Minggu, 25 April 2010

Mencandra Jawa Yang Membumi




Sutan Takdir Alisjahbana bilang:
"satu kata kunci untuk memahami budaya Jawa adalah kata "halus".

sebagai orang Jawa ( dengan embah kakung mantan abdi dalem Pura Mangkunegaran Solo dan embah putri pembatik handal kiranya sudah cukup jadi bukti...he..he..numpang narsis dikit ) saya ngungun, merenung. " apa ya benar apa yang dikatakan STA itu ?"

sepintas barangkali apa yang dikatakan STA itu benar. apalagi jika yang jadi ukuran adalah tutur kata dan bahasa. orang Jawa?...wis..jan medok , ulam . kalem sangat deh. belum lagi dengan tari-tarian klasiknya, hmm..jan alus tidak ketulungan. bahkan kalau anda pernah belajar nari gagrak alusan jawa ( dan saya pernah ) anda akan tahu. bahwa para penari jawa tidak akan pernah dapat melakukan perubahan gerak tangan sampai melebihi 45 derajat. ya, karena saking halusnya itu..

tapi bahasan budaya tentu saja tidak berhenti pada soal tutur bahasa dan tarian saja. lebih dari itu budaya mencakup seluruh perilaku komunal para pemangkunya. dengan kata lain ini adalah soal karakkter berpikir dan "berfilsafat".

berbeda dengan pandangan STA, Sudjoko Prasodjo berpendapat lain.

baginya inti budaya Jawa adalah pada adigium " ngono ya ngono, nanging aja ngono", " begitu ya boleh-boleh saja, tapi ya lantas jangan begitu dong...".

mungkin mas Prasodjo hanya sedang guyonan dengan "tesis" nya itu. tapi kata-kata itu nyatanya mempunyai kajian yang cukup dalam. dia adalah satu himbauan, agar jangan sekali-sekali berlebihan dalam bertindak. ya walaupun batas dari ukuran "berlebihan " itu sengaja dibuat kabur dan direlatiflkan.

dan rasanya kok saya klop dengan pandangan itu ( tentu saja bukan kerana STA orang Sumatra dan SP orang Jawa). sebabnya jelas, yaitu karena orang Jawa memang suka sangat merelatifkan segalanya. . mereka berfikir, kalau yanng ekstrim dan absolut itu selamanya tidak baik. dan berpotensi merusak bangunan sosial pergaulan orang Jawa yang begitu menngagungkan keharmonisan dan keselarasan. atau setidaknya akan mencederai nilai-nilai yang sekian lama sudah dianggap edi - peni, indah -tertata.

sakinng senengnya dengan budaya relatif itu, pada akhirnya membuat orang Jawa ( setidaknya dalam pandangan oranng luar Jawa ) mempunyai mental budaya yang kurang tegas alias mingngrang-minggring, dan selalu berfikir (terlalu ) panjang. jadi jangan kaget, ketika anda sedang mendengar pidato atau wawancara tokoh pejabat dari Jawa anda akan banyak menemukan kata e...e...e...dalam sela-sela wawansabda itu. jadi ya yang sabar saja ya...lho..ini adalah produk budaya jare...

di sisis lain budaya Jawa dikenal memili tradisi filsafat kebudayaan yang ( sangat ) tinggi. saking tingginya filsafat itu sampai-sampai seluruh sendi kehidupan orang Jawa pasti akan di labeli nilai-nilai filsafat tertentu. tidak usah ambil contoh wayang atau arsitektur khas Jawa, itu sih sudah tinggi dengan sendirinya. kuda, alat-alat tani, alat-alat dapur, sanggul, konde dan (maaf) payudara wanita Jawa pun memunyai tinjauan filosofis sendiri-sendiri yang ngaudubilah rumitnya.


eksesnya jelas, pada akhirnya orang Jawa akan terjebak dan menjadi tawanan dari ketinggian filsafat dan keraifan yang mereka ciptakan sendiri. walaupun sebagai budaya yang besar orang Jawa juga lihai menciptakan semacam "safety device", penyelamat, untk menghindari atau setidak-tidaknya berkilah dari jebakan-jebakan filosofis tersebut.

contohnya :

orang Jawa mempunyai filsafat Pasang Netra. yaitu semacam larangan untuk menatap orang lain ( terutama yang belum dukenal dan lawan jenis ) secara langsung. karena hal ini salah- salah akan akan melanggar batasan sopan santun dan etika sehingga dapat memecah keselarasan dan harmoni. tapi karena ajaran ini pada titik tertentu sangat mustahil untuk di terapkan maka sebagao "safety device"-nya orang Jawa membuat filsafat Sawang-Sinawang, melihat-dilihat.

artinya, dibolehkan untuk memandang dalam sebuah jarak. dengan jarak itu akan dapat diperoleh titik netral. jadi orang jawa kita saling memandang tapi tidak membuat yang dipandang menjadi tergannggu. dengan begitu kita tetap dapat mrnilai seseorang sambil tetap etis dan santun sekaligus meminimalisir kemungkinan terjadinya konfrontasi.

dan menurut para ahli memang hanya manusia dengan tingkat budaya tinggi saja yang dapat mencipta tesis-antitesi-sintetis semacam itu ( walaupun sebenarnya hanya akal-akalan saja he..he...). dan Jawa adalah salah sati suku bangsa terbesar di dunia. setidaknya bila ditinjau dari jumlah "kawulanya". bayangkan, 66 juta coba........... sampai -sampai ada dagelan politik. kalalau anda ingin menjadi pemimpim negri ini sarat pokoknya ada dua. satu anda mesti Islam, dua anda harus ORANG JAWA. nah..... dengan modal ini kans anda untuk terpilih menjadi (lebih) besar.

tapi pertanyaan besarnya adalah: " apa orang Jawa lantas cukup hanya berbangga dengan segala yang tinggi, yang besar, yang indah-megah, dan yang adiluhung itu? ".

benar memang di masa lalu Jawa pernah punya Majapahit yang mampu menaklukan hampir seluruh nusantara bahkan sampai Malaka dan Moro. tak salah memang kalau Prof. Surapon dari Chulalangkorn University Bangkok pun angkat topi dan menginsafi kalau : " Budha Jawa jauh lebih unggul dari Budha Thailand sekalipun. terbukti dengan berdirinya Borobudur sebagai mahakarya Budha-Jawa. bahkan  filsuf-spiritualis Hindu asal India, Rabrindanath Tagore mengagumi daya adaptasi Jawa akan budaya India sebagai nenek moyangnya. saat menilik Prambanan dan meninjau tarian-tarian Jawa dia sampai-sampai bilang " saya melihat India di mana-mana tapi saya tidak mengenalinya..."

masalahnya, apa orang Jawa yang sekarang ini sama dengan orang Jawa masa Sanjaya-Syailendra yang membangun Borobudur, Prambanan?. apa orang Jawa sekarang itu segagah laskar Mahapahit di bawah Mpu Mada dan Laksamana Nala?. kok rasanya ada yang beda ya.... buktinya Jawa bersama ratusan anak suku nusantara mesti takluk dibawah kolonialisme barat..

kesadaran ini mesti dibangun. tanpa kesadaran ini Jawa hanya akan menjadi budaya yang narsis yang hanya mengagumi sejarah silam saja. lalu meletakan budayanya sebagai musium-musium antik yang hanya indah dipandang saja.

sesegera mungkin budaya harus terus dikaji dan di buat selalu relevan dengan citra-citra kekinian. toh budaya bukan agama yang mengharamkan kebid'ahan. dia boleh diperbaharui dan dikembangkan agar tetap adaptif. sehingga budaya tidak berhenti hanya sebagai mitos mistis yang indah saja, tapi mampu memberi arah pijak langkah bagi kawulanya.

tentu sajausaha ini tak boleh sampai menghilangkan karakter dan ruh budaya yang sudah terbukti tak lekang zaman. dengan begitu Jawa tidak lagi hanya berarti pada Kawi-Wayang-Gamelan saja yang cukup berpuas diri dengan predikat sebgai World Heritage. Jawa haru bisa menjawab setiap permasalah jamam....( barang kali ini harapan utopis sih ).

saya selalu kagum dengan pendekar-pendekar pembahau jawa pada masing-masing era. dulu ada Yasadipura yang mau melepaskan hegemoni jawanya dan mau mengkaji seluruh ilmu dari tatar Sunda sampai Bali sehingga mampu menelurkan ensiklopedi jawa yang bernama Centhini. kemudian cucunya, Ranggawarsita yang cukup sumarah, sadar mau bekerja sama dengan peneliti-peneliti Belanda sehingga mampu mengkongkretkan kamus Kawi-Jawa bersama CF.Winter. sampai sekarang kamus itu adalah satu-satunya yang terlengkap.

di awal pergerakan, priyayi anak bupati Bojonegora bernama Tirto Adi Surjo juga mampu menggagas sesuatu yang lebih dari Jawa, yaitu konsep orok Indonesia. dan membidani lahirnya organisasi termodern pertama di nusantara bernama Sarekat Islam. lalu Surjo Pranoto danm Ki Hadjar Dewantara yang nota benenya adalah pangeran-pangeran Puro Pakuaalaman Jogja juga mau mengadaptasi pola pikir kontemporer. gongnya, Raja Jawa, Hemengku Buwonu IX malah aktif dalam pergerakan memempertahankan kemerdekaan. bahkan HB IX membolehkan Bangsal Sasono Hinggil keraton Kasultanan-Jogja yang adalah tempat tertabu di istana sebagai markas sembunyi geriliyawan.

dan mereka tetep Jawa itu. yang kental dengan olah laku tradisi yang sudah dimodernisasi (HB IX, Surjopranoto dan Ki Hadjar Dewantara semuanya lulusan Belanda ). mereka mengukuhi jawa, tapi tidak mensakralkannya mutlak sehingga sedia untuk mengembangkan dan mengkritisinya.

akhirul kalam, Tanah Jawa, tanah yang diyakini ijo royo-royo, gemah ripah loh jinawi. subur gembur tumbuh segala yang ditanam ini pernah jadi semaian bagi budaya yang agung. sayang yang agung ini kadang nilainya masih mengantung di langit ke-adilhungan-nya. tugas semuanya tentu saja untuk membumikannya sehingga dapat mennyentuh aras kesadaran bersama.........

jadi............ya.....sumangga,....silahkan mencoba.........


Tidak ada komentar:

Posting Komentar