Kalau saja pohon trembesi dan beringin kurung itu mau bercerita
Dia akan babar lakon-lakon yang mensejarahi kampung kita
Tentang Tumenggung Mangkuyudo yang pideksa,
lalu harus kalah dalam pungkasan Geger Diponegoro
Tentang sejarah masjid Kewalen,
yang konon dipugar oleh anak turun Wali Songo
Tapi toh dia hanya bungkam
Berpuas diri,
sebab sudah diumpani tanah subur yang dirabuk oleh daging-belulang leluhur kita
Hanya nisan-nisan itu yang mau sedikit mendongeng
Lewat guratan nama dan titimangsa yang memprasastai wujudnya
Ratusan nama-nama
yang asing,
yang diingat
semua di sana dan sekali-sekali mengusik telinga sebagai kembang cerita
Mbah Mini yang konon mati setelah coba mengukus anaknya dalam kuali
Eyang Pamuji dukun sakti sekukuban tanah ini
Lik Rah yang tewas habis terseret banjir Kali Progo
Sampai Eyang Sastro yang dulu cungkupnya pernah dijarah orang-orang pencari pusaka
Ah ya,
Kau pasti heran
betapa cerita-cerita penuh keprihatinan itu yang kemudian jadi ingatan
Itu karena kita kadang jenuh dengan segala kewajaran
Lalu jauh-jauh membuangnya dari peti kenangan
Coba,
Siapa yang ingat lagi kisah kematian Pak Yo, mbah Ning sampai anak-anak kang Sugiri?
Ya, seperti beringin kurung dan pohon trembesi itu
Hanya kepada cungkup trah para priyayi buku-buku akar mereka mau mengabdi
Sedang nisan saudara-saudara kita semua meranggas dalam pasi..
......
Hening memancar dalam kesingupan:
Maka akan kembalilah yang hidup dalam rahim kebusukan
Dalam sepi yang begitu memiris hati
Tempat segala kata dan laku keji tak lagi bisa diingkari
Dahwi,
Pikiran: 12 juni, Tmg
Tulisan: 28 juni, Jkt
Tidak ada komentar:
Posting Komentar