Sabtu, 26 Juni 2010

Monolog Kang Karyo

namaku karyo
ya..karyo saja..
konon itu berarti kerja
lho iya tho, apalah artinya hidup tanpa kerja

aku tinggal di lereng kapur gunung sewu
dekat lahan bekas hutan jati
iya bekas...wong sekarang sudah gundul semua
habis dijarah rayah pas krisis moneter yang lalu itu..

kerjaku buruh tani
ini kerjaan warisan lho...dari jaman simbah dulu ya cuma itu penghidupan kami
ladang kami tak punya, ada sedikit sebenernya
itu sempalan tanah bengkok desa,
yang males digarap sama pak kades sebab letaknya yang di ereng-ereng

jadi ya tak olah saja,
lumayan setahun bisa aku tanami kacang sama ketela pohong
cukuplah buat nyambung makan satu bulanan
istriku, si Sumi itu orangnya begitu prigel, rajin
dengan sebat dia akan kupas singkong itu, dijemur buat suatu saat dijadiin tiwul

lho...kok sampeyan heran...
wah...ketahuan ni 'gak pernah anjangsana ke ginung kidul
yaitu makanan sehari-hari kami..
kenapa? ...renndah kalori?...wah wong kalori itu apa ya kami 'gak mudeng lho...
perut terisi....nah cuma itu pengharapan kami

sekarang aku mau cerita soal bekas hutan jati itu
wo..dulu...dulu...sekali, ratusan ribu pohon tumbuh subur di situ

tiap penghujan kami akan kagum lebat daunnya yang lebar-lebar itu
lalu simbok-simbok di desa akan memetik daun-daun itu buat dijual di pasar
konon lumayan, cukup buat ditukar beras, ikan asin sama garam...

kalau kemarau pohon-pohon itu akan meranggas
itu waktu kami caro kayu bakar buat ngepulin dapur...
apa minyak tanah?...'gak..'gak kami tak kenal kompor..
kami cukup pakai apa yang diberikan sama alam...ya kayu-kayu itu
minyak tanah kelewat mahal..kami cuma pakai itu buat ngisi lampu minyak saja..
atau kadang-kadang itu juga kami pakai buat kerokan kalau masuk angin...
jangan tanyakan bahunya....tapi juga jangan ragukan ampuhnya...

tapi hutan jati itu juga punya kisah suram
kang sastro, sepupu tuaku itu kini jalannya pincang
sebab digebukin sinder mandor hutan karena ketahuan nyolong bibit jati
padahal dia cuma mau nempil saja, ambil dua batang buat ditanam di perengan belakang rumah
tapi pak mandor pantang beri ampun, atas nama hukum dia di pukuli
aku dan warga kampung sudah siap buat menuntut balas pada si mandor yang arogan itu
tapi urung, si mandor sudah keburu lapor atasannya di wonosari
dan datanglah dua puluh orang pakai baju loreng-loreng, mana berani kami melawan pak tentara

kami mundur, kami takut...
aku sendiri kalang kabut
begitu kuwatir aku dituntut
sekian puluh tahun lampau bapakku sudah kena akibatnya
gara-gara dia coba menentang popor pengusa
dia juga 'gak paham...penguasa yang mana...
iya, ....bapakku dituduh ikut gestapu
dan sempat dia buang ke pulau buru
untung cuma sewindu dak tak sempat di bon kala itu


ah..untungnya jaman telah berubah
masa-masa gelap itu berlalu sudah
hanya saja hutan jati itu sekarang sudah tak ada lagi
begitu si penguasa tak ada lagi
rame-rame hutan jati itu ditebangi
bukan..bukan sama orang-orang di ampung kami
sampai mati pun kami tak bakal berani
walaupun waktu itu si mandor kejam sudah tak ada, kami masih tetap tundukan kepala

yang menebangi entah orang dari mana lagi
tahu-tahu bensaw, gergaji mesin itu ndengung sepanjang hari
tahu-tahu puluhan truk mondar-mandir ngangkutin kayu glondongan
tahu-tahu jalanan kampung kami rusak penuh lobang
dan kami hanya diam
tak tahu mesti apa
kami pikir mereka itu "yang punya"

setelah akhirnya kami tahu kalau hutan jati itu sudah "halal tebang"
semuanya sudah terlambat...
pohon-pohon itu sudah nyaris habis
kami orang-orang kampung yang coba ambil jatah
cuma bisa menelan ludah.....
tinggal serakan perdu saja
tapi kami orang kampung masih bisa bilang untung
hibur diri, itu akan cukup buat umpan api dapur kami


sekararang hutan jati itu tak ada lagi
hanya hamparan semak yang diberi plakat " TANAH MILIK PERHUTANI"
dengan begitu masih "haram" buat kami tanami

aku sempat mikir
seandainya penguasa sekarang berbaik hati
dan tanah kritis itu dibagi-bagi
buat orang-orang miskin kayak aku ini
pasti dengan senang hati akan kami terima
akan kami tanami pohong dab palawija
akan kami hijaui dengan albasa dan sengpn laut
yakin.....kerindangan yang dulu ada itu akan sedikit kembali

dan kami
akan dapat cadangan makan lebih banyak lagi
akan lebih punya harap tentang hidup ini

tapi ya gimana lagi
sekali lagi kami mesti gigt jari
tanah itu masih saja " MILIK PERHUTANI "
belum lagi menjadi hak bagi kami kaum petani

dan karyo ini tetap saja si buruh tani
warisi kemiskinan dari leluhur kani
ya......entah buat berapa generasi lagi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar