja tidak ada yang mahu tahu. Kalau pas kita ketiban pulung, mendapat berkah dari Gusti Allah kita tidak dibenarkan buat menyenbunyikannya, katanya ora ilok. Lalu kita mesti berbagi kebahagiaan itu. Kadang-kadang saya kok merasa budaya Jawa yang terkenal adiluhung ini toh di lain sisi tidak adil juga ”
Saya hanya bisa diam mendengar semua monolog dia itu, belum saatnya mungkin saya memberi komentar. Karena bagaimanapun saya mesti mendengar lebih banyak lagi agar bisa menilai secara lebih lengkap dan paripurna. Sementara dia mbabar rasa, saya membayangkan suasana ditempat kost dia itu. Sekali saya mampir dirumah kost yang terletak di kampung Potrobangsan No. 107A, Kebondalem, Magelang itu.
Rumah yang cukup nyaman dengan banyak pohon trembesi dan johar yang mengingatkan saya dengan daerah Kampung Melayu, Jatinegara. Lalu saya ingat ibu kost-nya yang janda pensiunan Kepala Pegadaian cabang Gamping, Sleman yang wajahnya diwaktu muda mungkin agak mirip Christine Hakim. Dirumah itu dia tinggal sendiri. Anak tunggalnya yang konon menjadi perwira TNI ditugaskan di Fak-Fak, Irian Jaya sana. Seorang ibu yang baik sebenarnya, saya dan Djeng Lis jelas sepakat dengan hal ini. Tapi kok bisa-bisanya dia memberikan penilaian yang seperti itu ?.
Tiba-tiba :
” halo..halo... lho jangan tidur dulu ini !!!....... we lha... halo..? ”
” oaaahem..... siapa yang tidur...saya cuma menghayati cerita mu itu kok . Tenang saja ....wis lanjutkan saja .....aku bisa jadi pendengar yang baik kok !!! ”
” iya..iya... percaya...tapi kayaknya ini sudah saatnya deh nJenengan itu medar sabda dan kasih masukan.......! ”
Mati aku..... njur saran apa yang bisa diberikan oleh orang yang sudah desperate antara terjaga dan terlelap seperti ini ?. Tapi biar sedikit nglegani saya buka mulut juga:
” gini lho Djeng..bagi saya masalahmu itu disatu sisi sebenarnya sederhana saja kok ..tapi disisi lain bisa dianggap gede lho masalahmu itu ! ”
” maksudnya...? ”
” ya ..itu... persoalan salah paham antara satu orang dengan orang lain itu kan biasa saja tho ?..tapi itu menjadi rumit ketika kamu meng-konfrotasikan-nya dengan sebuah budaya. Termasuk budaya Jawa, seperti yang kamu bilang itu ”
” kok aku belum mudeng juga ..konkretnya ?... kersamu itu... ?..”
” konkretnya yang kamu hadapi itu sebenarnya bukan budaya Jawa, tapi sekedar seorang Jawa saja. Budaya Jawa sebagai sebuah nilai kolektif jelas nggak bisa dipersalahkan dan itu mengandung pembenaran kolektif pula, yang seperti kamu tahu , ” tak tergugat”. Tapi bila bicara orang Jawa ?, lain soal itu. Logikanya begini : apakah budaya Jawa yang penuh rasa halus ini lalu menghasilkan orang-orang yang sepenuhnya halus pula, tidak kan ?. Buktinya, Budhe kamu itu dulu itu ya bisa kecopetan juga di pasar malem Sekaten. Dan walaupun nggak akurat toh kita bisa nunjuk hidung kalau yang nyopet Budhe dulu adalah orang Jawa juga, padahal dimensi budaya Jawa jelas nggak membenarkan segala bentuk pencurian. Ini contoh yang kasar lho...yang lebih halus ya seperti yang kamu alami sekarang ini ”
” O.K...taruhlah yang nJenengan ucapkan itu benar.... tapi aku tetep tidak habis pikir, kok bisa-bisanya ibu kos-ku itu bisa mengambil kesimpulan yang begitu premature, hanya gara-gara aku lupa untuk sekedar senyum. Itukan... nuwun sewu ya, sebuah pemikiran yang kekanak-kanakan tho ”
” bisa begitu... .tapi tidak lantas mesti begitu juga lho,... sekarang gini, bagi dia siapa sih Liestyar yang dia kenal itu ?... seorang Liestyar yang baik, murah senyum dan grapyak kan ?...dan yang kamu tampilkan saat itu, terlepas apa yang sedang bikin ewuh kamu itu ya, mungkin sisi kamu yang lain, yang bagi dia benar-benar lain dan beda. Dan setahu saya ya, tidak semua orang lho yang secara serta-merta dapat mengatisipasi sebuah perubahan, bahkan kebanyakan selalu gagal dalam mengantisipasinya, termasuk perubahan sikap..... Jadi menurut saya ya, ibu kos-mu itu nggak benci sama kamu, cuma mungkin...apa ya istilahnya.....merasa nggak dianggep saja kali ya....? ”
” alaah... terus apa bedanya..? ”
Saya masih ingat saja dengan cara dia mengucapkan kata alaah itu, bolehnya kenes banget itu lho. Mungkin itu sejenis logat yang mengekspresikan kesadaran dari sebuah ke-alpa-an sekaligus rasa keraguan yang dibalut menjadi satu dengan bahasa yang unik tapi penuh penafsiran. Lalu dia melanjutkan :
” tapi sudah terlanjur itu lho, aku sudah kebacut dapat nilai merah dari mereka…kira-kira bagaimana ya enaknya ?...minta maafnya ??,,..aduuuh... kasih saran dong !!”
” we lha, gampang kok Djeng , asal kamu itu tahu ngelmunya. Tak kasih tahu ya.!.orang Jawa itu sebenarnya mirip sama huruf Jawa itu sendiri lho. Kalau dia dipengkal, ditaling, ditarung, disuku, dipepet dia malah akan hidup dan berontak. Tapi coba kalau dipangku justru dia malah akan mati dan diam, iya tho. Makanya lebih baik kamu pangku ibu kos dan teman-temanmu dengan senyum, kerendahan hati, pengertian, pujian dan bahasa yang halus, singkatnya gunggung saja mereka itu. Wis tho , tak jamin bakal luluh juga hati mereka. Ingat lho, mereka itu masih orang Jawa kan...iya apa inggih ...? ”
Diluar dugaan, mendengar analogi saya tentang orang Jawa dengan huruf Jawa itu tiba-tiba saja dia tertawa. Diampuut iki, apanya yang lucu? wong ini ngelmu serius lho.
” nuwun sewu ya,...hi..hii,..ada-ada saja...maaf ini kalau akau jadi ketawa gini. Aku malah jadi mau tahu terus dari mana nJenengan dapet ngelmu tentang mangku orang Jawa itu. Jangan-jangan ada kitabnya ?, njur siapa lagi itu Empu yang mengarangnya ? ”
” wong kamu nggak tahu saja...ini kan saya dapat dari kitab "Pengakuan Pariyem" karangannya almarhum Linus Suryadi Agustinus. President kaum penyair Malioboro itu. Tapi kalau boleh tahu ya Djeng, apa sih yang bikin kamu ewuh sampai akhirnya kesrimpet masalah seperti ini ? ”
” ada deh...., besok saja kalau nJenengan pulang kampung tak kasih tahu. Jadi balik kan akhir bulan nanti ? ”
” em....pulang enggak ya ?....”
” itu....kan.........”
” iya..iya,,pulang., piye, mau tak bawain oleh-oleh apa ? ”
” beneran ni?... ya dah bawain................ “
Saya ingat dia lalu meyebutkan beberapa judul buku termasuk "Gitanjali" nya Tagore dan "Diary"-nya Anne Frank. Hmmm ya....satu titipan yang sangat melegakan. Wong cma buku saja lho......
*****
Dan begitulah.......
The Night Call itu akhirnya berakhir juga. Tapi tetap saja ada pikiran yang membuat saya semakin tidak bisa tidur. Dulu Titan dihukum oleh Zeus gara-gara dia mencuri api abadi dengan dikirimkan perempuan bernama Pandora. Konon dia membawa sebuah kotak yang berisi seluruh permasalahan dunia. Dan entah apa dosa saya kepada Gusti Allah sehingga saya mesti diuji, mesti menghadapi perempuan macam Djeng Lis itu.
Tapi anehnya, sama seperti Titan saya kok justru malah menikmati ujian itu.
Esok paginya saya bangun telat. Dengan geragapan saya raih HP saya. Dengan sisa pulsa terakhir, saya kirimi dia pesan singkat :
Segui il tuo corso, ‘E lascia dir le genti
Tetaplah berlalu, biarkan mereka menggerutu
+++, sore 25 oktober 10
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar